-->

Izin Meminta Nomer


Suatu malam, iseng-iseng saya kirim SMS ke nomer seorang teman lama. Kiranya sudah lebih setahun kami tidak pernah komunikasi. Dan itu membuat saya ragu apakah nomernya masih aktif atau sudah mati. Ternyata laporan terkirim memberi tanda bahwa nomer tersebut masih aktif. Agak lama saya menunggu responnya, akhirnya ia membalas. Bertanya, siapa pemilik nomer baru di HP-nya. Oh, rupanya ia tidak menyimpan nomer saya. Saya memberitahu nama. Kemudian ia merespon seperti teman yang tak pernah ketemu sekian tahun lamanya.

Saya mencoba berburuk sangka, barangkali karena dulu saya selalu acuh atas SMS dan teleponnya hingga ia memilih menghapus nomer saya. Tidak apa-apa, toh dulu ia pernah membuat saya tidak enak kepada adik karena perbuatannya. Sejak adik marah, saya memilih untuk tidak menghiraukan apapun yang datang darinya.

Malam itu saya memilih menghubungi teman tersebut untuk meminta maaf karena kebetulan berbarengan dengan perayaan Idul Adha. Saya kira, inilah alasan yang cukup masuk akal karena untuk menutupi pengabaian saya di masa lalu.

Perbincangan melalui SMS itu terus berlanjut. Dan ia membalasnya dengan cukup lambat. Saya menjadi malas menunggu dan memilih mengabaikan SMS kesekian yang menjadi akhir perbincangan kami. Sampai di situlah perbincangan basa-basi malam itu.

Belakangan, ia mengirim lagi sebuah pesan, meminta dikirimi nomer dua orang teman yang sudah dulu ia kenal. Saya kirim langsung dari kontak, tidak mengetiknya di kotak pesan. Tak lama, datang sebuah pesan baru. Ia meminta saya kembali mengirim nomer tersebut dengan cara mengetiknya di kotak pesan. Ia mengatakan HP-nya tidak bisa menerima nomer dari kontak langsung, harus dengan SMS biasa.

Saya mengirimkannya kembali. Terkirim. Beberapa saat kemudian, ponsel saya bergetar. SMS masuk, dari dia lagi. Saya kira minta kirimi nomer kembali, ternyata bukan. Ia bertanya apakah saya sudah meminta izin pemilik nomer yang saya kirim tadi. Sejenak saya tergeragap dan mulai menyadari ada yang salah. Pertanyaan itu memang sederhana, tapi membuat saya tertegun beberapa saat. Saya tidak menjawab pertanyaan itu untuk menyembunyikan kesalahan saya. Dalam kondisi tertentu, diplomasi diam rupanya ampuh untuk membungkam seseorang.

Pertanyaan tersebut membuat saya terus merenung. Permenungan yang akhirnya menautkan banyak hal di masa lalu. Ternyata saya sangat abai dengan hal-hal seperti itu. Kalau ada orang minta nomer biasanya saya langsung mengirimkannya, tanpa perlu meminta si pemilik memberikan izin. Padahal, ada orang yang tidak suka nomernya diberikan kepada orang lain.

Tentang suka dan tidak suka, dua teman saya itu bisa jadi tidak menyukai apa yang saya lakukan. Saya baru ingat bahwa salah satu teman pemilik nomer tersebut memilih menghindar darinya karena pernah dibikin geram. Saya khawatir ia akan melayangkan teguran setelah ini. Tapi, apa boleh buat, saya terlanjur mengirimkannya. Saya hanya berharap teman lama itu tidak mengirim pesan kepadanya sebelum saya memberi tahu kalau sudah mendapat izin dari pemiliknya.

Sampai beberapa hari dari kejadian itu si teman pemilik nomer belum bicara apa pun mengenai teman lama itu. Saya berharap ia memang tidak bicara apa-apa agar perasaan bersalah itu tidak berubah menjadi perasaan malu. Begitulah….

0 Response to "Izin Meminta Nomer"

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel