Ingin Ngothel
Beberapa hari lalu, saya kembali melakukan
aktivitas tersebut. Saya membuka-buka file dengan harapan mendapat
ide menarik setelah sekian jam kepala kosong. Namun, hingga lama di
depan komputer, saya tidak menemukan satu ide pun. Yang saya temukan
malah bukan ide menulis, melainkan keinginan untuk memiliki sepeda
onthel.
Keinginan itu bermula dari sebuah ebook yang
dikeluarkan oleh situs www.sepedaku.com,
sebuah situs yang membahas tentang banyak hal berkaitan dengan
sepeda. Saya mencoba melihat-lihat dan sesekali membacanya.
Ebook tersebut berjudul “Indonesia dari Atas
Sepeda. Cantik sekaligus menyedihkan”. Saya tidak membacanya secara
keseluruhan, hanya sekilas dan lebih banyak melihat gambar-gambarnya.
Namun, dari gambar tersebut saya sudah bisa menangkap bahwa tulisan
tersebut adalah sebuah laporan perjalanan sekawanan pecinta sepeda
onthel di sejumlah tempat di Sumatera. Laporan itu sebelumnya pernah
dimuat di situs www.sepedaku.com.
Dari sekian foto yang saya lihat, tampak para
penyepeda itu berusaha merekam kondisi di sana, baik keindahan maupun
kerusakannya. Ada pemandangan eksotis dengan danau kebiruan berlatar
pegunungan. Ada gambar sekolah berdinding kayu yang hampir roboh,
anak-anak yang riang bersekolah, orang-orang desa yang miskin, dst.
Semua komposisi hidup kaum pinggiran itu mereka rekam dalam sebuah
gambar, lalu dikisahkan dalam bentuk tulisan.
Memandang foto-foto yang ada dalam ebook tersebut
membangkitkan gairah saya tentang pengembaraan. Tiba-tiba saya ingin
punya sepeda dan berkeliling Madura. Keinginan itu saya tulis dalam
sebuah status facebook. Banyak yang menyukai, barangkali mendukung
saya untuk merealisasikan keinginan itu.
Saya sudah lama memimpikan bisa keliling Madura.
Dulu, saya tidak sempat berpikir tentang sepeda onthel. Pokoknya,
pikir saya waktu itu, saya harus banyak tahu tentang keadaan Madura.
Meski tercatat sebagai orang Madura, saya tidak memiliki banyak
pengetahuan tentang pulau ini, terutama yang berkaitan dengan
tempat-tempat bersejarah.
Ada dua faktor yang menyebabkan saya terjerembab
ke dalam situsi tersebut. Pertama, saya adalah santri yang tentu saja
dibatasi ruang geraknya. Pembatasan itu membuat gerak langkah saya
hanya terfokus di lingkungan pesantren. Saya terhalang aturan.
Kedua, bila sedang liburan, teman-teman yang bisa
saya ajak jalan-jalan jauh rumahnya. Anehnya, di rumah sendiri saya
tidak punya banyak teman akrab. Walaupun ada, mereka tidak ada yang
suka jalan-jalan, apalagi dengan tujuan untuk mengunjungi
tempat-tempat terpencil. Jika untuk sebuah rekreasi ke tempat-tempat
wisata, pastilah mereka akan tertarik.
Terlebih lagi, liburan pesantren kadang hanya
beberapa hari, hanya cukup untuk melepas kangen bersama
keponakan-keponakan kecil. Praktis, waktu tersebut lebih banyak saya
gunakan untuk berdiam di rumah ketimbang blusukan ke mana-mana.
Saya paling tidak suka jalan-jalan sendirian
karena tidak ada teman yang bisa diajak bicara. Apalagi itu untuk
perjalanan yang panjang dan melelahkan. Sebab, kalau ada apa-apa di
jalan, saya akan sulit meminta pertolongan orang lain. Kalau ada
teman, kami bisa saling membantu bila di antara kami ada masalah.
Dua alasan di atas saya kira sudah cukup untuk
melihat saya sebagai orang yang tidak punya wawasan tentang
lingkungannya sendiri. Namun, alasan lain yang cukup penting adalah
saya pemalas! Nah, inilah sifat yang kerap membuyarkan banyak
keinginan saya. Malas untuk berusaha mewujudkan keinginan demi
keinginan berkunjung ke berbagai tempat di Madura.
*****
Bersepeda keliling Madura setidaknya memuat dua
keinginan besar saya, yaitu menulis dan memotret. Dua kegiatan ini
terus saya pupuk agar menjadi semacam hobi. Saya ingin menulis
menjadi keseharian saya, sebagaimana adik saya memelihara pohon sawi
dan kacang panjang. Jika ia menyiramnya tiap pagi, maka pada saat
yang sama saya menyiram kata-kata ke dalam kertas.
Saya tertarik untuk membuat tulisan seperti yang
ada di dalam ebook tersebut. Menulis dan memotret tempat-tempat
terpencil memang sungguh menggairahkan. Saya bisa mengunggahnya di
blog dan mengabarkannya kepada teman-teman melalui situs jejaring
sosial. Indah nian sepertinya.
Untuk sampai pada keinginan itu, saya harus
mempersiapkan banyak hal. Satu hal, sampai saat ini saya belum punya
sepeda onthel. Otomatis saya harus mencari cara agar bisa
mendapatkannya. Saya belum punya solusi untuk itu, selain menyisihkan
uang sedikit demi sedikit. Bagaimanapun, bagi saya yang jarang punya
uang, harga sepeda onthel sekelas Polygon cukup mahal. Memang, secara
harga, banyak yang berada di bawahnya, namun kualitasnya tentu lebih
rendah.
Saya juga perlu memiliki sebuah kamera. Untuk
tahap awal, kamera tidaklah butuh yang mahal. Kamera sekelas Lumix
saya kira sudah cukup. Lumix bila dibanding dengan kamera-kamera
sekelasnya bisa dibilang menang karena memiliki kualitas yang lebih
bagus serta viturnya yang lumayan lengkap. Hasilnya, jika tahu
mengoperasikan, lebih baik ketimbang kamera-kamera lainnya.
Sekarang saya sedang berpikir keras untuk
mendapatkan dua benda tersebut. Dari mana kira-kira saya bisa
mendapatkannya? Jelas saya tidak bisa merealisasikan keinginan
tersebut saat ini, mengingat saya belum punya penghasilan. Saya masih
banyak bergantung kepada orangtua. Untuk membeli sepeda, saya tidak
mungkin meminta kepada mereka.
Keinginan saya memiliki sepeda makin menggebu
ketika salah seorang kiyai saya mengajak teman-teman beliau di
jejaring sosial untuk ikut bersepeda sejauh 60 KM. Saya ingin ikut,
namun jarak sejauh itu belum berani saya tempuh karena tidak
berpengalaman. Terlebih lagi, saya belum punya sepeda sendiri,
sehingga harus mencari pinjaman.
Dengan bersepeda saya mendapatkan tiga hal yang
sangat penting, kesehatan, menulis, dan memotret. Siapa yang mau?
sumber foto: http://harisastra.blogspot.com |
ngonthel perlu untuk menangkis gombalisasi nak..
ReplyDeleteWah, beneran, Mak? Jangan-jangan komentarmu yang gombal:D
DeleteKalau di Jakarta keliling Ibu Kota polusinya ga kuat
ReplyDeleteLebih enak di desa kalo gitu yah? :P
Deletekeindahan alam di ujung timur Madura memang selalu mengusik rindu. ada ketenangan batin bila kita merengkuh aroma tanahnya yang dihembus angin di hujan pertama. indah dan inspiratif. kamera adalah perekam jejak yang paling penting saat kerinduan itu kembali menyapa. I love Madura.
ReplyDeleteterma kasih apresiasinya, Mbak. Salam kenal. :)
Delete