Ketika Blogger Kampung(an) Galau
Belakangan saya absen dari dunia blogging. Postingan terakhir bertanggal 29 Desember 2013. Itu artinya saya vakum selama sebulan lebih, jangka waktu yang cukup panjang bagi seorang blogger tentu saja. Saya curiga, si Mbah Google mulai lirak-lirik untuk menurunkan PR blog saya. Jangan dulu, Mbah! Itu prestasi satu-satunya yang saya dapatkan dari blog ini.
Hidup di kampung terkadang menjadi masalah bagi kita yang mau hidup ditemani internet. Dengan jaringan yang hanya mentok di 2G, kehadirannya menjadi tak berarti jika untuk membuka blog saja butuh perjuangan berdarah-darah. Alhasil, blog pun terbengkalai, rumput-rumput bertumbuhan di halamannya membentuk semak belukar. Dan jin-jin berdatangan dari segala penjuru dengan misi yang berbeda-beda. Walau demikian, ada saja yang masih mencoba berkunjung seperti Anda yang sedang membaca tulisan ini. Jangan khawatir, jin-nya tidak ganas, kok.
Hampir semua kartu GSM pernah saya coba, tapi hasilnya sama-sama mengenaskan. Membuka situs jejaring sosial susah sekali, apalagi untuk ngeblog dan lainnya. Itu saya lakukan ketika awal-awal berada di kampung halaman, sekitar lima bulan lalu. Namun saya tak patah arang. Berkat saran dari seorang teman, saya mencoba membeli modem CDMA Smartfren. Dan, astaga! Di kampung ini sinyalnya ganteng sekali. Jaringan EVDO yang digunakannya kokoh tak tertandingi. Saya girang dan mulai mencoba mainan baru ini.
Setelah menggunkan Smartfren, saya kembali bisa terkoneksi dengan alam lain setelah sebelumnya selalu berada di alam nyata dalam keadaan frustasi. Komunikasi dengan teman-teman yang jauh mulai bisa terjalin kembali. Saya bisa berselancar dengan tenang tanpa diganggu oleh tanda loading yang terus-menerus berputar.
Paket Connex Evo yang saya gunakan ternyata sangat cepat untuk ukuran internet di kampung saya. Namun, saya kemudian dikejutkan oleh kenyataan bahwa kuota yang dijatah untuk paket ini hanya berpihak kepada orang-orang kaya. Kuota untuk paket pembelian Rp. 50rb sebanyak 3GB saya gunakan tidak sampai sebulan. Padahal, saya nyaris tidak pernah mendownload, kecuali hanya file-file kecil dan hanya beberapa saja. Saya curiga, jangan-jangan ada jin yang ikut mengambil keuntungan di sini. Diam-diam dia menggunakan modem saya saat saya sedang terlelap. Teeerlaaaluuuh….
Bulan berikutnya saya beralih ke paket Unlimited. Dengan harga Rp. 49rb, saya bisa mendapatkan kuota internet sebesar 2GB PUF (batas pemakaian normal). Ketika beralih ke paket ini, di kepala saya mulai menderum-derum pepatah zaman batu, “Uang memang tak pernah bohong”. Saya tak lagi mendapatkan kelancaran sebagaimana yang disuguhkan paket Connex Evo, meski saya bisa online selama sebulan. Masuk ke dalam dasbor website Plat-M, misalnya, seperti masuk ke dalam hati seorang perempuan yang memiliki sifat cuek tingkat malaikat maut. Butuh perjuangan yang berdarah-darah. Yeaaah….
Paket Unlimited hanya bertahan sebulan dan saya memutuskan untuk membeli ponsel yang agak smart. Ada banyak pertimbangan mengapa saya membuat keputusan seperti ini. Pertama, saya membutuhkan kameranya untuk merekam berbagai momen yang saya temui. Selama ini, saya selalu gemas kalau melihat momen-momen penting yang tak tertangkap kamera. Saya adalah penikmat fotografi. Kedua, koneksi di ponsel lebih cepat ketimbang di laptop. Ketiga, paketnya lebih murah. Uang Rp. 50rb bagi orang kampung merupakan jumlah yang besar. Itu bisa membiayai kebutuhan hidup dalam beberapa hari. Dan tentu saja, sulit mencari uang sebesar itu. Makanya, dengan menggunakan ponsel, budget yang dikeluarkan bisa separuh dari angka tersebut. Kelima, saya bisa terkoneksi setiap saat bersama teman-teman.
Itu pertimbangan yang sudah matang hasil bertapa di gua Payudan selama 141 hari, tanpa makan, tanpa minum dan tanpa istri, yang membuat jenggot dan bulu ketiak menjadi gondrong. Namun, tapa itu tampaknya kurang lama. Saya luput memikirkan sisi balik dari kenyamanan-kenyamanan di atas. Hal itu saya tahu setelah beberapa hari menggunakan ponsel antara pintar dan bego tersebut.
Awalnya, saya girang bukan main ketika berhasil mengunduh aplikasi blogger untuk ponsel. Ini adalah kesempatan untuk rajin ngeblog, pikir saya, karena ngeblog bisa sambil tiduran atau ngupil. Namun, beberapa menit setelah menjajal aplikasi tersebut, saya gagal untuk sujud syukur. Jaringan 2G yang menjadi nyawa aplikasi tersebut nyatanya membuat saya merana tujuh keliling. Ikon loading terus berputar-putar tanpa tujuan dan tulisan yang saya posting tersangkut entah di mana. Ia tak pernah muncul di halaman depan blog saya, hingga akhirnya saya putuskan untuk menyemayamkan aplikasi ini untuk selama-lamanya.
Dugaan saya terkait koneksi yang cepat di ponsel agak keliru. Meski lebih cepat dari koneksi di laptop, nyatanya hanya bertambah beberapa tingkat saja di atasnya yang tak pernah membuat aktivitas ngeblog menjadi lebih baik dari sebelumnya. Selain itu, layar ponsel yang kecil membuat saya merasa kerepotan untuk mengatur tulisan. Ngeblog di ponsel mungkin memang praktis, tapi, bagi saya, space kecil yang disediakannya akan berpengaruh terhadap apa yang akan saya tulis. Ini pula yang kian membuat saya berinisiatif talak tiga dengan aplikasi tersebut.
Terkait harga paket internet, jika dihitung-hitung, lebih murah bagi mereka yang hidup di kota ketimbang mereka yang hidup di desa. Dengan uang Rp. 25rb, orang kota dengan koneksi 3G-nya bisa mendapatkan kuota 600 MB dari XL Axiata, sementara orang kampung hanya menikmati 200 MB dengan koneksi 2G. Jauh sekali keterpautannya. Hal yang sama juga terjadi pada beberapa kartu dari operator Telkomsel.
Saat ini, satu-satunya yang bisa diharapkan adalah operator Indosat. Meski jalannya masih tersaruk-saruk, setidaknya saya bisa menikmati kuota 600 MB + 1,5 GB di jaringan 2G dengan harga yang sama. Di sini berlaku pepatah “Biar lambat asal selamat”. Jos gandos!
Hidup di kampung terkadang menjadi masalah bagi kita yang mau hidup ditemani internet. Dengan jaringan yang hanya mentok di 2G, kehadirannya menjadi tak berarti jika untuk membuka blog saja butuh perjuangan berdarah-darah. Alhasil, blog pun terbengkalai, rumput-rumput bertumbuhan di halamannya membentuk semak belukar. Dan jin-jin berdatangan dari segala penjuru dengan misi yang berbeda-beda. Walau demikian, ada saja yang masih mencoba berkunjung seperti Anda yang sedang membaca tulisan ini. Jangan khawatir, jin-nya tidak ganas, kok.
Sebagian kartu yang pernah saya coba |
Hampir semua kartu GSM pernah saya coba, tapi hasilnya sama-sama mengenaskan. Membuka situs jejaring sosial susah sekali, apalagi untuk ngeblog dan lainnya. Itu saya lakukan ketika awal-awal berada di kampung halaman, sekitar lima bulan lalu. Namun saya tak patah arang. Berkat saran dari seorang teman, saya mencoba membeli modem CDMA Smartfren. Dan, astaga! Di kampung ini sinyalnya ganteng sekali. Jaringan EVDO yang digunakannya kokoh tak tertandingi. Saya girang dan mulai mencoba mainan baru ini.
Setelah menggunkan Smartfren, saya kembali bisa terkoneksi dengan alam lain setelah sebelumnya selalu berada di alam nyata dalam keadaan frustasi. Komunikasi dengan teman-teman yang jauh mulai bisa terjalin kembali. Saya bisa berselancar dengan tenang tanpa diganggu oleh tanda loading yang terus-menerus berputar.
Paket Connex Evo yang saya gunakan ternyata sangat cepat untuk ukuran internet di kampung saya. Namun, saya kemudian dikejutkan oleh kenyataan bahwa kuota yang dijatah untuk paket ini hanya berpihak kepada orang-orang kaya. Kuota untuk paket pembelian Rp. 50rb sebanyak 3GB saya gunakan tidak sampai sebulan. Padahal, saya nyaris tidak pernah mendownload, kecuali hanya file-file kecil dan hanya beberapa saja. Saya curiga, jangan-jangan ada jin yang ikut mengambil keuntungan di sini. Diam-diam dia menggunakan modem saya saat saya sedang terlelap. Teeerlaaaluuuh….
Bulan berikutnya saya beralih ke paket Unlimited. Dengan harga Rp. 49rb, saya bisa mendapatkan kuota internet sebesar 2GB PUF (batas pemakaian normal). Ketika beralih ke paket ini, di kepala saya mulai menderum-derum pepatah zaman batu, “Uang memang tak pernah bohong”. Saya tak lagi mendapatkan kelancaran sebagaimana yang disuguhkan paket Connex Evo, meski saya bisa online selama sebulan. Masuk ke dalam dasbor website Plat-M, misalnya, seperti masuk ke dalam hati seorang perempuan yang memiliki sifat cuek tingkat malaikat maut. Butuh perjuangan yang berdarah-darah. Yeaaah….
Paket Unlimited hanya bertahan sebulan dan saya memutuskan untuk membeli ponsel yang agak smart. Ada banyak pertimbangan mengapa saya membuat keputusan seperti ini. Pertama, saya membutuhkan kameranya untuk merekam berbagai momen yang saya temui. Selama ini, saya selalu gemas kalau melihat momen-momen penting yang tak tertangkap kamera. Saya adalah penikmat fotografi. Kedua, koneksi di ponsel lebih cepat ketimbang di laptop. Ketiga, paketnya lebih murah. Uang Rp. 50rb bagi orang kampung merupakan jumlah yang besar. Itu bisa membiayai kebutuhan hidup dalam beberapa hari. Dan tentu saja, sulit mencari uang sebesar itu. Makanya, dengan menggunakan ponsel, budget yang dikeluarkan bisa separuh dari angka tersebut. Kelima, saya bisa terkoneksi setiap saat bersama teman-teman.
Itu pertimbangan yang sudah matang hasil bertapa di gua Payudan selama 141 hari, tanpa makan, tanpa minum dan tanpa istri, yang membuat jenggot dan bulu ketiak menjadi gondrong. Namun, tapa itu tampaknya kurang lama. Saya luput memikirkan sisi balik dari kenyamanan-kenyamanan di atas. Hal itu saya tahu setelah beberapa hari menggunakan ponsel antara pintar dan bego tersebut.
Awalnya, saya girang bukan main ketika berhasil mengunduh aplikasi blogger untuk ponsel. Ini adalah kesempatan untuk rajin ngeblog, pikir saya, karena ngeblog bisa sambil tiduran atau ngupil. Namun, beberapa menit setelah menjajal aplikasi tersebut, saya gagal untuk sujud syukur. Jaringan 2G yang menjadi nyawa aplikasi tersebut nyatanya membuat saya merana tujuh keliling. Ikon loading terus berputar-putar tanpa tujuan dan tulisan yang saya posting tersangkut entah di mana. Ia tak pernah muncul di halaman depan blog saya, hingga akhirnya saya putuskan untuk menyemayamkan aplikasi ini untuk selama-lamanya.
Dugaan saya terkait koneksi yang cepat di ponsel agak keliru. Meski lebih cepat dari koneksi di laptop, nyatanya hanya bertambah beberapa tingkat saja di atasnya yang tak pernah membuat aktivitas ngeblog menjadi lebih baik dari sebelumnya. Selain itu, layar ponsel yang kecil membuat saya merasa kerepotan untuk mengatur tulisan. Ngeblog di ponsel mungkin memang praktis, tapi, bagi saya, space kecil yang disediakannya akan berpengaruh terhadap apa yang akan saya tulis. Ini pula yang kian membuat saya berinisiatif talak tiga dengan aplikasi tersebut.
Terkait harga paket internet, jika dihitung-hitung, lebih murah bagi mereka yang hidup di kota ketimbang mereka yang hidup di desa. Dengan uang Rp. 25rb, orang kota dengan koneksi 3G-nya bisa mendapatkan kuota 600 MB dari XL Axiata, sementara orang kampung hanya menikmati 200 MB dengan koneksi 2G. Jauh sekali keterpautannya. Hal yang sama juga terjadi pada beberapa kartu dari operator Telkomsel.
Saat ini, satu-satunya yang bisa diharapkan adalah operator Indosat. Meski jalannya masih tersaruk-saruk, setidaknya saya bisa menikmati kuota 600 MB + 1,5 GB di jaringan 2G dengan harga yang sama. Di sini berlaku pepatah “Biar lambat asal selamat”. Jos gandos!
0 Response to "Ketika Blogger Kampung(an) Galau"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.