-->

Untuk Kinanti


Kinanti, tiba-tiba aku merindukanmu malam ini. Kau bawa ke mana tubuhmu pada malam penuh hujan seperti ini? Adakah masih di jalanan berbaur dengan orang-orang dari beragam latar belakang? Mungkin saja kota telah menelikung kehidupanmu. Atau mungkin malah sebaliknya, kau hidup ongkang-kaki menjadi bos kuli angkut di sebuah pelabuhan, entah di mana. Namun yang pasti, dua keadaan itu sama bisa melahirkan alasan untuk tidak lagi mengingatku.
Apakah kau masih mengingatku? Tentu saja kalimat itu sangat konyol kedengarannya. Barangkali pertanyaan tersebut memang hanya milik angkasa yang selalu siap menerima desah kecewa tiap manusia. Angkasa seperti terlahir untuk menerima ratapan, dan ia tak pernah mengeluh karenanya. Bila malam menjelang, orang-orang yang kecewa, patah hati, cemburu, rindu, atau ingin bunuh diri seringkali menengadah dulu ke langit. Apakah itu semacam penyerahan diri untuk meminta restu atas suatu tindakan atau… Ah, aku tak tahu.
Tentu jika kau belum pikun dan tidak kena penyakit amnesia masih akan terus mengingat di mana pada malam-malam seperti ini kita selalu menghabiskan waktu untuk berkisah, bercengkrama, dan mengata-ngatai purnama yang tiba-tiba redup tersaput awan. “Gelap itu milik setan,” katamu sambil menghidupkan lampu teplok.
Ada banyak hal yang bisa kita perbincangkan, mulai dari guru ngaji yang bengisnya minta ampun sampai kisah tentang teman-teman kita yang selalu menggombal. Namun, dari sekian perbincangan itu aku begitu tertawan oleh satu suasana di mana kau selalu mempunyai mimpi-mimpi besar tentang masa depan. Saat kau mengatakan ingin merantau ke kota untuk belajar dan bekerja, kurasakan matamu berkisah tentang kejujuran. Mimpi itu mungkin terasa ganjil bagi sebagian orang di kampung kita, sebuah pedalaman yang jauh dari pusat keramaian. Akan tetapi kau begitu berani untuk memacaknya setinggi langit. Dan karena mimpi-mimpi itulah pada akhirnya kita memilih jalan berbeda, kau ke kota dan aku ke pondok. Sejak saat itu kita tidak pernah bertemu lagi hingga malam ini.
****
Kinanti. Aku teringat kembali mimpi-mimpi kita dulu. Satu mimpimu yang tak pernah luntur dari ingatanku, yaitu cita-citamu menjadi seorang pengusaha. Kau berdalih dengan usahamu kelak kau akan banyak membantu masyarakat yang tidak mendapatkan pekerjaan. Semua akan mendapatkan pekerjaan dengan upah yang sesuai, tidak seperti sekarang yang selalu muncul demo dari buruh terhadap perusahaan. Aku yang mendengar ocehanmu itu hanya bisa tersenyum sambil menyembunyikan kata “gila” di batok kepalaku. Aku yang tak terdidik optimis selalu merasa kesuksesan itu amat sulit tercapai. Setelah kau benar-benar pergi ke kota rasa pesimisku mulai terkikis. Itu karena kau seorang perempuan desa yang tak mengerti sama sekali kehidupan kota, dan kau berani pergi sendirian kala itu.
Malam itu aku juga menceritakan mimpi-mimpiku. Dan mimpi yang paling ingin kuraih adalah menjadi penulis. Dengan menulis, kataku, aku bisa mengabadikan setiap momen dalam kehidupan ini. Kelak, tulisan-tulisan itu akan menjadi bukti sejarah dan akan ada banyak orang yang membacanya. Itulah mimpiku.
Jika kau menjumpaiku saat ini dan bertanya tentang bagaimana kelanjutan cerita tentang cita-cita itu, maka kuyakin kau akan sangat kecewa. Aku tidak menulis lagi, Kinanti. Aku seorang pemalas dan sulit merangkai kata-kata. Ditambah lagi dengan jarangnya membaca buku.
Kala muncul rasa pesimis sebenarnya aku ingin sekali pergi kepadamu. Kau adalah seorang yang sangat optimistis, bahkan pada sesuatu yang kebanyakan orang anggap tidak mungkin. Aku butuh energi dari kata-katamu yang berapi-api. Kau perempuan dengan dedikasi tinggi meski hanya lulusan sebuah pendidikan menengah di sebuah desa nan pelosok.
*****
Kinanti, pernahkah kau jatuh cinta?
Ah, mungkin kau akan menganggapku gila dengan bertanya seperti itu. Masa kecil kita tak pernah dirasuki oleh perasaan aneh macam begitu. Dan tiba-tiba, setelah delapan tahun berselang, aku menanyakan hal itu kepadamu. Untung juga kau tak ada di dekatku, karena kuyakin kau akan menertawakanku; tertawa mengejek dan menganggap cinta soal yang sepele di dunia ini. Tentu aku berang dengan pernyataan seperti itu. Cinta telah membuat kehidupan orang menjadi limbung, Kinanti. Kau harus sadar itu.
Aku tidak tahu akan menulis bagaimana soal yang satu ini. Aku limbung. Pun juga aku tak yakin ini soal cinta. Cinta, ah, kata yang sangat kita benci dulu. Kata itu sungguh aneh dan membingungkan. Jika ada beberapa kata yang searti dengannya, maka aku akan memilih yang terburuk darinya. Kenapa? Karena ia telah merampas tidak saja hidupku, tapi juga orang-orang di luar sana.
Kinanti, pernahkah kau berpikir bagaimana jika orang yang kita cintai adalah ia yang melebihi diri kita, baik dari fisik, keilmuan, dan kehidupannya?
Terkadang aku merasa ada banyak mimpi-mimpiku yang melampaui realitas. Sebagai sebuah mimpi, mungkin itu hal yang wajar, tetapi jika dalam kenyataan tentu akan lain ceritanya. Oleh karena aku merasa bahwa hidup ini bukan hanya soal romantika cinta, maka realitas haruslah menjadi acuan.
Realitasnya, aku hanyalah seorang dari kampung antah berantah, pelosok desa di pedalaman sana, keturunan bungkalatan, bodoh, dan miskin.

Ruang-Vakum, 12 Nopember 2010

0 Response to "Untuk Kinanti"

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel