Kejutan dari Eropa untuk Madura
Judul : 10 Bulan
Pengalaman Eropa, Utrecht University, Belanda-NTNU, Norwegia
(2009-2010)
Penulis : M. Mushthafa
Tebal : 106 halaman
Cetakan 1 : November
2012
Penerbit : Independen
Satu hal yang menarik pembaca ihwal buku cerita
perjalanan adalah kejutannya. Pembaca ingin mengetahui seberapa jauh
si pencerita menawarkan hal-hal baru yang memukau dan belum pernah
mereka dapatkan sebelumnya. Keinginan semacam itu barangkali lumrah
sebagai naluri dasar manusia.
Telah banyak beredar buku-buku yang mengisahkan
tentang perjalanan. Berbagai macam kejutan telah pula didedahkan di
dalamnya. Menariknya, buku perjalanan mudah sekali manawarkan hal-hal
baru karena pengalaman masing-masing penulisnya kerap berbeda. Belum
lagi cara penyampaiannya yang beragam, ada yang menggunakan fiksi dan
ada pula yang fakta.
Keberagaman itulah yang membuat banyak buku
perjalanan tetap diminati. Pembaca berharap mendapat penjelasan
bagaimana masing-masing penulis menaklukkan berbagai tantangan dalam
alur perjalanan mereka. Seberapa jauh mereka bisa memecahkan
persoalan-persoalan tersebut. Oleh karena itu, keunikan pengalaman
masing-masing penulisnya menjadi taruhan untuk merebut hati pembaca.
Di dunia fiksi, misalnya, orang akan merasakan
pengembaraan Andrea Hirata (dalam novel “Edensor”) di
benua Eropa dan Afrika begitu memompa adrenalin. Balutan fiksi
membuatnya makin menampakkan perasaan tegang pembacanya.
Dalam bentuk non-fiksi, buku “10 Bulan
Pengalaman Eropa, Utrecht University, Belanda-NTNU, Norwegia
(2009-2010)” bisa menjadi contoh yang cukup bagus. Buku ini
berkisah tetang pengalaman K. M. Mushthafa dalam melanjutkan
pendidikannya di Belanda dan Norwegia. Selama sepuluh bulan, pria
kelahiran Guluk-Guluk, Sumenep, Madura tersebut banyak mengalami
hal-hal baru di sana, misalnya tentang perbedaan kultur, iklim, dan
pola pikir masyarakatnya. Keberangkatannya ke sana atas prakarsa Uni
Eropa yang memberinya beasiswa dalam program Erasmus Mundus.
K. Mushthafa meramu berbagai kisah dengan sudut
penceritaan yang beragam. Ada banyak kejutan yang ditawarkannya,
meski kadang disampaikan secara datar. Maklum, buku non-fiksi
cenderung berkisah apa adanya, tanpa bumbu dramatisasi.
Model penceritaan yang beragam dalam buku ini
membawa pesan lain ke hadapan pembaca. Dalam sejumlah tulisannya,
model penceritaannya dibumbui dengan refleksi. Artinya, penulis tidak
saja berusaha mengabarkan suatu fakta ihwal negeri seberang,
melainkan juga mengajak pembaca ikut berefleksi. Hal itu, misalnya,
tampak dalam tulisan yang berjudul, “Daun-daun yang Berpulang”,
“Perjalanan-dalam-Kegelapan”, “A Lonely Biker” dan “Taman
Rahasia”.
Selain soal refleksi, kelebihan buku ini juga
disumbangkan oleh data-data yang lumayan detail. Satu contoh, tulisan
berjudul “Mengunjungi Rumah Anne Frank” makin hidup dengan
adanya referensi tentang kisah singkat perempuan Jerman korban
kekejaman Nazi tersebut. Hal ini akan membantu pembaca yang awam
mengenai sejarah kehidupan Anne.
Kejutan lainnya adalah keberhasilan penulis
mendekatkan objek kisah dengan pembaca. Pembaca diajak ikut merasakan
bagaimana hidup di negeri seberang. Kisah-kisah tersebut bisa dibaca,
misalnya, dalam tulisan berjudul, “Gelandangan Semalam” dan
”Badai Salju dan Pengalaman Terburuk di Belanda”.
Dalam “Gelandangan Semalam” , pembaca
akan menjumpai kisah penulis yang tertinggal kereta di Hauptbahnhof
(Hbf) Frankfurt setelah mengunjungi Leipzig dan Berlin. Dalam keadaan
lelah, terpaksa beliau harus menunggu hingga semalaman untuk sampai
di Eschborn, tempat tinggal temannya.
“Badai Salju dan Pengalaman Terburuk di
Belanda” berkisah tentang pengalaman penulis bertahan ditengah
badai salju yang mengganas. Saat itu, ketebalan salju mencapai 30 cm!
Penulis yang mau liburan ke Frankfurt terpaksa beratahan di Utrech
Centraal Station karena tertinggal bus Eurolines. Badai salju telah
membuat jadwal keberangkatan bus menjadi kacau, sehingga penulis
harus menunggu bus berikutnya dalam waktu yang cukup lama.
Dari sekian kisah yang dipaparkan dalam buku ini,
ada satu yang tampak menjelaskan keterlibatan emosi penulis yang
begitu mendalam, yaitu pada tulisan yang berjudul “Ayah, Apa
Kau Masih Bisa Memimpin Pembacaan Shalawat di Perayaan Maulid Tahun
Ini?”. Bentuk pertanyaan dalam judul tersebut sudah mengajak
pembaca untuk ikut larut dalam perasaan penulis.
Jarak sebelas ribu kilometer (Eropa-Madura) telah
mencipta kerinduan seorang anak kepada ayahnya. Dan ia menemukan
momentumnya, yaitu ketika perayaan Maulid Nabi. Sang Ayah yang
pembaca shalawat bersuara merdu sering memandu acara Maulidan di
tanah kelahirannya. Namun, kemerduan itu terganggu akibat penyakit
stroke yang menyerang sang ayah. Lama tidak berjumpa membuat
si anak menerka-nerka tetang keadaan ayah tercintanya. Dari jarak
yang jauh ia bertanya, Ayah, apa kau masih bisa memimpin pembacaan
shalawat di perayaan Maulid tahun ini?
*Tulisan ini dimuat Radar Madura edisi Minggu, 18 November 2012
*Tulisan ini dimuat Radar Madura edisi Minggu, 18 November 2012
Mantap artikelnya neh, keren ane suka!
ReplyDeleteMakasih....
Deletekeren conk..........
ReplyDeleteKalangkong, Nom/Bhi'. Hehehe...
Delete