-->

Kalau Mau Menjadi Jurnalis, Menanaklah!



“Kalau kalian mau jadi jurnalis sukses, menanaklah!” ujar Reyadi kepada sejumlah teman yang sedang duduk-duduk pagi itu. “Anam sekarang sukses menjadi jurnalis karena dia dulu rajin menanak,” lanjutnya. Mereka yang mendengarkan kelakar tersebut hanya senyum-senyum.

Guyonan seperti itu kerap dipakai oleh saya dan teman-teman. Dulu, ketika masih aktif di Lembaga Pers Mahasiswa Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (LPM-Instika), Hairul Anam terkenal sebagai tukang menanak nasi. Ia lebih rajin ketimbang saya dan teman-teman. Soal menanak kami memang kalah, tapi soal makan malah sebaliknya, kami lebih rajin ketimbang dia. Bahkan, karena brengseknya teman-teman, dia pernah tidak disisakan nasinya, padahal dialah yang susah-payah menanak nasi tersebut.

Tentu saja soal menanak tak ada kaitan langsung dengan kesuksesan dia dalam menapaki karir sebagai jurnalis. Di luar kebiasaannya menanak, dia memang seorang yang selalu punya target dalam melakukan sesuatu. “Dalam sebulan ini saya harus menulis 50 berita,” katanya kepada saya suatu kali. Dan ia penuhi target tersebut. Kala itu ia masih aktif mengelola website NU Pamekasan.

Sebelum berhenti mondok, selain aktif di LPM-Instika, Anam juga aktif menulis berita di Blog Annuqayah. Ia termasuk yang paling rajin menyumbangkan tulisan-tulisannya untuk laman ini. Sampai-sampai seorang teman berkelakar, “Itu bukan Blog Annuqayah, tapi blognya Anam.” Kelakar yang sama juga terjadi untuk koran Radar Madura. Tulisan-tulisan Anam dalam bentuk opini kerap muncul dalam rubrik “Dari Pesantren untuk Pembaca”.

Setelah pindah ke koran Kabar Madura, saya kian jarang berkomunikasi dengannya. Ia makin sibuk dengan tugas-tugas jurnalistiknya. Kabar terbaru yang saya dapatkan, ia menjadi kepala biro koran tersebut dan mendapat peringkat terbaik. Produktivitas menulis ketika berada di pondok itulah mungkin yang menjadikan ia mendapat peringkat demikian.

Saya mengagumi produktivitas menulisnya. Bagi saya, sebagaimana kerap diungkapkan AS. Laksana, kecakapan dalam menulis hanya bisa didapat dari seringnya berlatih. Sebagai orang yang masih belajar menulis, saya tidak suka sikap perfeksionis. Bagaimanapun, sikap tersebut sering kali membungkam saya untuk menulis. Keinginan menjadi sempurna selalu mematahkan paragraf-paragraf awal tulisan saya. Padahal, seorang pemula pasti tidak akan pernah mencapai sebuah kesempurnaan. Bahkan yang sudah pandai sekalipun. Jadi, menulis saja selancar mungkin. Setelah itu edit.

Sampai saat ini saya masih belum bisa untuk menentukan target seperti Anam. Saya menulis hanya semaunya saja. Pun, saya jarang mengirim tulisan ke media. Praktis tulisan-tulisan saya yang dimuat media sangat sedikit sekali, lebih banyak yang saya tampilkan untuk blog pribadi.

Selain karena memang tidak punya rasa percaya diri, saya juga menulis dengan gaya tulisan yang banyak ditampik media. Saya menyukai tulisan-tulisan ringan dengan gaya bahasa yang renyah (walau selalu gagal). Ide-ide yang muncul selalu berangkat dari kehidupan sehari-hari. Padahal, di media yang sering muncul adalah isu-isu aktual dan dalam bentuk tulisan yang serius. Sangat berbanding terbalik dengan karakter tulisan saya.

Dengan alasan demikian, saya memilih blog sebagai penampung tulisan-tulisan saya. Selain sebagai ruang arsip yang lebih terjamin, blog juga bisa untuk berbagi dengan teman-teman. Dan saya tak ambil pusing apakah ada yang membaca tulisan tersebut atau tidak. Saya hanya ingin menulis saja…

[sumber foto: http://kata-wahyu.blogspot.com]

2 Responses to "Kalau Mau Menjadi Jurnalis, Menanaklah!"

  1. mungkin kalo aku jadi jurnalis yang sehebat anam pasti reyadi berujar "kalau mau menjadi jurnalis, minumlah kopi!"

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha... Ini cewek kok kopi terus yang diomongin. :D

      Delete

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel