LPM se-Madura
--catatan ringkas dari kunjungan LPM se-Madura di LPM-Instika. Saya tulis berdasar apa yang saya ingat saja.
Senin, 27 Juni 2011. Wajah-wajah mereka tampak lesu dan cemas. Hari beranjak sore ketika dua orang datang dengan seragam jaket berwarna cokelat mengendarai sepeda motor. Kedatangan dua orang tersebut sedikit mencairkan suasana, namun itu di luar dugaan mereka. “Kukira rombongannya pake mobil,” kata salah satu dari wajah-wajah cemas itu. Yang lain berucap, “Hah, cuma segini? Kok bilangnya rombongan?”
Ya, itu memang wajar untuk membuat mereka, para panitia itu, kecewa, karena acara yang mestinya dimulai pukul 14:00 WIB molor hingga pukul 16:00 WIB. Ditambah lagi dengan sedikitnya peserta yang datang. Padahal, sesuai rencana awal, acara akan diikuti oleh puluhan peserta. Tapi akhirnya hanya belasan saja.
Aku dan beberapa teman yang menyambut para tamu masih di halaman setelah mempersilahkan dua orang tamu dari STKIP Sumenep itu masuk. Satu temanku masih ngomel-ngomel tak tahu kepada siapa ia akan marah. Ia pun memberi kesimpulan, bahwa untuk acara selanjutnya ia tak perlu meluangkan banyak waktu hanya untuk memanjakan mereka. Ia pikir, persiapan panitia sudah sangat matang karena menganggap acara ini tidak hanya sekedar silaturrahim biasa, tapi ada embel-embel persnya.
Dua orang lagi datang dan kami memulai acara dengan sedikit gairah yang sedikit menyusut. Tapi suasana gayeng yang dimunculkan dari acara tersebut sedikit membuat kami lega. Dimulai dengan presentasi oleh Ketua Lembaga Pers Mahasiswa Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (LPM-Instika), Hairul Anam, kemudian dilanjut dengan tanya jawab.
Komunikasi terbangun akrab karena teman-teman memformat acara dengan bincang-bincang santai, mirip acara minum kopi tubruk di kedai-kedai dengan formasi kursi melingkar. Para hadirin menyimak dan sesekali tersenyum oleh guyonan sang ketua.
Sore kian menua, padahal materi presentasi baru saja usai. Masih ada sesi tanya jawab setelah itu. Pertanyaan-pertanyaan mulai bermunculan. Pertanyaan pertama dari salah seorang anggota LPM STITA, Sumenep. Dia menanyakan perihal dunia tulis menulis di Instika karena melihat betapa sulitnya membangun iklim tulis-menulis di kampusnya. Sampai saat ini, akunya, LPM di kampus tersebut masih amburadul dengan sedikitnya kader yang mau merintis penerbitan pers kampus.
Pertanyaan itu dijawab oleh ketua dengan sejumlah hal mengenai pengalaman LPM-Instika mengembangkan dunia tulis-menulis, mulai dari perekrutan kader, pemagangan, sampai karantina menulis. Saya ikut menambahkan atas jawaban dari ketua. Saya katakan, bahwa dinamika menulis di Instika memang terbangun semenjak mahasiswa baru menginjak sekolah menengah. Sebelum masuk kampus, mereka sudah tergabung dalam komunitas-komunitas kepenulisan di pondok masing-masing. Para anggota LPM-Instika memang semua adalah santri walau sebagian sudah berhenti mondok. Mereka rata-rata memiliki basic pengetahuan tentang kepenulisan yang mereka dapat dari komunitas di masing-masing pondok . Paisun, Pimpinan Redaksi Majalah Fajar, majalah LPM-Instika, menambahkan bahwa sebagian besar pengurus LPM-Instika memiliki kader di komunitas masing-masing. Di komunitas tersebut mereka membina kader-kader muda yang diproyeksikan menjadi anggota LPM, menggantikan mereka kelak. Walaupun tantangannya adalah para anggota komunitas tidak dijamin akan kuliah di Instika, namun ada saja dari mereka yang masuk di sana.
Tak terasa, perbincangan sudah membawa kami ke haribaan malam. Acara dihentikan dan dilanjutkan setelah shalat Isya.
Sehabis shalat Isya perbincangan jadi lebih akrab karena, selain formasi kursi yang kian merapat, juga karena perbincangan yang terbangun dengan semakin terbinanya suasana persaudaraan. Di sesi ini mereka lebih banyak curhat tentang keberadaan LPM masing-masing. LPM-STITA berkisah tentang bagaimana birokrasi kampus yang sangat bobrok dan nyaris tak pernah memperhatikan lembaga pers tersebut. Selain itu, mereka juga menyisir tentang anggaran yang sangat minim dari pihak kampus. Nominal angka yang disebutkan adalah Rp. 250.000,- per tahun. Itu angka yang cukup kecil bila mau mengembangkan LPM menjadi organisasi yang bagus, katanya. Selain anggaran, mereka juga mengeluhkan kader-kader yang sulit untuk direkrut.
Ach. Qusyairi menjawab pertanyaan tersebut dengan pernyataan filosofis mengenai pengkaderan. Dia mengatakan bahwa dari pelajaran panjang di LPM-Instika, dia, yang merupakan koordinator Divisi Kaderisasi, memproses kaderisasi dimulai dengan pikiran sederhana tentang kelemahan dan kekuatan seorang kader. Menurutnya, seorang kader akan takluk ketika mereka diketahui kelemahannya dan berusaha untuk dimasuki dari sisi tersebut. Selain itu, solidaritas yang membumi dalam tiap benak anggota LPM-Instika mempu membawa perubahan signifikan dari masa ke masa.
Saya ikut andil menambahkan sedikit telaah atas apa yang terjadi di STITA. Saya katakan bahwa, bila mau benar-benar ingin mengembangkan pers kampus, sebenarnya saat inilah momen yang tepat. Kebobrokan birokrasi kampus menjadi tema yang cukup bagus kiranya. Dan itu akan menjadi kans besar bagaimana mereka menjadi lembaga yang bisa dilihat karena keberanian dan kreativitasnya.
Soal modal, sebenarnya bukan hal yang terlalu rumit. Saya mencontohkan pengalam diri saya mengembangkan dunia tulis-menulis lewat sebuah selebaran. Dengan nominal angka yang sangat minim, saya membiayai penerbitan tersebut dengan hanya memfotocopy satu lembar bolak-balik. Itu cukup untuk menampung dua tulisan.
Meski dengan format sederhana, tulisan tersebut tenyata memiliki pembaca. Saya tidak percaya diri dengan terbitan tersebut sehingga menghentikan penerbitan. Saya baru tahu ia memiliki pembaca setelah mendengar pertanyaan dari sejumlah kawan. “Kenapa selebarannya tak terbit lagi?” kata mereka. Kelak saya mengadopsi konsep selebaran tersebut di sebuah komunitas yang saya ikuti, KCN PPA Lubangsa Selatan. Alhamdulillah, banyak pembaca yang respek dengan memberik kritik dan juga ucapan selamat.
Kalau mau, LPM-STITA bisa mengambil konsep itu. Bagaimana mengkritik kebobrokan sebuah birokrasi dalam sebuah tulisan. Saya kira, dengan tiga orang yang masih aktif, untuk hanya menerbitkan sebuah selebaran, mereka akan cukup mampu. Biaya pun tidak perlu terlalu banyak karena yang penting bukan itu, tetapi konsistensi dan keinginan untuk terus belajar dari kegagalan.
Rabu, Dini Hari, 29 Juni 2011
Sumber foto: lpm-instika.blogspot.com
bagus gan
ReplyDeleteTerima kasih gan.
ReplyDelete