-->

Kasta Jagung dan Padi

Jagung menjadi tanaman pokok hampir semua penduduk Madura. Ketimbang padi, jagung masih merupakan tanaman utama masyarakat Pulau Garam ini. Barangkali, jagung lebih dulu dikenal masyarakat Madura ketimbang padi. Saya tidak tahu soal sejarah tanaman ini.

Ketika musim hujan datang, orang tua saya ikut menaman jagung, sebagaimana para tentangga yang lain. Mereka datang ke ladang-ladang yang becek karena hujan. Dulu, ketika masih di rumah, saya sering disuruh ikut menaman. Saya yang pemalas sering merasa tertekan ketika harus meletakkan bulir-bulir jagung ke dalam lubang yang sudah dipersiapkan. 

Kala itu, saya hanya mendapat jatah bekerja di awal dan akhir musim. Soal perawatan, pemupukan, penggemburan tanah, dsb. semua diurus oleh orang tua saya. Baru pada akhir musim atau saat panen, saya diminta bekerja kembali. Biasanya tidak hanya melibatkan saya dan saudara-saudara, melainkan juga tetangga karena jagung yang diperolah tidak sedikit.

Jagung-jagung itu diangkut ke rumah, kemudian disimpan di atas dhurung (semacam loteng di dapur). Untuk menyimpannya, ada mitos yang tak boleh dilanggar. Katanya, orang yang sedang berada di atas dhurung untuk meletakkan jagung tidak boleh banyak bicara karena itu sama halnya dengan mengundang ngengat.
http://janaloka.wordpress.com
Dari dhurung keluargaku mencukupi kebutuhan perut. Persediaan itu bisa menghidupi kami hingga datang musim penghujan berikutnya. Kadang-kadang memang tidak sampai bila kualitas hasil panen kurang bagus atau ketika disimpan dimakan ngengat. Alhasil, ibu sering membeli beras dan jagung untuk menutupi kekurangan tersebut.

Dulu, kami makan hanya dari hasil panen sendiri. Karena tidak bertani padi, maka kami makan nasi jagung. Tidak ada campuran sama sekali. Namun, seiring perjalanan waktu, kebiasaan itu lambat laun berubah. Mula-mula, ibu mencampur jagung merah dengan jagung putih. Jagung putih lebih lembut ketimbang jangung merah. Dan, setelah matang, jika dilihat dari jauh tampak ia seperti butir-butir beras. Kami seperti makan nasi “merah-putih”. 

Kian hari, jagung putih tidak lagi menjadi pilihan campuran jagung merah. Ibu sudah mencampurnya dengan beras. Tentu saja, beras tersebut diperoleh dari membeli di toko atau di pasar karena kami tidak pernah menanamnya. Hingga kini, nyaris tak pernah saya temui ibu menanak nasi jagung asli. Selalu saja ada campuran berasnya.

****

Dalam sebuah pelatihan tentang lingkungan, guru saya yang kebetulan menjadi fasilitator mengajukan sebuah pertanyaan kepada peserta, mengapa mereka lebih memilih memakan beras yang harus dibeli ketimbang jagung yang mereka tanaman sendiri? Di antara jawaban mereka adalah jagung itu kasar, kalau dimakan tidak enak di tenggorokan. 

Jawaban itu mengingatkan saya tentang posisi beras dan jagung dalam keseharian masyarakat Madura. Bagi mereka, beras adalah komoditas unggul yang menjadi makanan orang berpunya, sementara jagung adalah makanan orang-orang miskin. Terbukti, orang-orang kaya tiap harinya memakan nasi putih. Bagi kalangan miskin, beras hanya dimasak ketika hari-hari besar semacam lebaran dan perhelatan lainnya. Ini menandai bahwa nasi dari beras digolongkan sebagai makanan yang istimewa.

“Pengkastaan” dua makanan pokok itu membawa perbincangan saya dengan seorang guru dan satu orang teman. Saya bertanya, sebenarnya, mana lebih bagus antara gizi jagung dengan beras? Guru saya menjawab bahwa kandungan gizinya hampir setara. Bahkan, kalau kalau sama-sama dari benih yang bagus, masih lebih baik jagung karena rendah kalori dan tinggi proteinnya.

Saya lalu berpikir bahwa “pengkastaan” yang dilakukan oleh orang Madura bukan didasarkan pada kemanfaatan, melainkan oleh gengsi. 

Saya tidak tahu sejak kapan “pengkastaan” itu dimulai. Tampaknya, sejak saya masih kanak-kanak kehidupan itu sudah berlangsung. Dulu, bahkan ada kasta paling rendah yang ditempati oleh nasi tiwul. Untuk yang terakhir saya tidak tahu seberapa jauh kandungan gizinya. 

***

Kini, sudah jarang saya temui orang makan nasi jagung, apalagi nasi tiwul. Meski tetap tanaman pokoknya adalah jagung, paling rendah mereka makan nasi “merah-putih”. Jika masih ada yang makan nasi jagung asli berarti ia termasuk dalam salah satu dari dua golongan; benar-benar miskin atau memang mengerti kandungan gizinya. 

Di pondok saya, PP. Annuqayah, Guluk-guluk, Sumenep, sudah jarang orang menjual nasi jagung. Yang saya temui hanya satu kantin yang tetap menjualnya. Itu pun kadang menunya tidak tersedia. Barangkali karena para santri sudah jarang yang membelinya, sehingga pemilik kantin enggan menanak nasi jagung. Begitu juga di kantin-kantin yang lain, menu nasi jagung hanya disediakan dengan porsi yang sangat terbatas.

Setelah lama terbiasa makan nasi putih, pada akhirnya saya merindukan kehadiran nasi jagung. Dulu, mungkin karena terpengaruh lingkungan, otak saya juga membuat “pengkastaan” atasnya. Saya lebih suka memakan nasih putih karena kelasnya lebih tinggi. Rasa keduanya memang berbeda, tetapi manakah yang lebih enak? Bergantung selera masing-masing orang yang memakannya.

Setelah kini tahu tentang kandungan gizinya, keinginan saya untuk mengonsumsi nasi jagung makin menggebu-gebu. Nasi tersebut begitu enak, apalagi ketika dimakan dengan kuah kelor. Rasa enak itu barangkali juga disumbangkan oleh kerinduan saya yang sudah lama tidak memakannya. 

Kadang, apa yang kita yakini dulu akan runtuh kala waktu beranjak tua. Persinggungan dengan ilmu pengetahuan telah membawa manusia terhadap kesadaran akan masa lalu yang salah. Pengkastaan itu jelas tidak bagus apabila didasarkan hanya karena soal gengsi.
Jadi, mari belajar untuk tidak gengsi lagi….

madura, 11 november 2012

0 Response to "Kasta Jagung dan Padi"

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel