-->

Sepi

-dan mereka sedang tertawa, menikmati kepalsuan

#1
Ia menghindari persahabatan, aku maklum, persahabatan terkadang bisa membunuh. Ia terasing dan kesepian. Tampaknya ia lebih suka demikian karena telah jadi pilihannya.

Narasi di atas ditulis Seno Gumira Ajidarma berjudul "Manusia Kamar". Bertarikh 1980, cerpen tersebut berkisah tentang seorang pemikir yang mulai muak dengan kehidupan dan memilih sepi. Amat sepi. Ia mengurung diri dalam kamar.
Kemuakan itu mulai tampak ketika sang tokoh berumur 20 tahun. Lambat laun kepalsuan hidup menguar di otaknya. Ia benci. Ia mulai mengisolasi diri. Tokoh aku, kawan karibnya, berkali-kali kecewa karena tak berhasil berjumpa. Berbagai cara sudah ditempuh, tapi nihil. Layaknya seorang intel, ia susuri kehidupan malam. Tak ada jejak. Tak ada tanda-tanda ia mau menampakkan batang hidungnya. Bahkan, pada malam-malam selanjutnya, tokoh aku malah dipertemukan dengan pengetahuan-pengetahuan baru tentang kepalsuan hidup.

Pada narasi selanjutnya, Seno menulis:
Tak terasa sebetulnya aku mendapatkan sesuatu yang lain, sesuatu yang berharga. Malam memang menyingkapkan kepalsuan. Di balik kekelaman itu topeng-topeng dibuka dan bentuk asli yang serba gombal itu pun bisa kutangkap, kekelaman seperti memberikan perasaan aman dan terlindung. Bisa kudengar bisik-bisik sekongkol politik, kasak-kusuk para penyebar gosip. Bisa kulihat para penipu diri beraksi. Antara strip-tease dan lonceng gereja, antara penggarongan dan azan subuh, antara perzinahan terbuka dan perzinahan tertutup.

#2
"Yang hatinya sibuk jangan menaik. Nanti kalau ada ini dan itu jangan mbalelo.”

Dialog itu ditulis As Laksana dalam sebuah esainnya untuk menggambarkan kewaskitaan sosok lelaki tua asal Kinahrejo. Ia penjaga merapi. Sosok mesteri. Dalam soal kegunungapian, ia seorang pembangkang, tak patuh pada prediksi Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG).
Mbah Marijan, begitu orang memanggilnya. Nama aslinya Mas Penewu Suraksohargo. Oktober lalu, sosoknya menjadi terkenal karena begitu gigih bertahan di zona bahaya letusan merapi sampai ajal menjemputnya. Sikap ini menimbulkan pro-kontra di masyarakat. Ada yang menganggap tindakannya sebuah kekonyolan, yang lain menganggap itu bentuk kesetiaannya menjaga Merapi.
Nama Mbah Marijan mulai akrab di telinga masyarakat beberapa tahun belakangan berkat pemberitaan dan iklan di televisi. Ketenarannya membawa perubahan pada kondisi kehidupan ekonominya. Rumahnya yang dulu sangat sederhana, kini menjadi mengkilap.
Namun, justru televisilah pada akhirnya yang mengubah sikap hidup Mbah Marijan. Over publisitas telah membuatnya terasing dari realitas. Dalam sebuah tulisannya, Bre Redana membandingkan sikap Mbah Marijan dengan sikap Putri Diana yang sama merasa jadi korban media. Putri Diana memainkan kuku-kuku jari, kadang menggigitnya, kepala menunduk, mata melirik sebagai ekspresi stresnya. Sementara Mbah Marijan berlari-lari menutup muka menghindari sorotan kamera wartawan.
Mbah Marijan pada akhirnya memilih sepi.

#3
Seperti malam, hidup butuh kesunyian

Dalam beberapa hal, keramaian memang memenjara. Karenanya, orang membutuhkan kesunyian. Beragam motif orang menyepi. Cerita pertama di atas motifnya karena muak melihat kepalsuan hidup. Cerita kedua motifnya karena over publisitas media. Keduanya sama-sama memenjara.
Motif lain masih banyak. Misalnya tentang obsesi kesaktian bagi petapa, ketenangan bagi orang-orang sufi, bersembunyi dari marabahaya, atau barangkali karena cinta. Cinta yang menyakitkan tentu saja!
tahun baru, 2011

0 Response to "Sepi"

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel