-->

Tentang City Hunter, Kim Na Na dan Sinetron Indonesia


Selama beberapa hari terakhir saya menghabiskan banyak waktu untuk menonton sebuah drama Korea berjudul “City Hunter”. Film ini berisi 20 episode dengan durasi masing-masing episode sekitar satu jam. Bila dikalkulasi secara keseluruhan berarti saya menghabiskan waktu selama 20 jam lebih untuk menuntaskan film ini. Namun, tentu saja saya tidak menghabiskannya dalam sekali tonton. Tubuh saya tidak akan kuat dan tentu laptop juga butuh istirahat. Selain itu, ada beberapa pekerjaan yang harus saya selesaikan. Akhirnya, saya butuh beberapa hari untuk bisa menuntaskan semua episode itu.
Karakter film ini sebenarnya sudah lama diciptakan dalam bentuk manga, yaitu pada tahun 1985 oleh Tsukasa Hojo. Dari bentuk manga, City Hunter diproduksi menjadi anime dan kemudian menjadi film layar lebar dengan tokoh bintang Jackie Chan pada tahun 1992.
Versi film yang saya tonton kali ini dirilis pada tanuh 2011. Dengan tokoh utama Lee Yoon-sung (Lee Min-ho) yang berparas rupawan, film ini banyak mengalami perubahan, utamanya karakter tokoh sentral. Di film terdahulu, tokoh utama adalah detektif swasta yang suka mengejar-ngejar perempuan, tapi sangat menyayangi adik perempuan angkatnya. Di film ini, tokoh utama berusaha membalas dendam atas kematian sang ayah.
City Hunter berkisah tentang konspirasi politik yang terjadi dalam tubuh pemerintahan Korea Selatan. Bermula dari ditembaknya pasukan elite Korea oleh pasukan negaranya sendiri untuk menyelamatkan rahasia lima politisi korup. Salah satu dari tentara yang dibantai itu adalah Park Moo-yul, ayah dari Lee Yoon-sung. Dari keseluruhan pasukan yang ditembak, hanya Lee Jin-pyo yang bertahan hidup. Lee Jin-pyo berusaha membalas dendam dengan memanfaatkan Lee Yoon-sung. Ia dibawa kabur ke Thailand untuk dilatih dalam persiapan balas dendam.
Drama ini sebenarnya tidaklah terlalu istimewa bagi saya, kecuali pemain perempuan bernama Kim Na Na. Yah, kehadiran perempuan cantik itu memberi warna baru dalam perjalanan film aksi berbalut konspirasi ini.
Membandingkannya dengan sinetron-sinetron Indonesia tentu saja bukanlah hal yang tepat. Bagaimanapun, kematangan penggarapan sangat jauh berbeda dengan apa yang ada di dalam negeri. Mereka memang tidak main-main dalam mengerjakannya. Terbukti, sepanjang perjalanan kisah, adegan-adegan dan properti hadir tempak “hidup”.
Adegan perkelahian tokoh utama dalam beberapa episode digarap dengan cukup bagus, sehingga tampak si tokoh hadir layaknya seorang pendekar. Lain dengan sinetron-sinetron Indonesia yang sungguh membuat logika tumpul. Konflik dan adegan-adegannya seragam. Saya sering ngomong ke teman-teman, bahwa rumus sinetron Indonesia itu cukup gampang. Percintaan tokoh utama pasti tidak disetujui oleh salah satu orang tua atau kerabat si pacar. Dan para pemerannya sangat gampang kena penyakit akut. Jatuh dari tangga saja sudah hilang ingatan dan membelok 180 derajat logika film. Benar-benar mengenaskan.
Dari segi tema pun, kehadiran drama ini tak bisa disandingkan dengan sinetron-sinetron kita. Di negara kita, tema tentang konspirasi pembunuhan dan korupsi sangat jarang atau bahkan tidak ada yang menggarapnya. Memang, sinetron kita cenderung bergerak dalam pusaran tema yang itu-itu saja, tentang cinta yang cengeng dan banal. Di sejumlah adegan, selalu ada tindak kekerasan yang dilakukan. Kadang saya bertanya dalam hati, apakah seperti itu yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari para artis?
Tema tentang korupsi di sini sangat apik dimainkan oleh masing-masing tokoh. Tentu saja persepsi ini berangkat dari pandangan subjektif saya yang awam tentang sinematografi. Namun, setidaknya saya bisa mengandalkan logika yang tidak dikhianati dalam drama tersebut, tidak sebagaimana lazimnya dalam sinetron-sinetron Indonesia. Dalam artian, dibandingkan dengan sinetron kita, drama ini jauh lebih masuk akal.
Walau demikian, tentu saja ada beberapa hal yang tidak saya sukai dalam drama ini, salah satunya adalah kehidupan yang sangat glamour. Tetapi ia tidak begitu penting karena saya tahu kultur dan tradisi di Korea Selatan dan Indonesia jelas berbeda. Namun, budaya glamour Korea tersebut sudah menjangkiti anak muda di negara kita. Terbukti, kita bisa melihat gaya rambut dan busana yang mereka pakai. Saya kadang berpikir, kenapa bukan kemajuan teknologinya yang kita tiru, tapi malah cara berpakaiannya? Mungkin saya terlalu kolot dengan berpikir seperti itu.
Dari segi alur drama, saya melihat ada beberapa hal yang masih menjadi pertanyaan. Misalnya tentang tokoh utama yang begitu mudah memasuki istana presiden. Bagaimana sebenarnya pengamanan orang nomer satu di Korea Selatan tersebut? Padahal, kalau melihat di negara kita, pengamanan presiden itu cukup wah. Tapi, di film tersebut saya melihat tokoh utama gampang-gampang saja memasukinya, terlepas dari posisi dia yang menjadi anggota keamanan di Blue House, Paspamres kalau di Indonesia.
Tapi, sekali lagi, saya tidak terlalu mempersoalkan itu karena mungkin kehidupan presiden di sana tidak seperti kehidupan presiden di negara kita. Saya melihat dari banyak hal, kehidupan presiden di Korea Selatan itu lebih sederhana, bahkan terkesan tidak masuk akal. Bagaimana mungkin seorang presiden tidak tahu cara mengupload foto ke blog. Padahal, kita tahu Korea terkenal dengan pengalaman teknologinya yang cukup canggih.
Terlepas dari sejumlah kejanggalan itu, saya lebih memilih memposisikan diri sebagai orang awam. Sangat mungkin pertanyaan itu lahir dari pemahaman saya yang cukup dangkal tentang seluk beluk Korea Selatan. Apalagi dalam riwayat tontonan, saya sangat jarang mengonsumsi film-film Korea. Tentu saja dengan pemahaman yang pas-pasan tersebut saya tida bisa dengan semena-mena mengkategorikan drama ini sebagai karya yang buruk.
Kim Na Na
Terus terang, selain karena muatan film ini, saya juga terkesan oleh kehadiran tokoh Kim Na Na. Dia cantik itu sudah pasti. Tapi, hal yang juga cukup menarik adalah karakternya sebagai orang yang membuat konflik tokoh utama kian hidup. Pembawaannya yang cerewet dan terus terang sering kali membuat tokoh utama sering menyalahkan diri sendiri atas keputusan yang dia lakukan. Berkali-kali tokoh utama mengatakan Kim Na Na bukan tipenya, padahal itu adalah untuk menyelamatkan misinya yang ingin balas dendam.
Madura, 24 Juni 2012

8 Responses to "Tentang City Hunter, Kim Na Na dan Sinetron Indonesia"

  1. karena penghasilan sinetron-sinetron sekarang lebih kepada soal keuntungan. selagi ada yang menonton dan pegun di hadapan tipi, maka sinetron2 ini akan kekal tanpa perubahan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Begitulah realitasnya. Salah satu fungsi televisi sebagai media edukatif masih belum dijalankan. Dewa yang dipuja dalan rating.
      Terima kasih kunjungannya.

      Delete
  2. wahhh saiia gag terlalu paham sama yang berbau korea :(
    makanya jarang pernah nyempetin waktu buat ngertiin dunia mereka :( gpp kan iia ?!??

    ReplyDelete
    Replies
    1. haha.... Samalah. Saya juga kagak paham. :D

      Delete
  3. a'udzubillahiminassyaitonirrojiiiim..

    kalo aku suka sama lee min ho-nya.. ganteng banget, tapi kayaknya gak pantes jadi hunter gitu -,-a

    ReplyDelete
  4. anda tidak lebih dari seekor kucingg

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kesimpulannya anda terlalu tau, wajar aja dia membuat kesimpulan seperti itu, emang anda dari negara mana? Anda yang mungkin lebih dari binatangg

      Delete

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel