Cerita Calon Arang; Dongeng Tukang Teluh
Judul : Cerita Calon Arang
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Cetakan IV : Maret 2009
Tebal : 94 Halaman
Penerbit : Lentera Dipantara
Membaca roman Pramoedya Ananta Toer (Pram) belum akan terasa bosan meski karya-karya itu sudah lama diciptakan. Bahkan, hingga kini kisah-kisah yang dihasilkannya tetap relevan dengan kehidupan manusia. Salah satu tengara yang bisa diajukan untuk menjawab soal ini adalah unsur sejarah yang menguasai hampir keseluruhan karyanya.
Karya sastra, sebagaimana diyakini banyak orang, merupakan perwakilan suara atas kondisi suatu komunitas masyarakat pada masanya. Ia bergerak dan memotret ruang lingkupnya disertai pandangan kritis dari para penulisnya. Artinya, karya seorang pengarang itu tidak berangkat dari tanah yang kosong, tetapi ia merupakan gambaran dari suatu realitas masyarakat pada masa tulisan itu lahir. Jelas saja, karya itu merupakan rekaman sejarah yang akan menjadi kekayaan budaya suatu komunitas masyarakat.
Di sinilah relevansi karya-karya Pram berpijak. Penggambaran suatu realitas masyarakat pada masanya menjadikan ia begitu digemari karena berhasil menyelami realitas komunitasnya dengan cara menuliskan kisah-kisah tersebut ke dalam bentuk karya sastra. Kegigihan bercerita dalam jalur epik yang hampir mewarnai keseluruhan karyanya, sebagai salah satu kelebihan, menjadikan lelaki asal Blora ini tinggal selangkah untuk mendapatkan penghargaan Nobel. Sayangnya ia keburu meninggal.
Agak berbeda dari beberapa buku sebelumnya, Pram dalam bukunya yang berjudul “Cerita Calon Arang” mencoba “mendokumentasikan” sebuah dongeng yang menjadi kepercayaan masyarakat Jawa pada masa lalu. Sebagai sebuah dongeng, ia berkembang melalui tradisi lisan masyarakat Jawa kuno.
Tradisi lisan, dalam proses transformasi dongeng, besar kemungkinan membawa penyimpangan-penyimpangan atau bahkan hilangnya dongeng tersebut dari peredaran karena tak ada lagi yang mau menyampaikannya. Penyimpangan dalam proses ini berpijak pada piramida tafsir; teks, konteks, dan pembaca. Tiga aspek ini menjadi penyebab munculnya beragam pemahaman dari hanya satu cerita yang diamati.
Begitupun dalam masalah dongeng. Dongeng yang dituturkan secara lisan bisa jadi akan menimbulkan banyak tafsir karena bersentuhan dengan konteks dan keadaan sang pendongeng. Kemunculan ragam tafsir ini sah-sah saja, namun kiranya perlu mempertahankan esensi cerita agar tidak menjadi kabur dan disalahpahami.
“Cerita Calon Arang” barangkali ditulis Pram untuk menghindari beragamnya pembelokan tafsir. Walau yang terpenting adalah menjaga agar dongeng ini tetap lestari meski penutur secara lisan sudah tak ada. Inilah kekuatan tulisan dalam menandingi budaya tutur yang mengawali kehidupan tradisi masyarakat Indonesia.
“Cerita Calon Arang” berkisah tentang seorang tukang teluh bernama Calon Arang. Ia hidup di suatu dusun benama Girah. Girah sendiri merupakan bagian dari sebuah negara bernama Daha yang dipimpin oleh Airlangga.
Girah masuk dalam kepala masyarakat Daha sebagai sebuah representasi dari dusun angker dan menakutkan. Ketakutan itu bermuara kepada Calon Arang, janda bengis dan kejam. Ia mempunyai sejumlah pengikut setia yang memorak-porandakan kehidupan desa bilamana ada sesuatu yang tak sesuai dengan keinginannya. Orang-orang dibunuh dan diambil darahnya untuk pesta dengan tujuan memperkuat daya rusak teluhnya. Tiap malam pasti terjadi pembunuhan di mana-mana, dan tiap malam pula mereka berpesta.
Calon Arang punya seorang putri cantik bernama Ratna Manggali. Meski cantik, perempuan ini tak punya teman bermain. Ia dijauhi oleh semua orang karena takut sama Ibunya. Sebab, jika ada perlakuan kurang mengenakkan terhadap Ratna, maka Calon Arang akan meneluh orang tersebut sampai mampus. Menyingkirlah orang-orang ketika berpapasan dengan Ratna.
Ratna Manggali memang perempuan cantik, tapi tak ada lelaki yang mau mendekati apalagi mempersuntingnya. Keadaan seperti ini membuat Calon Arang marah besar. Ia berencana membuat kegaduhan sebagai balasan sakit hatinya kepada semua orang. Calon Arang akan meneluh semua penduduk dengan cara menyebarkan penyakit lewat ilmu gaibnya. Niat ini disampaikan kepada Dewi Durga, dewi yang akan menentukan apakah niat itu bisa terkabul ataukah tidak. Bersama beberapa pengikutnya, Calon Arang pergi ke Candi Durga. Di tempat ini, mereka melakukan pemujaan untuk memperoleh restu dari sang dewi. Dan betapa bergembiranya mereka karena Dewi Durga mengabulkan permintaan tersebut. Hanya saja, ada satu pesan yang harus dipatuhi oleh Calon Arang, yaitu tidak boleh meratakan penyakit hingga ke ibukota.
Mulailah teluh itu merambah ke seluruh dusun. Orang-orang mati mengenaskan. Di rumah-rumah penduduk banyak warga bergelimpangan. Ada yang sehabis mengantarkan jenazah keluarganya ke pekuburan, pulangnya mereka lemas di tengah jalan dan mati. Kondisi ini cepat merambat ke mana-mana karena tak ada yang bisa menanggulangi.
Kabar duka ini akhirnya terdengar oleh Raja Airlangga. Raja yang dicintai rakyatnya ini gusar karena menyadari keamanan negaranya yang selama ini damai dan tentram tiba-tiba terusik oleh kekejaman Calon Arang. Lama Sang Baginda mencari cara bagaimana menaklukkan keganasan wanita tersebut. Akhirnya, beliau mengambil sikap dengan perintah mengirim sepasukan tentara ke dusun Girah. Rakyat menyambut gembira sikap itu dan berdoa meminta keselamatan para tentara.
Berangkatlah para tentara ke Dusun Girah. Pasukan itu pergi dengan panji-panji kebesaran pasukan negara. Sepanjang dusun, kehidupan menjadi sunyi dan sepi karena penduduknya sudah meninggal akibat teluh Calon Arang. Sampai di tempat tinggal Calon Arang, para pemimpin pasukan bergerak hati-hati. Mereka mendapati Calon Arang tertidur nyenyak. Para pemimpin pasukan itu bersiap menangkap Calon Arang, namun apa yang terjadi kemudian membuat para tentara yang lain ketakutan. Pemimpin-pemimpin sepasukan tentara itu kejang-kejang kena teluh Calon Arang ketika berusaha menangkapnya.
Kabar ini makin membuat Baginda Raja Airlangga bersedih. Apalagi rencana Calon Arang untuk membinasakan Daha makin tak terkontrol. Ia minta kepada Dewi Durga untuk memusnahkan sekaligus Ibukota Daha dan kerajaan Airlangga.
Di tengah kebingungan itu, Airlangga mengadakan pertemuan. Dalam pertemuan tersebut ia mengatakan bahwa bencana ini bukan berasal dari kekuatan fisik, melainkan mantra. Maka cara membalasnya juga harus dengan mantra. Untuk itu, ia memerintahkan para pendeta untuk berdoa bersama memohon petunjuk Dewa Agung siapa kira-kira pendeta yang bisa mengatasi masalah ini.
Akhirnya, sang Dewa Agung menyebut satu nama, yaitu Mpu Baradah, seorang pendeta dari Lemah Tulis. Mpu ini adalah seorang yang tinggi ilmunya dan sulit untuk dikalahkan. Ia memiliki seorang putri cantik yang dimusuhi oleh Ibu tirinya, isteri kedua Mpu Baradah setelah isteri pertama meninggal.
Mpu Baradah mengabulkan permintaan abdi raja yang diperintahkan menyampaikan permohonan Raja Airlangga. Strategi yang dilakukan oleh Mpu Baradah adalah dengan mengirim Mpu Bahula untuk memperisteri putri Calon Arang, Ratna Manggali. Biaya semua kebutuhan perhelatan pesta menjadi tanggungan Raja Airlangga.
Mendapati ada seorang lelaki yang mau melamar putrinya, Calon Arang bukan main girangnya. Dia berterima kasih kepada Mpu Bahula. Pesta besar digelar untuk memperingati hari perkawinan tersebut. Hadiah barang-barang mewah dikirim dari istana untuk Calon Arang.
Pesta berlalu, kini Calon Arang hidup seperti pada hari biasa. Bahkan, ia makin mengganas dan seringkali berada di luar rumah untuk melakukan ritual peneluhan. Seringnya tak ada di rumah membuat Mpu Bahula bertanya-tanya kepada isterinya kemana ibu mertuanya pergi. Awalnya, Ratna Manggali tidak mau memberi tahu. Tetapi akhirnya dia berkata jujur bahwa ibunya pergi untuk upacara teluh. Ratna juga memberitahu tentang buku sakti milik ibunya yang menjadi benda paling keramat semua ritual-ritualnya.
Akhirnya, Mpu Bahula meminta Ratna untuk memperlihatkan apa isi kitab sakti itu, tapi Ratna ragu karena kalau diketahui oleh ibunya tentu dia akan dimarahi. Setelah beberapa saat, akhirnya dia bersedia memperlihatkan kitab tersebut kepada Mpu Bahula saat Ibunya dalam keadaan tidur pulas. Rencana itu berjalan lancar. Mpu Bahula berhasil mendapatkan kitab tersebut dan membawanya kepada Mpu Baradah. Setelah itu, kitab tersebut dikembalikan ke tempat semula.
Berbekal informasi dari Mpu Bahula, Mpu Baradah mulai melanjutkan misinya untuk menyelamatkan warga dengan mengelilingi dusun-dusun. Ia memercikkan air ke tubuh-tubuh penduduk yang mati tapi belum membusuk. Tubuh-tubuh itu perlahan-lahan bangkit seperti orang baru bangun dari tidur. Setelah bangun, mereka langsung memberi hormat kepad Mpu Baradah dengan cara bersujud.
Perlahan-lahan dusun mati itu tumbuh kembali seiring mulai bangkitnya para penduduk dari kematiannya. Mpu Baradah telah menghidupkan banyak penduduk dan akhirnya bertemu dengan Calon Arang. Di hadapan Mpu Baradah, karena meyakini dirinya tidak akan mampu melawan, Calon Arang memohon agar dirinya diampuni. Namun, permohonan itu tak terkabul karena terlalu banyak korban yang sudah tewas ditangannya.
Menerima kenyataan pahit itu Calon Arang marah besar kepada Mpu Baradah. Dia menantang Mpu, tapi pendeta itu tak kelihatan takut. Calon Arang makin berambisi menghabisinya. Ia menyerang Mpu Baradah, tapi Mpu tenang-tenang saja. Calon Arang makin ganas menyerang. Sampai akhirnya dia berhasil dibunuh oleh Mpu Baradah. Namun, Mpu Baradah menghidupkannya lagi karena dia mati dalam keadaan berkalang dosa. Maka, Mpu menyucikannya sebelum dibunuh lagi. Negara Daha akhirnya tentram dan damai kembali.
Begitulah cerita “Cerita Calon Arang” yang dikarang pada tahun 1462 tahun Caka. Dalam sejarahnya, Mpu Baradah dan Airlangga merupakan dua nama yang berpengaruh besar dalam tradisi Hindu-Jawa. Mpu Baradah hidup bersamaan dengan Airlangga pada tahun 1019 sampai 1042 Masehi. Semasa hidupnya, Mpu Baradah sangat dihormati, terbukti dari pemasangan arca raja Kertanagara di Wurare, sebagai peghormatan kepada Mpu tersebut.
Ruang-Vakum, 05 September 2010
0 Response to "Cerita Calon Arang; Dongeng Tukang Teluh"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.