Kampung Buku
Kampung
dalam terminologi Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai
kelompok rumah yang merupakan bagian kota (biasanya dihuni orang
berpenghasilan rendah). Kalimat dalam tanda kurung seperti sebuah
kutukan yang terus berjalin kelindan dalam kehidupan kampung.
Kampung
dalam banyak hal memang selalu tertinggal dari kota. Termasuk dalam
dunia literasi. Sumber-sumber ilmu pengetahuan amat sulit menyentuh
wilayah yang secara geografis jauh dari akses kendaraan. Dan inilah
alasan utama yang sering terdengar ketika ada pertanyaan, kenapa
buku-buku baru sulit mencapai kampung? Atau, kenapa buku-buku yang
sampai di kampung sudah terbit entah beberapa tahun silam?
Pertanyaan-pertanyaan
di atas menjadi masalah, utamanya bagi penulis-penulis resensi yang
hidup di pelosok. Bagaimanapun, mereka membutuhkan buku-buku baru
untuk diresensi. Sementara, buku-buku yang mereka dapatkan sudah
usang dan bila terpaksa diresensi akan ditampik media.
Memang,
persoalan utamanya bukan hanya berkisar masalah resensi. Ada
hal yang lebih mendasar, yaitu keterpenuhan dan kecepatan akses ilmu
pengetahuan di wilayah tersebut. Saat ini, akses ke arah sana cukup
sulit diperoleh. Masyarakat kampung tentu saja masih termasuk bagian
dari Indonesia (walau sering dilupakan mentah-mentah oleh pemerintah)
yang berhak atas pengejawantahan Undang-Undang Dasar tentang hak
mereka memperoleh pendidikan.
Salah
satu usaha pemerintah dalam rangka mendekatkan masyarakat kampung
dengan perpustakaan adalah melalui pengiriman mobil-mobil
perpustakaan keliling. Saat ini ada 65 mobil untuk perpustakaan
propinsi dan 399 untuk kota/kabupaten. Namun, tentu saja fasilitas
itu masih jauh dari cukup, mengingat jumlah kabupaten di Indonesia
saat ini sekitar 430-an.
Beberapa
tahun belakangan, kampung-kampung memang sudah disambangi internet.
Bahkan menjadi demam semenjak menjamurnya situs jejaring sosial. Di
pedalam Madura, tempat saya tinggal, anak-anak bahkan sudah fasih
menggunakan fasilitas tersebut untuk mempercakapkan banyak hal dalam
kehidupan mereka.
Namun,
maraknya internet itu tidak dibarengi dengan pengetahuan dasar
tentang seluk-beluk dunia maya. Mereka hanya menjadi konsumen pasif
yang kadang malah tereksploitasi. Ruang pribadi dimuat habis-habisan
di situs jejaring sosial tanpa mempertimbangkan akibat yang akan
mereka terima.
Di
kalangan para orang tua, demam situs jejaring sosial ini kadang
menjadi anekdot tersendiri. Misalnya di antara mereka ada yang
bertanya, “Pesbuk argena berempa, Cong?” (Facebook
harganya berapa, Nak?). Ini tentu saja berangkat dari ketidaktahuan
mereka bahwa Facebook bukanlah benda semisal goreng pisang atau
bulud.
Inilah
realitas kampung. Pendidikan yang rendah telah membuat masyarakatnya
terpuruk ke dalam labirin hitam kebodohan. Para pendidik hanya
pontang-panting memfoto copy sertifikat untuk lolos sertifikasi dan
menerima gaji tanpa mempertimbangkan kehidupan pendidikan para
siswanya. Sekolah berlomba-lomba membangun gedung mentereng. Mungkin
salah satu ruang berplakat “Perpustakaan”, tapi lihatlah ke
dalamnya. Buku-buku yang berjajar di rak sangat sedikit dan tidak
bermutu.
Membayangkan
kampung buku mungkin terasa sulit mengingat peran dari pemerintah
yang sangat minim. Namun, itu bukan hal yang mustahil bila ada
kemauan. Kita bisa mewujudkannya dengan cara swadaya, tanpa menunggu
uluran tangan dari pemerintah. Eko Tjahyono salah seorang pejuang
perpustakaan kampung dari Malang, Jawa Timur, pernah mewujudkan mimpi
tersebut. Dia bahkan pernah mau menjual ginjalnya hanya karena ingin
menebus tanah yang akan dijual tetangganya. Perpustakaan Rumah Bangsa
yang dia bangun berada di atas tanah tersebut.
memang perlu usaha yang keras mensosialisasikannya, budaya baca buku sudah tergeser dengan maraknya internet sampai ke pelosok kampung sekalipun...
ReplyDeletesemoga sukses sob
Amin. Makasih apersiasinya, Sob.
Delete