Tentang Linda
Saya lumayan kaget ketika membaca tulisan Imam Shofwan tentang konflik di tubuh Yayasan Pantau, sebuah organisasi jurnalis yang didirikan mantan kru Majalah Pantau. Kekagetan itu bukan karena masalah keorganisasiannya, tapi tentang kisah kepribadian seoang penulis terkenal bernama Linda Christanty.
Keterkejutan itu lebih karena saya telah membaca sejumlah karya-karya terbaiknya. Saya yang masih lebih suka berpikir hitam putih merasa belum percaya bahwa penulis yang meraih penghargaan Khatulistiwa Literary Award (KLA) dua kali (2004 dan 2010) tersebut adalah seseorang yang temperamen dan suka marah. Barangkali, pikir saya, Bung Shofwan, Yunior Linda di Pantau, menulis dalam keadaan sakit hati karena melihat konflik di tubuh organisasinya. Tapi, kemudian saya berpikir bahwa Shofwan, jurnalis yang kini bekerja untuk korban Lumpur Lapindo, sulit untuk meletakkan emosinya dalam tulisan-tulisan yang dia hasilkan, mengingat memasukkan emosi penulis dalam suatu karya jurnalistik adalah haram hukumnya. Setidaknya, itulah yang diucapkannya ketika pada 29 Juni lalu dia bicara di hadapan saya dan tema-teman.
Pikiran hitam putih itu nyatanya telah mejerumuskan saya. Sebab, ketika dipikir lebih jauh ada banyak hal yang kadang saya anggap benar ternyata salah. Berpikir hitam dan putih tanpa menghadirkan warna abu-abu tentulah bukan pemikiran yang utuh. Walaupun Linda bisa menulis dengan bagus, bahkan bisa menjaga ritme tulisannya, tidak berarti dia ada seorang yang bisa menjaga ritme emosinya. Sebab, antara keterampilan menulis dan kepribadian seseorang tidak mesti berjalan dalam satu koridor. Ada banyak pintu buat berekspresi.
Dalam tulisannya, Shofwan menjelaskan tentang sikap Linda yang suka marah dan memaksakan kehendak. Dia bisa naik pitam hanya karena membaca tulisan yang buruk dari kontributor/yuniornya. Dia juga tidak suka meminta maaf ketika berbuat salah. Bahkan, beberapa kali Andreas Harsono, rekannya di Pantau, membuatkannya laporan akhir karena Linda tidak membikin.
Cerita tentang Linda itu menggiring saya kepada tulisan AS. Laksana yang pernah saya baca namun lupa judulnya. Dia pernah bilang bahwa tulisan yang buruk berangkat dari cara berpikir yang buruk pula, dan begitu sebaliknya. Nah, apa kaitannya dengan kisah Linda di atas? Sepertinya memang jauh mengaitkan dua hal itu, tapi saya coba merentangnya.
Linda adalah penulis terkenal karena karya-karyanya cukup bagus. Beberapa penghargaan telah berhasil ia raih. Terakhir yang saya tahu adalah penghargaan KLA atas bukunya yang berjudul “Rahasia Selma”. Buku tersebut merupakan kumpulan cerpen yang tersebar di sejumlah media.
Selain menulis fiksi, Linda juga banyak menghasilkan karya jurnalistik. Beberapa feature-nya dibukukan. Saya pernah membaca satu buku featurenya berjudul “Jangan Tulis Kami Teroris”. Buku tersebut berbicara tentang konflik Aceh dan beberapa negara di ASIA yang dukunjunginya. Dia sekarang mengelola situs www.acehfeature.org, sebuah situs yang memuat kisah-kisah jurnalistik tentang Aceh.
Kontibusi dalam dunia literasi tentu saja tidak diragukan lagi dari jiwa Linda. Dia berhasil mendapatkan berkah dari kerja kerasnya. Namun, itu tidak berbanding lurus dengan kepribadiannya. Sikapnya yang temperamen membuat saya bertanya-tanya kembali atas apa yang pernah diucapkan AS. Laksana. Tentu saja Linda pandai menulis, tetapi belum tentu dia bisa berpikir bagus ketika sedang marah. Logika menulisnya yang jernih saya yakin tidak akan berfungsi ketika emosinya sedang memuncak.
Orang yang bisa berpikir jernih tentu saja tidak gampang marah dan mendamprat orang! Mungkin. Hehe….
madura, 16 juli 2012
0 Response to "Tentang Linda"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.