Soulmate?
#pernah diikutkan dalam lomba tentang "Soulmate"
Apa kabarmu sekarang?
Itulah kalimat yang selalu ingin kutanyakan kepadamu. Tiga bulan menghilang, sungguh bukan waktu yang sebentar. Selama itu pula perasaanku terpasung antara rasa sakit, rindu, gamang, dan sejumlah hal yang nyaris tak pernah membuatku bahagia. Aku limbung dibuatnya. Hanya pada sepertiga malam aku bisa lebih tenang karena ada Dia, pemilik rindu ini, yang bisa kujadiakn tempat pengaduan semuanya. Doa-doa itu terus mengalir untuk orang-orang tercinta, pun untuk dirimu, tentu saja.
Sebenarnya, aku bisa saja mengirimmu sebuah email. Bertanya kabar, basa-basi, membanyol seperti dahulu untuk memperingan suasana, melupakan email malapetaka tempo hari, lalu menjelaskan duduk persoalan yang sesungguhnya. Tapi, pikiranku tak cukup kuat untuk meyakinkan bahwa keadaan akan tambah lebih baik. Alih-alih akan menjadi dosa yang tak terampuni. Aku tak ingin kau membenciku seumur hidupmu. Itu pun bila kau membalas emailku. Tapi, kenyataan berbicara lain, kau menghilang begitu saja.
Bila kukatakan semuanya, aku tidak yakin kau bisa tegar menghadapi kabar buruk ini. Maaf, bukan meremehkanmu. Tapi, aku sudah mengalaminya lebih dulu. Dan aku tak ingin kau menjadi korban setelahku. Ngilu rasanya hati ini.
Sudah pasti kau tak akan menangis meratap-ratap karena kau lelaki. Pun, dari sisi penampilan, bahkan kau sangat bisa menjaga ritme antara rona wajah dan perasaanmu. Kau bisa membanyol meski sedang punya masalah besar. Itu pelajaran berarti bagiku, bahwa meski perasaan kita sedang sakit tak ada alasan untuk berlarut-larut dalam derita.
Namun, kepribadianmu yang riang gembira itu lambat-laun mulai memudar dari pikiranku. Pikiran itu timbul ketika kau tak lagi membalas emailku. Email terakhir kali hanya kau balas dengan kalimat singkat dan tampak tertekan. “Ya, terima kasih,” begitu kau menulis.
Semenjak itu, kau menghilang seperti ditelan malam. Aku bertanya-tanya, ke mana dirimu pergi? Dalam kemelut pertanyaan itu, aku berkesimpulan bahwa kau sangat terpukul ketika email itu. Surat elektronik itu kukirim dalam kondisi bingung yang akut. Aku tak bisa berpikir jernih. Bayangan Ummi, bayanganmu, bayangan seseorang dari masa lalu, dan bayangan seorang lelaki baru berkelit-kelindan dalam pikiranku. Hari-hariku berisi itu-itu saja. Sesak memikirkannya. Siang malam aku menangis. Kala itu, aku membuat kesimpulan bahwa aku harus mengirimmu sebuah email. Tapi, email itu isinya tak menjelaskan persoalan sebenarnya. Bahwa, hasil istikharah keluargaku tentang hubungan kita tidak baik itu hanyalah rekayasaku. Aku merasa berdosa dengan semua itu. Bahkan ketika aku menulis kalimat, “Hapus semua kenangan tentang saya. Saya mohon”. Itu hanya kalimat agar aku bisa lebih tenang menghadapi hidup di masa depan. Tapi, kenyataannya tidak demikian. Malah keadaan makin runyam setelah kau menghilang sehabis membaca email yang sangat kusesali itu. Aku tak bisa mencarimu ke mana-mana karena kita hidup di pesantren yang bisa berjumpa hanya sesekali waktu saja, misalnya ketika di kampus. Dan semenjak itu, kita tak pernah bertemu kembali. Di kampus tak kutemukan jejakmu. Email, satu-satunya alat komunikasi kita, kau tinggal begitu saja.
Aku kian yakin kau begitu terpukul setelah membaca tulisan-tulisan di blog pribadimu. Namaku kau sebut dengan hanya memakai inisial. Serial tulisan-tulisan dengan kadar kesakitan yang begitu terasa di sepanjang kalimat yang kau susun. Membacanya, membuat aku makin kebingungan. Dan, tentu saja aku kian sakit karenanya karena ada sejumlah hal yang salah kau pahami. Aku tak pernah meninggalkanmu. Ada hal lain yang lebih besar dari itu semua. Tapi, aku masih diam tak berkomentar.
****
Kini, setelah tiga bulan itu, aku ingin bicara terus terang. Bahwa sangat tipis harapan kita untuk bersama di masa depan. Muara persoalan ada pada Ummi. Beliau telah menjodohkanku dengan seorang lelaki yang datang melamarku tiga bulan lalu, waktu liburan pondok. Lelaki itu masih sepondok dengan kita. Kau kuyakin pasti tahu siapakah ia, karena lelaki yang umurnya lebih tua darimu itu aktif di sejumlah organisasi dan termasuk orang terpandang di kalangan santri.
Bila Ummi yang bicara, tak ada yang bisa kusanggah. Kau tahu, bukan untuk menyombongkan diri atas nasab, Ummi adalah tokoh masyarakat. Beliau juga yang membesarkan saudara-saudaraku hingga mereka menikah dan punya anak. Abi sudah meninggal setahun setelah aku menghirup udara segar di bumi. Praktis, pekerjaan Abi diambil alih oleh Ummi, dari urusan pendidikan di sekolah formal sampai mengajari ngaji di mushalla. Baru setelah beberapa tahun kemudian, ketika Kakak sulungku berhenti mondok, dia menggantikan Ummi mengurus sekolah formal. Ummi akhirnya hanya memberi pelajaran di mushalla dan sekali waktu mengajar di TK. Tubuhnya pun kian renta seiring usia yang terus memakannya.
Lamaran lelaki itu langsung diterima Ummi, walau terlebih dulu ditanyakannya kepadaku. Tapi, dari nada bicaranya saat bertanya padaku, tampak beliau lebih setuju bilamana aku mengiyakan lamaran itu. Aku bingung dengan semua ini. Sempat terlintas dalam pikiranku untuk memasukkan masalah hubungan kita dalam pembicaraan itu. Tapi, pastilah Ummi akan bermuram durja mengetahui aku punya hubungan denganmu. Beliau tak suka anak-anaknya menjalin hubungan gelap yang tak diketahui beliau. Pun bila aku menolak lamaran itu, akan ada banyak nada-nada sumbang yang berkembang di komunitas masyarakatku. Mereka akan menganggapku berani melawan Ummi. Padahal, tak ingin sedikit pun aku menyakiti hatinya.
Akhirnya, aku membuat keputusan untuk menerima lamaran itu. Antara bimbang, sakit hati, dan membenci diri sendiri, aku menangis di dalam kamar. Kukunci rapat-rapat pintu agar tak ada yang tahu aku sedang menangis. Kutelungkupan mukaku ke bantal agar tangis yang keluar dari mulutku bisa teredam. Keesokan harinya, mataku sembab. Ummi bertanya perihal keadaanku. Tapi, kuyakinkan beliau tak ada hal buruk yang menimpaku.
Sehari setelah lamaran itu, aku pamit minta cepat kembali ke pondok. Alasan yang paling kuat kuajukan ke Ummi adalah untuk membantu Ibu Nyai, pengasuh pondok, membereskan kebutuhan sehari-hari. Sebagai orang yang sering membantu kebutuhan pengasuh dan juga masa liburan seperti ini lebih sering tak ada khadim (pembantu tetap pengasuh) karena berlibur, tentu Ummi memaklumi dan langsung memberiku izin. Padahal, ada hal lain yang lebih membuatku ingin cepat-cepat kembali ke pondok, yaitu perasaan sakit dan bingung. Aku terus ingat dirimu.
Di pondok aku tak bisa berbuat apa-apa. Dua temanku berusaha menghibur. Mereka adalah teman sejatiku. Mereka selalu mendukung agar aku bisa bersamamu. Tapi, setelah tahu apa yang terjadi, mereka tak bisa berbuat apa-apa, sama sepertiku. Yang bisa mereka lakukan hanyalah menerima curhat-curhatku. Dulu, aku agak tertutup membicarakan perasaanku kepada mereka. Tapi, kini, semua hal kubicarakan. Mereka dengan setia mendengarkanku. Memberikan saran dan sejumlah hal yang patut kupikiran untuk masa depanku.
Setelah dua minggu dari sekembaliku ke pondok dan masa liburan sudah usai seminggu yang lalu, aku coba mengirimmu sebuah email malapetaka itu. Aku yakin kau juga sudah kembali. Perih hati ini bila membayangkan email itu kau baca. Tapi, ditengah pikiran mentok, kurasa hanya itu saja yang bisa menetralisir keadaanku. Aku ingin kita berakhir dengan baik-baik. Sekali lagi, aku tak ingin membuatmu terluka. Dan, jangan katakan bahwa aku tak lagi mencintaimu.
Apa kabarmu sekarang?
Guluk-Guluk, 8 Mei 2011
Sumber foto: http://tulisaja.com/tulisan-bebas/soulmate/
Hueeeee terharu T_T
ReplyDeleteBagus mas~
@Sitti: Hihihi.... Fiktif itu kok. :-D
ReplyDeleteLoh siapa yang nanya itu fiksi apa bukan? Hahaha, biasanya kalo gitu berarti malah ceritanya itu non-fiksi... LOL :P :P :P
ReplyDelete@Sitti: Maksudnya, percuma deh terharu karena ini cuma fiksi.
ReplyDelete*Ketipu... :-P