-->

Saya Bukan Penulis (2)

Suatu kali saya bermain di kantor LPM Instika. Ketika sedang duduk-duduk, ada seorang yang hanya saya kenal wajahnya bertanya tentang semester saya. Dia agak terkejut ketika saya bilang bahwa semester saya sudah menginjak tingkat sebelas. Saya bilang belum menggarap skripsi. Dia bertanya, “Sampean kan penulis? Kok belum digarap?”

Kini giliran saya yang terkejut. Terus terang, sebutan sebagai penulis akhir-akhir ini datang lebih sebagai beban ketimbang kebanggaan. Secara sederhana, penulis adalah orang yang menulis. Kalau tidak ada bukti ia menulis, tentu tidak bisa dikatakan bahwa ia adalah penulis. Lalu, apakah saya bisa dikatakan penulis, sementara telah berbulan-bulan saya hengkang dari dunia yang satu ini?

Saya kadang merasa lucu, karena saya tidak pernah berpikir bahwa saya adalah seorang penulis. Bila saya pernah mempublikasikan sebuah tulisan di media, itu hanya usaha saya untuk mengadu nasib dalam jalur tulis-menulis. Namun, sehabis pemuatan itu, saya merasa bahwa berkali-kali nasib tidak menuntun saya sebagai seorang penulis. Saya tetaplah seorang “satpam” yang bersusah-payah ingin menjadi “manajer”.

Bila hasrat menjadi manajer itu diusahakan dengan sungguh-sungguh mungkin tidak akan menjadi persoalan, namun nyatanya saya malah lebih sering merasa tidak mungkin mencapainya. Saya terus bertahan dalam keadaan bahwa saya bukan penulis. Kalimat yang bisa menghibur saya adalah saya menulis hanya untuk merawat pikiran bukan untuk menjadi penulis. Terkadang alasan ini terkesan “wah”, tapi di lain pihak ia menjadi bumerang karena saya tidak perlu bekerja keras untuk menghasilkan sebuah tulisan. Saya hanya perlu menulis ketika ada kemauan, karena saya bukan penulis hanya ingin merawat pikiran.

Saya tidak mengerti kenapa mereka menyebut saya penulis. Terus terang, saya sangat jarang mempublikasikan tulisan di media-media “resmi”. Sepanjang saya belajar menulis, hasilnya lebih banyak untuk publikasi pribadi. Saya kira hanya ada dua media “resmi” yang memuat tulisan saya. Itu pun skalanya sangat rendah sekali. Penerbitannya hanya untuk kalangan santri di tempat saya mondok. Lalu, kenapa mereka beranggapan seperti itu?

Gairah Menulis

Gairah menulis itu timbul tenggelam. Ketika pikiran saya sedang bening, keinginan menulis itu tumbuh subur. Namun, bila ia dalam keadaan terpuruk, susah benar menghasilkan sebuah tulisan. Hal ini mungkin yang membedakan antara penulis yang masih “satpam” dengan penulis yang sudah “manajer”. Penulis “satpam” masih tersaruk-saruk dengan adaptasi diri, bersusah-payah mengendalikan mood, dan berjuang untuk konsisten. Sementara penulis “manajer” sudah tidak ada masalah dengan dirinya sendiri, dalam artian, ia sudah tidak ada urusan dengan hal-hal yang berbau teknis.

Tentu yang bilang saya penulis tidak tahu apa yang sebenarnya saya rasakan. Bila hanya berpatokan bahwa saya pernah menulis di sebuah media, lalu dikatakan penulis, tentu kesimpulan itu amatlah sederhana. Memang tidak berarti salah mereka mengatakan saya penulis, itu adalah hak mereka. Tapi menulis itu butuh konsistensi. Dan itu tidak bisa didapat oleh mereka yang hanya nyemplung setengah badan dalam dunia tulis-menulis seperti yang saya lakukan saat ini.

0 Response to "Saya Bukan Penulis (2)"

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel