-->

Membaca Komunitas Mangsen

#epilog antologi puisi "Teriak Penyair" komunitas Mangsen dan Bianglala

Setahun lalu, oleh seorang kawan, Nur Khaliq, salah satu pengurus Departemen Perpustakaan dan Pengembangan Wawasan (Puspenwas) PPA. Lubangsa Selatan, Guluk-Guluk, Sumenep, saya diserahi amanah untuk membimbing kawan-kawan belajar menulis dalam sebuah wadah komunitas, namanya Mangsen. Saya kurang percaya diri menerima tawaran itu karena tak punya keahlian khusus perihal dunia puisi, di mana komunitas ini memang bergerak dalam dunia tulis-menulis puisi. Sejatinya, saya bukan penulis puisi, hanya penikmat pasif saja. Menikmatinya pun bukan dalam kadar kerakusan seorang penggila puisi.

Namun, saya ubah persepsi dalam diri, bahwa kapasitas saya di komunitas ini bukan sebagai pembimbing, tapi lebih sebagai “tukang kompor” alias tukang manas-manasi. Perubahan persepsi itu sedikit meyakinkan saya bahwa kalau cuma untuk “menghidupkan kompor” saya mungkin bisa. Oleh karena itu, tak apalah kiranya saya terima amanah kawan tersebut.

Rutinitas pertemuan pun dimulai pertama kali (04/03/2010) dengan saya sebagai pemandu karena sayalah yang paling tua di antara mereka.

Bila kawan-kawan pergi ke PPA. Lubangsa Selatan pada malam Minggu, lalu menemukan segerombolan anak-anak melingkar di teras mushalla, itulah kami. Di tengah lingkaran, mungkin kawan-kawan juga melihat sebuah gelas dengan kopi pahit di dalamnya dan di sebelahnya tergeletak sebungkus rokok dan asbak. Itu adalah teman kami dalam menghabiskan malam dengan sekian puisi. Saya yang tak suka merokok cukup menandaskan kopinya saja hingga tinggal ampas.

Dalam tiap kesempatan, saya selalu menyitir sebuah pernyataan menarik dari guru saya, bahwa inti dari komunitas adalah berkumpul. Jika suatu komunitas sudah mengalami kesulitan dalam hal kekompakan, itu adalah pertanda awal akan musnahnya sebuah perkumpulan. Hal tersebut, bagi saya, kian menemukan pembenaran ketika beberapa waktu lalu Lembaga Pers Mahasiswa Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (LPM-Instika) menerima kunjungan dari berbagai lembaga pers sejumlah perguruan tinggi di Madura. Dalam sesi diskusi, pokok utama persoalan yang menguat soal ruwetnya penerbitan mereka adalah masalah kekompakan. Mereka mengeluhkan betapa sulitnya mengumpulkan anggota.

Mengapa berkumpul menjadi penting? Sejatinya, manusia adalah makhluk terbatas. Masing-masing dari tubuh mereka memiliki kelemahan-kelemahan tertentu, pun pikiran mereka. Apa yang dipikirkan oleh seorang anggota komunitas belum tentu juga dipikirkan oleh anggota yang lain. Gagasan-gagasan yang mereka anyam, baik dari buku, koran, majalah, dll., pastilah beragam. Belum lagi persoalan tafsir atas apa yang mereka dapatkan dari sumber-sumber ilmu pengetahuan tersebut.

Menyadari kenyataan itu, komunitas barangkali hadir untuk memberi ruang lebih luas atas pertukaran gagasan masing-masing anggota. Saya meyakini, dengan berkumpulnya mereka pastilah pertukaran informasi akan lebih mudah dilakukan. Selalu saja ada yang bisa mereka perbincangkan, baik itu menyangkut dunia puisi atau hal lain yang tak ada sangkut pautnya dengan sastra, misalnya pacar mereka yang minta secepatnya dilamar. Tentu yang saya sebut terkahir adalah soal lain yang hadir lebih sebagai guyonan belaka.

Selain itu, komunitas juga menumbuhkan kesadaran akan pentingnya sikap saling memahami. Dalam hal ini, saya lebih suka menyebutnya sikap berkeluarga. Komunitas Mangsen dalam beberapa hal sudah mengembangkan sikap tersebut. Saya menemukan itu justru ketika saya sudah tak lagi bersama kawan-kawan Mangsen.

Sekitar akhir tahun 2010 saya hengkang dari komunitas tersebut. Saya tak tahu pasti alasannya kenapa, namun bila mau bermanja-manja dengan idealisme, saya bisa mengajukan dalih, itu bukan jalan hidup saya. Saya tidak cocok dan tidak suka menulis puisi. Akan tetapi, rasa-rasanya kurang tepat juga saya ajukan alasan itu karena selepas berhenti dari Mangsen saya malah tak melakukan apa-apa. Apakah jalan hidup saya adalah menganggur? Oh, itu jalan hidup yang muram sepertinya.

Bosan dengan kesendirian, saya mulai berusaha untuk belajar kembali menulis cerpen bersama kawan-kawan di Komunitas Cinta Nulis (KCN) PPA. Lubangsa Selatan. Komunitas ini sudah hampir almarhum setelah pengasuhnya (Zaiturrahiem RB) minggat untuk menjadi wartawan media lokal sekian tahun silam. Namun, untunglah beberapa bulan belakangan komunitas ini lumayan aktif dan mulai mengembangkan media penerbitan berbentuk selebaran sebagai wahana menyebarkan ide kreatif masing-masing anggota.

Ketimbang puisi, saya memang lebih menggemari cerpen. Dari dulu, saya selalu berusaha untuk membaca cerpen di koran edisi hari Minggu. Alasan ini pula yang mungkin membuat saya memilih tidak aktif di Mangsen, walau dalam beberapa kesempatan saya masih sering diseret-seret untuk berbagi pengalaman soal tulis menulis bersama mereka.

Mungkin memang butuh jarak untuk bisa menilai sesuatu lebih menyeluruh. Saya merasakan banyak hal positif berhasil dikembangkan oleh kawan-kawan komunitas Mangsen justru ketika saya sudah hengkang dari sana. Memang, senyatanya, saya tak benar-benar berjarak dengan mereka karena saya masih sering berkomuniksi dan berbicang-bincang walau tak intens. Akan tetapi, dengan tidak lagi bergabung bersama mereka, saya dipertemukan dengan prestasi-prestasi yang sungguh luar biasa. Ada banyak lomba puisi yang kawan-kawan berhasil jadi juaranya. Dan juga mereka telah menerbitkan sebuah antologi puisi beberapa bulan lalu.

Prestasi-prestasi itu saya yakini berangkat dari hal-hal sepele yang kadang luput dari perhatian, misalnya kebiasaan makan dalam satu talam, joinan rokok, kopi, dan camilan. Hal remeh-temeh seperti ini sebenarnya bisa berdampak amat besar terhadap pembentukan karakter seseorang, lebih-lebih komunitas. Secara tak sadar, ketika melakukan itu kawan-kawan sudah menerapkan prinsip komunitas yang menjadi pijakan guru saya, yaitu berkumpul.

Kini, komunitas Mangsen sudah menerbitkan buku antologi untuk yang kedua kalinya. Buku di tangan Anda ini merupakan bentuk usaha bertahan hidup di mana sastra secara umum masih merupakan hal yang asing bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Barvo Mangsen!
Guluk-Guluk, 26 Juli 2011

2 Responses to "Membaca Komunitas Mangsen"

  1. mantaps .....
    salam kenal mas broo :)
    mari bergabung ke komunitas kami.. :)
    Di Tunggu Ya..
    Trims

    ReplyDelete
  2. Terima kasih atas kunjungannya mas bro. Langsung ke TKP =>

    ReplyDelete

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel