-->

Catatan Ringan Roman “Gadis Pantai”





Judul : Gadis Pantai
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Tebal : 270 halaman
Penerbit : Lentera Dipantara
Cetakan 6 : Februari 2010


“Seganas-ganas laut, ia lebih pemurah dari hati priyai”
(Pramoedya Ananta Toer)

“Gadis Pantai”, seperti dominan karya-karya Pramoedya Ananta Toer (selanjutnya Pram), adalah sebuah roman pemberontakan. Kali ini, ia menetak telak jantung tradisi feodalisme priyai Jawa. Secara cerdik dan gamblang roman ini mengurai tentang bagaimana feodalisme itu ditanamkan secara rigid ke alam bawah sadar masyarakat desa, melalui kekayaan dan agama. Perlahan-lahan dominasi Priyai mendapat tempat di alam pikir meraka. Bahwa priyai itu harus dihormati dengan segala cara, sebab menjadi rakyat kecil, menjadi orang kampung, adalah sebuah kutukan yang memaksa mereka harus rela disebut sahaya atau budak!
Priyai hidup di kota dan orang-orang miskin hidup di desa. Dengan konstruk bangunan hunian yang bertembok tebal dan tinggi, orang-orang desa tak boleh menginjakkan kaki di tanah kaum priyai. Kualat dan terkutuklah mereka yang berusaha menentang penguasa ini karena mereka mempunyai marsose atau polisi. Afiliasi dengan kaum Belanda kian memperdalam cengkraman feodalisme ini.
Soal roman, siapapun mengakui bahwa Pram adalah kreator yang piawai, baik dari segi teknik maupun gagasan yang disampaikannya. Setidaknya, sekian penghargaan dari dalam dan luar negeri menjadi legalitas atasnya. Berkali-kali masuk nominasi penerima hadiah Nobel membuat namanya melambung di jagad sastra Internasional. Namun, hingga ajal menjempunya ia belum berhasil meraih penghargaan bergengsi tersebut.
Dalam roman “Gadis Pantai”, Pram berhasil membawa pembaca masuk dalam alur kehidupan priyai yang serba istimewa dan kehidupan orang-orang pinggiran, terutama kampung nelayan, yang miskin dan terbelakang menjadi dua wajah yang saling bertentangan. Kehidupan priyai terwakili oleh sosok Bendoro, pembesar santri yang bekerja kepada Belanda. Sementara kehidupan orang-orang desa diwakili oleh sosok Gadis Pantai.
Gadis Pantai adalah bunga kampung nelayan karesidenan Jepara Rembang. Parasnya yang cantik telah memikat hati pembesar untuk dijadikan gundik. Oleh karena Gadis Pantai dari keturunan orang kampung, maka statusnya hanyalah menjadi isteri percobaan sebelum didatangkan isteri yang sesungguhnya dari kalangan bangsawan.
Menjadi isteri pembesar dalam keyakinan masyarakat desa adalah suatu kehormatan. Itulah titik dimana perubahan status sosial dari sahaya menjadi Bendoro Putri dimulai. Kehidupan yang serba menelikung membuat keyakinan mereka menjadi utuh karena dengan menjadi isteri pembesar akan tercukupilah segala kebutuhan sehari-hari. Dan yang terpenting adalah ia akan dihormati dengan segala cara oleh orang-orang kebanyakan.
Demikianlah juga yang melingkupi pikiran orang tua Gadis pantai. Dengan berbekal keyakinan itu mereka berdua disertai kerabat dekat dan lurah berangkat ke kota untuk menyerahkan Gadis Pantai kepada pembesar tersebut.
Sepanjang perjalanan, Gadis Pantai mulai merasakan batinnya berkecamuk. Tak henti ia lontarkan pertanyaan atas apa yang dialaminya saat ini. Dirasakan pula kehidupannya bakal berubah. Tapi ia tak bisa menolak karena desakan kedua orang tuanya. Ia paksakan mengikuti kehendak mereka semata-mata demi melapangkan hati keduanya.
Perubahan spontan yang dialaminya membuat ia sulit beradaptasi dengan kehidupan priyai. Di tempat tinggal baru yang besar dan bertembok tebal-tinggi, ia merasa banyak keanehan melingkupi. Orang-orang di sekitarnya hormat begitu rupa tak seperti di kampung halamannya. Di kampung nelayan sana, siapa yang mau menghormati anak pelaut yang sehari-harinya bekerja sebagai pencari ikan membantu sang ayah.
Keadaan begitu cepat berubah. Tahu-tahu Gadis Pantai sudah memiliki banyak pelayan. Semua tunduk padanya. Di lingkungan itu, hanya Bendoro yang berhak memerintahnya, karena kepadanyalah ia mengabdi. Bendoro harus dilayani sebaik mungkin. Maka, pada awal-awal Gadis Pantai menjadi Bendoro Putri, ia dibantu para sahaya mengenal kehidupan priyai. Mereka ajarkan bagaimana menawarkan makan kepada Bendoro, menyambut Bendoro ketika baru pulang, cara menghormat dengan menggelesot, dst. Demikianlah tahapan ia menjadi isteri pembesar semata-mata untuk tidak menurunkan wibawa Bendoro di mata orang-orang kebanyakan.
Lambat laun Gadis Pantai mulai bisa mengikuti alur hidup priyai. Namun, dirasakannya dalam tiap detik selalu ada yang memberontak nuraninya. Pertanyaan-pertanyaan cerdik seringkali ia lontarkan kepada salah satu Sahaya yang setia melayaninya tiap hari. Pertanyaan-pertanyaan itu misalnya, kenapa orang-orang di lingkungan tempat ia tinggal sangat menghormatinya? Dan kenapa masyarakat kampung harus tunduk kepada priyai? Mendengar pertanyaan Gadis Pantai, orang tua itu lebih sering mengalihkan pembicaraan karena takut tak sopan kepada Bendoro Putri.
Setelah setahun, perlahan-lahan kehidupan Gadis Pantai mulai berubah. Konflik rumah tangga pun mulai bermunculan. Pertama-tama adalah Bendoro yang seringkali berada di luar rumah. Gadis Pantai pun merasakan cemburu. Lalu bertambah lagi dengan dipecatnya sahaya yang setia menemaninya karena adanya konflik dengan agus-agus anak Bendoro dari isteri-isteri yang sebelumnya. Kemudian datangnya Mardinah, seorang bekas isteri pembesar di Demak, yang menggantikan sahaya yang dipecat tadi. Namun, kedatangannya justeru bermaksud menggulingkan posisi Gadis Pantai sebagai isteri Bendoro.
Puncaknya adalah saat ia hamil dan melahirkan. Bendoro yang jarang berada di rumah membuat Gadis Pantai risau hatinya. Namun apa hendak dikata, tak ada yang berani menegur Bendoro. Kebiasaannya berada di luar rumah ditambah dengan perhatiannya yang meluntur kepada Gadis Pantai. Bahkan ia merasakan kekecewaan karena Gadis Pantai hanya melahirkan anak perempuan.
Seperti isteri-isterinya terdahulu, Gadis Pantai pun akhirnya dicerai oleh Bendoro. Ia juga dipisahkan dari anak yang baru dilahirkannya. Perlakuan ini membuat aroma pemberontakan Gadis Pantai muncul. Kegigihannya mempertahankan keinginan mengasuh bayinya di kampung halaman membuat ia diusir dari rumah Bendoro. Bendoro murka karena melihat Gadis Pantai menentangnya. Ia katakan Gadis Pantai adalah pencuri karena akan membawa bayinya, darah dagingnya sendiri.
Setelah tak berhasil membawa bayi itu, Gadis Pantai pulang dengan dada bergemuruh. Bersama Bapaknya ia naik dokar yang sudah disediakan oleh Bendoro. Namun, saat sampai di perbatasan kampung, ia meminta kusir untuk putar haluan kembali ke kota sedang bapaknya diminta pulang. Ia akan pergi ke selatan menemui sahaya yang diusir oleh Bendoro untuk menutup malu dari orang kampung nelayan yang dulu menghormatinya ketika ia pulang pertama kali.
Roman ini sebenarnya tak selesai hanya sampai di sini. Ada dua buku lagi sebagai lanjutan dari kisah hidup Gadis Pantai. Namun, dua buku itu menjadi korban vandalisme Angkatan Darat sehingga ia raib entah ke mana. Roman ini pun kemungkinan besar juga akan bernasib sama dengan dua roman sekuel tersebut jika saja tak ada kebaikan dari Universitas Nasional Autralia (ANU) di Canberra yang mau mendokumentasin, dan lewat Savitri P. Scherer, mahasiswi yang mengambil tesis tentang Pram, mengirimkannya kepada Pramoedya Ananta Toer.

guluk-guluk, 27 September 2010

1 Response to "Catatan Ringan Roman “Gadis Pantai”"

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel