Saya, Jurnalistik, dan Koran di Madura
Saya menyukai jurnalistik, tapi tidak cocok jadi wartawan. Komunikasi, sebagai prasyarat menjadi wartawan, adalah masalah utama yang menghambat saya. Saya pendiam dan tidak lincah. Lebih sering jadi pendengar ketimbang bicara. Padahal, kata guru, seorang wartawan harus cerewet dan kritis.
Dua tahun lalu, saya memang aktif di dua lembaga pers: Lembaga
Pers Mahasiswa Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (LPM Instika) dan BlogAnnuqayah. Dua-duanya memberi saya banyak pengetahuan. Di Blog Annuqayah saya
mendapat tugas meliput hal-hal yang berkaitan dengan PP. Annuqayah Lubangsa
Selatan, Guluk-Guluk, Sumenep, tempat saya mondok, sementara di LPM Instika saya
mendapat tugas meliput di luar PP. Annuqayah (sesuai tema).
Persentuhan saya dengan dua lembaga tersebut membuat pengetahuan
tentang jurnalistik saya kian banyak. Saya belajar kepada guru-guru yang memang
sudah memiliki banyak wawasan tentangnya. Di Blog Annuqayah, mislanya, ada K.
M. Mushthafa yang sudah malang melintang di dunia literasi. Saya menimba banyak
pengetahuan dari beliau, tidak saja dari materi jurnalistik, melainkan juga
ketekunan menyelesaikan pekerjaan.
Setelah lepas dari dua lembaga itu, saya sudah tidak lagi
intens menulis berita. Tulisan jurnalistik yang saya hasilkan hanya beberapa
butir saja. Itu pun tidak saya kerjakan dengan sungguh-sungguh seperti ketika
masih aktif jadi jurnalis. Saya mengalami perubahan drastis kala itu.
Ke belakang itu, saya lebih fokus mengamati perkembangan dunia
pers, utamanya di Madura. Bagaimanapun, meski sudah tidak di lembaga pers, saya
tetap punya perhatian yang cukup besar terhadap dunia yang satu ini. Menarik
sekali memperbicangkannya, apalagi menyangkut fenomena pers di Madura.
Untuk menambah wawasan, saya berusaha membaca sejumlah
literatur jurnalistik, baik dalam bentuk teori, pengalaman reportase, ataupun
hasil reportase. Soal teori, saya banyak belajar kepada tulisan Farid Gaban,
Goenawan Mohammad, Andreas Harsono, dll. Tulisan-tulisan mereka saya baca di
dokumen Yayasan Pantau.
Mengenai pengalaman turun ke lapangan, saya pernah membaca
bukunya Ahmad Arif, wartawan Kompas, yang berjudul “Jurnalisme Bencana, Bencana
Jurnalisme”. Buku itu sangat menarik karena menceritakan pengalaman mengerikan ketika
meliput peristiwa tsunami di Aceh. Arif
melihat dengan mata kepala sendiri mayat-mayat yang bergelimpangan di
mana-mana, lalu menuliskannya untuk di kirim ke koran tempat dia bekerja.
Tentang produk jurnalisme, misalnya, saya pernah membaca
bukunya Linda Christanty yang berjudul “Jangan Panggil Kami Teroris”. Buku
tersebut berkisah tentang banyak hal, terutama mengenai Aceh dan gerakan
separatis GAM. Linda sangat piawai menulis berita dalam bentuk feature.
Tidak banyak buku jurnalistik yang saya baca. Hanya itu
saja. Meski tertarik, saya jarang membeli buku-buku jurnalistik. Lebih sering
membaca milik teman atau guru. Oleh K. Mushthafa, saya dulu pernah dipinjami
buku tentang jurnalisme Malajah Tempo.
Meski dengan wawasan yang sangat terbatas, saya coba-coba
mengamati berita-berita di sejumlah media harian di Madura. Menarik sekali melihat
perkembangan media akhir-akhir ini yang mulai marak. Setidaknya, dalam dua tahun
terakhir, sudah tiga koran baru yang terbit di Madura. Ini merupakan
perkembangan yang patut dibanggakan, mengingat pers adalah penanda suatu
komunitas masyarakat sudah mulai melek informasi dan literasi. Tidak sekadar
memelototi televisi siang malam.
Dari sedikitnya empat koran yang kini terbit, masyarakat
Madura diberi pilihan rujukan sumber berita yang akan mereka ikuti. Dominasi
Radar Madura yang sudah bertahun-tahun menjadi koran satu-satunya di Madura
dengan sendirinya akan tergusur. Ia harus juga ikut berkompetisi dengan
koran-koran baru yang muncul belakangan. Apalagi, Radar Madura mencatat
reputasi yang kurang baik sebelumnya. Ia dikesankan sebagai koran dengan
peberitaan yang tak setia fakta dan kerap mengekspos berita-berita porno.
Dengan banyaknya koran yang terbit, masing-masing pengelola
harus bersaing menjadi yang terbaik. Sebab, taruhan mereka adalah konsumen
berita. Bagaimanapun, ke depan masyarakat akan kian pandai memilih. Meraka
tentu akan lambat laun meninggalkan koran-koran yang suka membodohi
pelangganya. Bila pengelola koran tetap membandel, jangan salahkan pelanggan
bila pindah ke lain koran.
saiki trus nyapo?
ReplyDeletesampe skrg sllu kagum sm annuqoyyah yg mlahirkan byk penulis produktif dan berkualitas, nyang jd favoritku mbak ana anamah, dia jg lulusan annuqoyah, aku suka bgt sm novel2nya.. ada jg seniorku namanya tirmidzi yg jd jurnalis kampus, yg skrg aktif jd jurnalis mjalah aula, lulusan anuqoyah jg, ada jg temenku dr annuqoyah nmanya alma, rumahnya guluk2 gt deh, tp dia ga jd penulis :D wes poko e byk temenku dsana..
gak ngerti bahasa jowo. :D
DeleteMbak Ana An'amah itu istri teman dan guru saya, Zaitur RB. Datanglah ke Annuqayah biar tahu aslinya bagaimana. Kadang yang terbayang tidak sesuai dengan kenyataan yang ada di lapangan. :)
Oya, di IAIN Sunan Ampel memang banyak alumni Annuqayah. Ada sebagian yang memang aktif menulis.
wah, emangnya kenapa sama orangnya kang? :D
Deleteaneh yaaa kalo orang madura ga ngerti bahasa jawa, di tempatku, anak2 madura yang mondok di surabaya uda pinter bahasa kromo inggil, termasuk mengartikan kitab gundul dengan bahasa jawa lancar banget :D
iya banyak banget, sampe2 50% temenku itu berdarah daging madura :D kalo sampean ini singgah ke iain maka 80% isinya adalah dari madura :D
Ya gak aneh lah. Namanya juga orang Madura. Ngomongnya gak pake bahasa jawa. :)
DeleteBetul banget. Rektornya yang sekarang juga orang Madura. :p
hahaa.. pak mahfud MD kan juga orang madura.. btw, kangen banget ke makamnya syekh kholil bangkalan.. mungkin skrg masjidnya sudah sempurna yak.. ra fuad emg top :D
ReplyDelete