-->

Kepepet? Improvisasi!


http://www.samsung.com

Pada sejumlah pelatihan menulis yang saya dampingi, sering kali tingkat kemampuan peserta menjadi sesuatu yang paling sulit ditebak. Tentu saja, yang saya maksud di sini adalah ketika masih belum menyampaikan materi. Ketika materi berlangsung saya sudah bisa menebak-nebak dengan cara tanya jawab terlebih dahulu.

Pagi tadi saya juga merasakan hal yang sama. Oleh seorang teman saya diminta untuk mengisi pelatihan menulis puisi. Saya sebenarnya tidak mau mengabulkan permintaan teman tersebut karena memang tidak punya kapasitas di bidang puisi. Sudah lama saya tidak menulis puisi. Persinggungan saya dengannya hanya terjadi dulu, ketika saya masih di Madrasah Aliyah (MA). Itupun tidak intens karena saya menulis hanya untuk keren-kerenan.

Kepada peserta saya bilang terus terang bahwa saya memang bukan seorang penyair. Saya adalah bekas penyair atau penyair yang gagal.

Seperti pada forum-forum pelatihan sebelumnya, saya mengawali pertemuan itu dengan bertanya hal-ihwal puisi. Teknik fasilitasi seperti ini saya dapat dari Mas Tejo Wahyu Jatmiko dalam sebuah pelatihan. Katanya, untuk mengetahui seberapa jauh kemampuan peserta bisa dilihat dari cara mereka menjawab pertanyaan yang diajukan fasilitator.

Ketika mempersiapkan materi pelatihan, yang terus mengembara dalam otak adalah pertanyaan-pertanyaan semacam, apakah ini tidak terlalu rendah atau tinggi? Bagaimana rata-rata kemampuan mereka? Jangan-jangan mereka sudah sangat paham dengan materi ini. Bagaimana kalau mereka tidak mengerti sama sekali?

Terus terang, kondisi demikian kadang membikin pusing juga. Hal itu mungkin disebabkan oleh keinginan saya yang terlalu besar untuk menyajikan sesuatu yang baru ke hadapan mereka, sementara saya tidak punya amunisi untuk itu. Yah, jalan terakhir adalah pasrah dan mulai mempersiapkan materi walau berbagai pertanyaan masih menggelayut.

Memberi pelatihan menulis di pelosok-pelosok desa jelas tidak bisa disamakan dengan di pondok saya, PP. Annuqayah, Guluk-guluk. Akses informasi di sini sudah lebih mudah. Lain dengan di sejumlah pelosok yang rata-rata sulit mengakses informasi, kecuali televisi dan radio. Jadi, akses utama mereka adalah audio, bukan tulis-menulis.

Persoalan itu membawa kerumitan tersendiri ketika dihadapkan dengan dunia tulis-menulis. Dalam diri mereka yang lebih berkembang adalah bahasa oral ketimbang bahasa tulis. Pelatihan menulis puisi dan semacamnya jarang bisa diterima dengan baik karena mereka memang tidak terbiasa dengan dunia tulis-menulis.

Pernah suatu kali saya mengisi pelatihan di salah satu sekolah di Lenteng, Sumenep. Kebetulan saya mendapat tugas menyampaikan tentang cerita pendek. Seperti biasa, sebelum memulai belajar menulis saya bertanya. Dari sejumlah pertanyaan awal, hanya satu yang bisa mereka jawab, yaitu kepanjangan dari cerpen. Selebihnya, tentang penokohan, latar, plot, dsb. tidak ada yang bisa menjawabnya sama sekali.

Menghadapi kondisi demikian, kepala saya pening. Materi sudah saya persiapkan. Tapi, bagaimana mungkin saya akan menyampaikannya mengingat mereka tidak sama sekali mengenal cerpen. Saya ingin forum aktif sehingga masing-masing peserta bisa mendapat pemahaman meski sekelumit. Jika saya paksakan menyampaikan materi tersebut, sudah pasti saya seperti radio rusak, tidak ada yang mau mendengarkan.

Improvisasi!

Akhirnya, saya menemukan jalan keluar: improvisasi!
Tampaknya, “the power of kepepet” menemukan relevansinya di sini. Saya berpikir keras sebelum akhirnya menemukan sesuatu yang agak berdekatan dengan dunia cerpen, ialah film. Ketika saya bicara tentang film, ketertarikan mereka mulai tumbuh. Mula-mula, saya bertanya film apa yang paling mereka sukai. Bermacam-macamlah jawabannya. Saya mencoba mengambil satu tema film yang banyak mereka sebutkan, yaitu “Upin dan Ipin”. Kebetulan film ini sedang booming pada masa itu. Semua yang hadir dalam pelatihan tersebut mengaku pernah menontonnya. Selain itu, film ini dalam beberapa sesi sudah pernah saya tonton. Saya jarang nonton televisi, sehingga tidak cukup punya referensi tentang film-film televisi yang lain. Jadi, film Upin dan Ipin-lah yang saya kira memungkinkan karena kami sudah sama-sama pernah menontonnya.

Film dan cerpen memiliki sejumlah unsur yang hampir menyamai. Saya menyadari memang tidak bisa mematok pasti kesamaannya, karena keduanya adalah medium yang berbeda. Saya hanya mengungkap sisi persamaannya saja. Misalnya, tentang penokohan, alur, konflik, setting, dst.

Saya perkenalkan satu persatu, selang-seling antara film dan cerpen. Saya bertanya tentang karakter tokoh dalam film Upin-Ipin tersebut. Siapakah tokoh protagonisnya? Siapa tokoh antagonisnya? Bagaimana konfliknya? Dan seterusnya dan seterusnya.

Ternyata, sedikit banyak mereka mengerti meski tentu saja tidak tahu rupa cerpen aslinya.

Membanyol!

Di pelatihan yang saya damping tadi pagi, alhamdulillah tidak perlu terlalu banyak memeras otak. Beberapa materi yang saya sampaikan bisa mereka tangkap. Setidaknya, mereka sudah mengenal apa itu diksi, pengimajian, majaz, rima, ritma, dst. Saya tidak perlu menguraikannya lebih jauh.
Dalam pelatihan tersebut saya hanya perlu satu hal: membanyol! Ini adalah bumbu yang tidak bisa saya lupakan di setiap saya mengisi pelatihan. Saya memang tidak suka pelatihan yang terlalu serius. Saya sendiri sering mengantuk ketika mengikuti pelatihan dengan metode ceramah yang kaku dan tidak komunikatif.

Karena saya tidak menyukai pelatihan yang garing dan serius, maka saya mencoba mencairkan suasana dengan humor-humor, meski saya tidak pandai berhumor. Saya yang punya masalah dengan persoalan komunikasi tentu tidak mudah menghadirkan humor ke hadapan peserta. Ini adalah hal lain yang harus saya pecahkan sendiri.

Belajar adalah cara terbaik untuk melatih diri dan orang lain. Mari membanyol sambil belajar….

madura, 09 november 2012

0 Response to "Kepepet? Improvisasi!"

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel