Yang Hilang dari Kehidupan Santri
*Terbit di buletin Variez edisi November 2012
Otokritik kadang memang sulit. Tersebab kritik
menuntut pengkritik berjarak dengan objek kritikannya. Padahal, objek
itu adalah diri pengkritik sendiri. Begitupun ketika saya memulai
tulisan ini. Saya harus memeras otak yang pas-pasan untuk
menjelentrehkan ihwal “khittah” santri sebagaimana tema
yang digagas redaksi buletin ini. Saya harus mengajukan sejumlah
pertanyaan kepada diri sendiri, misalnya, apa itu khittah santri?
Apakah santri sekarang sudah keluar dari khittahnya?
Sebagai seorang santri, saya butuh merenung untuk
mengkritik diri sendiri. Namun, saya gagal berpikir kritis. Saya
hanya mendapatkan sejumlah masalah yang sudah sering diungkap dalam
banyak kajian tentang pesantren. Padahal saya gampang bosan terhadap
sesuatu yang monoton. Namun, apa daya, saya terpaksa menulis ulang
karena hanya itulah yang ngendon di otak saya. Bagi Anda yang
berharap mendapatkan pencerahan, ada baiknya untuk meninggalkan
tulisan ini.
Bila dulu orang tua saya berkisah tentang
bagaimana kehidupan keras di pondok, barangkali saya juga akan
melakukan hal yang sama kepada anak-anak saya kelak. Begitu pula anak
saya kepada anaknya, cucu saya. Tentu, cerita masing-masing tidak
akan sama, mengingat tempo yang berbeda. Nilai heroiknya pastilah
kelihatan lebih besar cerita orang tua saya.
Tak bisa dipungkiri, kehidupan santri dari waktu
ke waktu memang terus berkembang, baik dari segi fisik maupun psikis.
Dari segi fisik kita bisa lihat bangunan-bangunan pondok yang makin
mentereng. Pondok bilik kehilangan pamornya karena rawan kebakaran
dan tidak lagi representatif untuk tempat hunian. Kini, ada banyak
santri yang menikmati kamar pondoknya lebih megah ketimbang kamar
rumahnya.
Dari segi psikis, santri sudah banyak yang tidak
asing dengan perkembangan informasi. Koran dan internet bukan lagi
barang mewah. Kecepatan akses informasi ini tentu saja membawa
perubahan dalam cara pandang mereka. Stigma “santri itu kolot”
lambat laun kehilangan auranya.
Perkembangan yang dialami pondok pesantren memang
tidak bisa seutuhnya merawat masa lalu. Ada sesuatu yang hilang dari
kehidupan para santri. Saya mencoba mengingat-ingatnya. Sebagai
seseorang yang masih tercatat santri, saya hanya menuliskan
pengalaman pribadi. Kajian kritis untuknya mungkin bisa ditulis oleh
mereka yang lebih berpengalaman.
Dalam sebuah kesempatan, KH. Mustofa Bisri (Gus
Mus) pernah mengatakan bahwa ada perbedaan mendasar antara sistem
pendidikan di pesantren dengan di sekolah umum. Di pesantren,
istilah pendidikan yang digunakan adalah tarbiah sementara di
sekolah umum adalah ta’lim. Tarbiyah cakupannya lebih
kompleks tinimbang ta’lim karena yang diajarkannya tidak
hanya soal materi pelajaran, melainkan nilai-nilai dan praktek
kehidupan yang Islami.
Di pondok pesantren, pelajaran tidak saja
dilaksanakan di mushalla dan madrasah, tetapi dari semua unsur
kehidupan santri diproyeksikan bernilai pendidikan. Contoh kecilnya
adalah pemilihan pengurus yang mempertimbangkan banyak hal, mulai
dari kompetensi, akhlak dan kepribadiannya. Sebab, pengurus akan
menjadi panutan santri tidak saja dari segi kemampuan otaknya, tapi
juga tingkah lakunya sehari-hari. Pepatah “guru kecing berdiri,
murid kencing berlari” sangat lekat dalam kehidupan santri karena
dasar pendidikan sebenarnya adalah keteladanan.
Contoh yang lain. Dulu, ketika awal-awal saya
mondok, pada pagi hari, santri diminta untuk mengangkut batu dari
gunung di sebelah selatan pondok. Mereka guyub bergotong-royong
menyelesaikan pembangunan mushalla yang memang kekurangan dana.
Keterbatasan dana tersebut membuat mereka harus bekerja sendiri
tanpa bantuan alat-alat berat yang butuh banyak mengeluarkan uang.
Cerita ini tidak saja bicara soal bagaimana
mushalla cepat selesai. Namun, santri juga diajarkan tentang
keguyuban, gotong-royong, kekompakan, dst. Pelajaran tentang
kehidupan ini akan hambar bila disampaikan hanya dalam bentuk teori.
Kehidupan seperti itu akan mereka praktekkan kelak ketika ada di
rumah masing-masing. Ibaratnya, ia adalah semacam simulasi sebelum
mereka benar-benar terjun ke dalam kehidupan masyarakat.
Lain halnya dengan kehidupan di sekolah umum, di
mana kebanyakan atau bahkan semua materi diajarkan dalam bentuk
teori. Jelas saja anak didik hanya tahu “kulit luarnya” soal
materi yang disampaikan sang guru. Tidak sedikit di antara mereka
yang sulit mengaplikasikannya dalam kehidupan. Seperti para santri,
mereka juga belajar tentang gotong-royong dan keguyuban. Namun,
aplikasinya malah sangat lucu. Gotong-royong yang mereka lakukan
hanya untuk tawuran antar sekolah, gotong-royong mebunuh musuh dari
sekolah lain.
Saat ini, pelajaran tentang mengangkut batu di
pesantren dan sejenisnya sudah kian jarang terlihat. Santri makin
sibuk dengan banyaknya pelajaran di madrasah. Mereka berangkat
pagi-pagi untuk mengikuti kegiatan yang diselenggarakan sekolah.
Santri sudah tak punya banyak waktu belajar tentang praktek
kehidupan.
Mengenai kurikulum madrasah, Gus Mus juga
mengkritik karena kini banyak sekali pesantren yang sudah didikte
oleh kurikulum pemerintah. Padahal, menurut beliau, bila mau mengkaji
lebih dalam, pesantren memiliki kurikulum yang sangat lengkap.
Pesantren adalah model pembelajaran yang memiliki sejarah panjang dan
terbukti tidak sedikit alumninya yang menjadi pemimpin.
Perdebatan tentang kurikulum ini memang sering
terlontar dari para pemikir pendidikan pesantren. Infiltrasi
pemerintah yang terlampau jauh membuat pesantren berada dalam
pasungan. Terlalu banyaknya materi dan kegiatan sekolah yang
diberikan pemerintah membuat santri tidak lagi fokus. Tidak menutup
kemungkinan kelak madrasah pesantren akan tidak jauh beda dengan
sekolah umum. Pandai secara teori, tapi bodoh secara praktek. Alamak!
madura, 07 oktober 2012
0 Response to "Yang Hilang dari Kehidupan Santri"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.