Dari Mitos Hingga Adopsi Pohon
Sobat Bumi |
Ketika masih kecil, saya sering mendapat wejangan
dari kakek. Wejangan yang masih saya ingat hingga sekarang adalah
tentang pohon besar. Kakek sering mewanti-wanti saya untuk tidak
mengunjunginya. Saya bertanya alasannya. “Ada jin-nya,” kata
kakek singkat. Membayangkan muka seram sang jin, saya urung bertanya
lebih lanjut. Di benak, saya tanamkan keinginan untuk mematuhi himbauan kakek tersebut.
Namun, di lain waktu, perkataan kakek justru
mengirim rasa penasaran dalam kepala saya. Kadang saya sangat ingin
mengunjungi pohon-pohon besar yang ada di desa saya, tentu tanpa
sepengatuhan kakek. Dan keingintahuan itu lunas ketika suatu sore
sehabis menonto televisi saya pergi ke salah satu pohon besar di
tenggara rumah. Orang-orang di kampung saya biasa menyebutnya pohon
kalompang. Pohon itu besar dan kokoh. Menyeramkan.
Bersama dua orang kawan, saya mencoba menyusuri
jalan kecil yang penuh duri semak. Satu teman memilih menunggu di
ujung jalan setapak karena takut. Kami berdua memberanikan diri masuk
ke semak-semak untuk mencapai batang pohon raksasa itu.
Ketika sampai di hadapannya, dengan masih diliputi
rasa waswas dan takut, kami berdiam, seakan menunggu jin keluar dan
menemui kami sebagaimana perkataan kakek. Sampai sekian menit tak ada
tanda-tanda makhluk itu keluar. Kata-kata kakek mulai terkikis. Saya
berpikir untuk pulang saja. Dan benar, sampai akhirnya kami pulang,
tak ada tanda-tanda pohon tersebut mengeluarkan jin. Saya pulang
dengan kesimpulan bahwa kakek telah membohongi saya.
****
Tentang pohon, di banyak tempat, kerap hidup
mitos-mitos yang mengelilinginya. Para sesepuh meyakini bahwa pohon
besar memiliki penunggu yang tak boleh diusik. Pohon tersebut tidak
boleh ditebang jika ingin selamat. Ancamannya bisa menghilangkan akal
orang yang menebangnya, atau bahkan bisa membunuh mereka.
Seiring perkembangan teknologi, kepercayaan
terhadap mitos kian hari makin luntur. Penunggu-penunggu pohon besar
kemudian mereka yakini hanyalah ilusi masa lalu yang tak bisa dipakai
di zaman yang serba canggih seperti saat ini. Kini zaman teknologi,
bukan zaman batu.
Efek dari keyakinan itu membuat orang tidak lagi
takut menebang pohon-pohon besar. Di sejumlah tempat, perdagangan
kayu ilegal sangat marak. Kayu-kayu itu dihanyutkan melalui sungai
atau diangkut dengan kapal laut. Kini, bukan hanya jin yang berhasil
mereka kelabui, tapi juga aparat keamanan.
Setelah mengalami penebangan besar-besaran,
hutan-hutan mulai gundul. Bencana datang bertubi-tubi, longsor,
banjir, dan cuaca yang tidak menentu. Orang perlahan-lahan sadar
bahwa lingkungan mereka kini sudah tak bersahabat. Persabahatan itu
retak karena mereka membiarkannya ketika ada penggundulan di
mana-mana. Tiba-tiba mereka sadar, pohon-pohon itu ternyata banyak
gunanya.
Beberapa orang yang peduli terhadap lingkungan
mulai merasa harus berbuat sesuatu. Salah satunya kembali
menghidupkan mitos seperti yang pernah diucapkan kakek saya. Setelah
dipikir-pikir, rupanya mitos tersebut bukan saja berbicara tentang
dunia gaib (jin), melainkan ada sesuatu yang nyata yang dikandungnya.
Pohon membantu banyak sekali dalam kehidupan manusia. Seharusnya ia
dihormati dengan tidak sembarang menebangnya, apalagi untuk
tujuan-tujuan komersil.
Langkah Kongkrit
Kita tidak bisa hanya sekedar berbicara
terus-menerus jika tak ingin disebut sebagai tong kosong. Harus ada
langkah kongkrit yang kita persembahkan untuk menghormati pohon yang
telah banyak berjasa kepada kita. Pohon-pohon yang telah tumbang itu
harus kita ganti.
Salah satu yang bisa kita lakukan adalah dengan
memanfaatkan lembaga pendidikan. Selama ini, kerap kita melihat dunia
pendidikan mengadakan penghijauan hanya meriah pada saat
seremonialnya saja. Setalah selesai, maka selesai pula penghijauan
tersebut. Padahal, penghijauan itu adalah program berkelanjutan.
Tentu yang terbaik adalah pasca-seremonial harus ada tindak lanjut
dari pihak lembaga yang melibatkan peserta didik. Mereka harus aktif
memlihara tanaman sehingga lahir kecintaan terhadap lingkungan.
Sebagai langkah teknis, kita bisa menerapkan satu
konsep penghijauan berkelanjutan yang sering disebut sebagai adopsi
pohon. Konsep adopsi pohon mengharuskan masing-masing siswa menanam
satu atau sejumlah pohon yang harus mereka rawat sampai besar. Mereka
bertanggung jawab atas kehidupan pohon tersebut. Jika pohon yang
ditanamnya mati, maka siswa yang bertanggung jawab atasnya harus
mengganti dengan yang baru. Demikianlah, siswa tersebut harus terus
merawatnya dengan baik. Jika hal itu benar-benar diterapkan, alangkah
hijaunya sekolah kita.
Hal lain yang juga penting dilakukan adalah
merealisasikan jargon “Satu orang, satu pohon”. Ini akan sangat
membantu dalam pemulihan lingkungan, utamanya di rumah-rumah kita
sendiri. Jika kita punya saudara tiga orang dan ditambah ibu-bapak
menjadi lima orang, berarti ada lima pohon yang akan menghiasi rumah
kita. Itu masing-masing hanya satu pohon. Bagaimana kalau lebih?
****
Nah, Pertamina yang kini sedang menggalakkan
penghijauan mungkin bisa bekerja sama dengan lembaga-lembaga
pendidikan atau kelompok masyarakat yang konsen di bidang lingkungan
untuk merealisasikan mimpinya “menghijaukan” negara tercinta ini.
Konsep adopsi pohon bisa jadi ide menarik jika diterapkan di
tengah-tengah mereka. Bagaimanapun, penghijauan akan lebih cepat
berhasil jika masyarakat ikut berperan aktif di dalamnya.
Bumi hijau di tangan kita semua!
Follow my blog, gan !
ReplyDeleteoke, kawan....
Deleteakhirnya, memang tindakanlah yang membedakan kita dengan yg laennya kang iia.. go go go.. sukses terus!!
ReplyDeleteterima kasih atas supportnya, Kawan. :)
Delete