Lokalitas
Saya sungguh tak pandai soal tata bahasa. Saya seorang pembaca buku yang buruk, hanya sebatas mengisi waktu luang. Soal menulis pun saya hanya menulis jika sedang ada mood. Semua itu sungguh tak menolong saya jika bercita-cita ingin menjadi seorang penulis maupun editor. Dan saya sudah kapok bercita-cita menjadi penulis. Saya menulis hanya untuk kesenangan saja.
Mungkin, lantaran saya pernah bercita-cita menjadi penulis, kawan-kawan masih berkeyakinan saya bisa bicara soal tulis-menulis, lebih-lebih mengoreksi tulisan-tulisan mereka. Padahal, tidak demikian. Saya sudah lama berhenti menulis secara serius, kecuali hanya untuk konsumsi blog. Saya tidak lagi menjalani rutinitas lama di mana pada jangka waktu tertentu saya harus mempersiapkan sebuah tulisan untuk dikirim ke media. Pun saya sudah merasa tidak penting karya saya dimuat media ataupun tidak.
Soal tata bahasa, saya hanya sedikit sekali memiliki pengetahuan tentangnya. Tanda baca, struktur bahasa, logika bahasa, kosa-kata, dst., adalah sekumpulan makhluk aneh. Mereka masuk dalam otak saya sebagai sesuatu yang baru. Buku panduan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) dari seorang guru yang dulu pernah saya pelajari sekarang sudah hablur dari otak saya. Satu hal lagi, saya tak pandai menyimpan hasil bacaan, alias pelupa parah.
Di blog ini, beberapa kali saya mendapat kritikan dari kawan-kawan yang pernah berkunjung. Tulisan-tulisan yang diposting kadang terdapat kesalahan, baik dari pengetikan maupun dari tata bahasanya. Saya memang tidak terlalu perhatian soal kualitas tulisan di blog ini. Seringkali, saya tidak sedikitpun mengoreksi tulisan yang akan saya posting. Perbuatan itu mungkin berangkat dari motivasi menulis saya yang hanya untuk kesenangan saja.
Terlebih lagi, saya memperlakukan tata bahasa dalam tulisan-tulisan saya hanya berdasar naluri. Saya memperhatikannya ketika saya sedang membaca tulisan di buku maupun di koran. Dengan demikian, saya kadang tak punya pengertian definitif terhadap suatu elemen tata bahasa yang saya gunakan.
Beberapa waktu lalu, saat sedang bersantai di teras pondok, dua orang kawan datang menyambangi saya. Mereka membawa beberapa lembar kertas di tangannya. Kertas tersebut merupakan hasil print out tulisan yang disuruh koreksi kepada saya. Saya lihat ada dua cerpen dan beberapa puisi. Katanya, tulisan-tulisan tersebut akan dimuat di buletin.
Saya sebenarnya mau menolak karena alasan sudah lupa soal tata bahasa. Tapi, perkawanan saya dengan mereka telah menggerakkan naluri saya untuk menerimanya. Namun, saya syaratkan kepada mereka bahwa apa yang saya kelak lakukan terhadap tulisan-tulisan itu bukanlah pekerjaan final. Artinya, hasil koreksi itu masih ada seribu kemungkinan untuk salah. Perjanjian tersebut sedikit lebih membuat saya rileks karena konsekuensinya sudah kami tanggung berdua.
Pada waktu yang lain, seorang kawan juga datang meminta saya mengoreksi tulisannya. Lagi-lagi, karena unsur pertemanan, saya terima tulisan dia. Tulisan tersebut dia bikin sendiri. Alasan saya menerima tulisannya juga karena saya ingin tahu bagaimana hasil perkembangan tulisannya. Dulu, dia sering berbincang-bincang dengan saya dan pernah mengatakan ingin menjadi penulis. Kala itu, saya tidak begitu yakin cita-cita itu lahir dari lubuk hatinya yang paling dalam. Unsur momentum sangat berpengaruh di sini dimana dia sedang mengalami kasmaran kepada seorang perempuan. Saya curiga, jangan-jangan dia ingin menjadi penulis hanya karena sedang mengalami cinta.
Kelak, saya perhatikan dengan seksama, kebiasaan menulisnya memang terlihat makin berkurang dari waktu ke waktu. Bermula dari perasaan kapok dia mencintai pujaan hatinya. Menurutnya, dia ditolak oleh si perempuan dan menganggapnya hanya sebagai teman. Mulai saat itu, saya jarang diperlihatkan tulisannya. Entah, dalam rentang itu dia masih menulis ataukah tidak, saya kurang tahu. Baru beberapa hari lalu dia menyodorkan tulisannya untuk saya koreksi.
Banyak hal yang bisa dipelajari dari tulisan-tulisan yang saya koreksi tersebut, baik soal tata bahasa maupun nilai intrinsiknya. Soal tata bahasa, tulisan-tulisan tersebut, menurut saya yang buta tata bahasa, terdapat banyak sekali kalimat yang harus diperbaiki. Dua cerpen yang diberikan oleh kawan pertama menunjukkan bahwa, soal tata bahasa masih merupakan barang baru bagi pengarangnya. Saya menemukan dalam beberapa kalimat, misalnya, penempatan yang salah masalah koma dan titik.
Dan, kesalahan di segala lini berada di tulisan kawan terakhir. Dalam tulisan itu tak saja soal tata bahasa yang banyak salahnya, tapi juga soal pengetikan tak kalah menyedihkan. Ketika saya tanya ke orangnya, dia mengaku tak pandai mengetik. Saya bisa memaklumi.
Selain soal tata bahasa, saya menemukan pelajaran baru dari beberapa tulisan kawan-kawan tersebut. Baiknya, saya ceritakan dulu isi tulisan mereka.
Tulisan pertama berjudul, “Ketika Hati Bicara”. Mengisahkan seorang anak bernama Hasbi yang pandai tapi miskin. Sehari-harinya dia lakoni hidup sebagai pemulung. Dia berkesempatan belajar di sekolah karena mendapat beasiswa. Kecerdasannya dibuktikan dengan prestasi dia meraih lomba cerdas cermat di banyak perhelatan.
Konflik dalam cerpen ini terjadi ketika Hasbi dan teman-temannya mendapat kabar bahwa Ujian Nasional akan dilaksanakan dalam waktu yang teramat dekat. Mereka kebingungan karena tidak ada persiapan sama sekali. Dalam rentang waktu yang sangat mepet itu mereka belajar dengan tekun. Akhirnya Hasbi bisa lulus dengan sempurna dan mendapatkan beasiswa untuk kuliah. Selesai.
Cerpen kedua berjudul, “Surat dari Negeri Badui”. Berkisah tentang surat seorang anak dari desa bernama Badui. Dalam suratnya, anak tersebut bercerita kepada ayahnya yang ada di penjara tentang kondisi desa yang hancur karena banjir bandang. Banjir itu mengakibatkan Ibunya meninggal dan rumahnya lenyap. Sang anak tahu ibunya meninggal karena tanpa sadar Pak Lurah memberitahunya. Padahal, semua orang di Rumah Sakit tempat anak ini dirawat merahasiakan duka tersebut. Sehabis membaca surat itu, sang ayah menyesal telah memperlakukan buruk keluarganya.
Tulisan ketiga berjudul, “Corn yang Kelabu”. Dikisahkan dalam tulisan tersebut tentang seorang pengirim SMS gelap yang akhirnya memikat lelaki yang dikirimi pesan tersebut. “Kan karato’ kan ju jheren, seende’ ka engko’ olle genjeren,” tulisnya dalam sebuah SMS. Kalimat itu terus hidup dalam kepala si lelaki. Cerita mengalir begitu singkat, mulai dari perkenalan, pertemuan, sampai akhirnya sang pengirim pesan hilang ditelan waktu.
Ketiga tulisan itu secara tema memang bagus. Namun, kita tahu, tema saja tidak pernah cukup. Ada banyak elemen penting yang harus ditelaah kembali untuk bisa menghasilkan tulisan yang cerdas. Pengambilan sudut pandang yang bagus barangkali menjadi keharusan bagi pembuat cerpen. Hal ini bertujuan menemukan hal baru yang memungkinkan karya memiliki cara pandang berbeda dari cerita-cerita terdahulu yang bertema serupa.
Selain itu, dari beberapa cerpen, baik yang saya koreksi maupun yang saya baca di beberapa media di PP. Annuqayah, menunjukkan, bahwa tema-tema yang memuat khazanah lokal belum disentuh secara utuh. Kebanyakan cerpen-cerpen itu bertemakan cinta sepasang remaja ala orang-orang kota. Barangkali mereka terpengaruh oleh buku-buku bertema dan berbahasa remaja yang dalam beberapa waktu terakhir banyak mewarnai dunia perbukuan kita, tak terkecuali pondok pesantren. Lain itu, mungkin mereka juga terpengaruh sinetron-sinetron televisi yang hampir tiap saat mengepung rumah kita.
Masalahnya bukan terletak pada apakah mereka salah atau benar menggarap tema tersebut. Namun, yang paling penting adalah mereka tidak benar-benar bisa total menggarap karyanya. Kota dalam kepala mereka hanya sebatas bayang-bayang dalam sinetron dan novel. Sangat logis, ketika mereka menggarap tema bersetting kota, tak ada yang bisa menggambarkan secara utuh kompleksitas kehidupan di dalamnya. Jadilah kota dalam karya tersebut sebagai kota yang karbitan. Sungguh menjemukan.
Kini, mereka telah melupakan bumi di mana mereka berpijak. Jarang kita temui para penulis cerpen di PP. Annuqayah menggarap tema yang bersinggungan langsung dengan pondok pesantren besar ini. Padahal, persoalan yang ada di dalamnya sungguh sangat kompleks. Dan tema itu sangatlah dekat dengan kita. Kalau ada yang dekat, kenapa memilih yang jauh?
Mungkin, lantaran saya pernah bercita-cita menjadi penulis, kawan-kawan masih berkeyakinan saya bisa bicara soal tulis-menulis, lebih-lebih mengoreksi tulisan-tulisan mereka. Padahal, tidak demikian. Saya sudah lama berhenti menulis secara serius, kecuali hanya untuk konsumsi blog. Saya tidak lagi menjalani rutinitas lama di mana pada jangka waktu tertentu saya harus mempersiapkan sebuah tulisan untuk dikirim ke media. Pun saya sudah merasa tidak penting karya saya dimuat media ataupun tidak.
Soal tata bahasa, saya hanya sedikit sekali memiliki pengetahuan tentangnya. Tanda baca, struktur bahasa, logika bahasa, kosa-kata, dst., adalah sekumpulan makhluk aneh. Mereka masuk dalam otak saya sebagai sesuatu yang baru. Buku panduan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) dari seorang guru yang dulu pernah saya pelajari sekarang sudah hablur dari otak saya. Satu hal lagi, saya tak pandai menyimpan hasil bacaan, alias pelupa parah.
Di blog ini, beberapa kali saya mendapat kritikan dari kawan-kawan yang pernah berkunjung. Tulisan-tulisan yang diposting kadang terdapat kesalahan, baik dari pengetikan maupun dari tata bahasanya. Saya memang tidak terlalu perhatian soal kualitas tulisan di blog ini. Seringkali, saya tidak sedikitpun mengoreksi tulisan yang akan saya posting. Perbuatan itu mungkin berangkat dari motivasi menulis saya yang hanya untuk kesenangan saja.
Terlebih lagi, saya memperlakukan tata bahasa dalam tulisan-tulisan saya hanya berdasar naluri. Saya memperhatikannya ketika saya sedang membaca tulisan di buku maupun di koran. Dengan demikian, saya kadang tak punya pengertian definitif terhadap suatu elemen tata bahasa yang saya gunakan.
****
Beberapa waktu lalu, saat sedang bersantai di teras pondok, dua orang kawan datang menyambangi saya. Mereka membawa beberapa lembar kertas di tangannya. Kertas tersebut merupakan hasil print out tulisan yang disuruh koreksi kepada saya. Saya lihat ada dua cerpen dan beberapa puisi. Katanya, tulisan-tulisan tersebut akan dimuat di buletin.
Saya sebenarnya mau menolak karena alasan sudah lupa soal tata bahasa. Tapi, perkawanan saya dengan mereka telah menggerakkan naluri saya untuk menerimanya. Namun, saya syaratkan kepada mereka bahwa apa yang saya kelak lakukan terhadap tulisan-tulisan itu bukanlah pekerjaan final. Artinya, hasil koreksi itu masih ada seribu kemungkinan untuk salah. Perjanjian tersebut sedikit lebih membuat saya rileks karena konsekuensinya sudah kami tanggung berdua.
Pada waktu yang lain, seorang kawan juga datang meminta saya mengoreksi tulisannya. Lagi-lagi, karena unsur pertemanan, saya terima tulisan dia. Tulisan tersebut dia bikin sendiri. Alasan saya menerima tulisannya juga karena saya ingin tahu bagaimana hasil perkembangan tulisannya. Dulu, dia sering berbincang-bincang dengan saya dan pernah mengatakan ingin menjadi penulis. Kala itu, saya tidak begitu yakin cita-cita itu lahir dari lubuk hatinya yang paling dalam. Unsur momentum sangat berpengaruh di sini dimana dia sedang mengalami kasmaran kepada seorang perempuan. Saya curiga, jangan-jangan dia ingin menjadi penulis hanya karena sedang mengalami cinta.
Kelak, saya perhatikan dengan seksama, kebiasaan menulisnya memang terlihat makin berkurang dari waktu ke waktu. Bermula dari perasaan kapok dia mencintai pujaan hatinya. Menurutnya, dia ditolak oleh si perempuan dan menganggapnya hanya sebagai teman. Mulai saat itu, saya jarang diperlihatkan tulisannya. Entah, dalam rentang itu dia masih menulis ataukah tidak, saya kurang tahu. Baru beberapa hari lalu dia menyodorkan tulisannya untuk saya koreksi.
****
Banyak hal yang bisa dipelajari dari tulisan-tulisan yang saya koreksi tersebut, baik soal tata bahasa maupun nilai intrinsiknya. Soal tata bahasa, tulisan-tulisan tersebut, menurut saya yang buta tata bahasa, terdapat banyak sekali kalimat yang harus diperbaiki. Dua cerpen yang diberikan oleh kawan pertama menunjukkan bahwa, soal tata bahasa masih merupakan barang baru bagi pengarangnya. Saya menemukan dalam beberapa kalimat, misalnya, penempatan yang salah masalah koma dan titik.
Dan, kesalahan di segala lini berada di tulisan kawan terakhir. Dalam tulisan itu tak saja soal tata bahasa yang banyak salahnya, tapi juga soal pengetikan tak kalah menyedihkan. Ketika saya tanya ke orangnya, dia mengaku tak pandai mengetik. Saya bisa memaklumi.
****
Selain soal tata bahasa, saya menemukan pelajaran baru dari beberapa tulisan kawan-kawan tersebut. Baiknya, saya ceritakan dulu isi tulisan mereka.
Tulisan pertama berjudul, “Ketika Hati Bicara”. Mengisahkan seorang anak bernama Hasbi yang pandai tapi miskin. Sehari-harinya dia lakoni hidup sebagai pemulung. Dia berkesempatan belajar di sekolah karena mendapat beasiswa. Kecerdasannya dibuktikan dengan prestasi dia meraih lomba cerdas cermat di banyak perhelatan.
Konflik dalam cerpen ini terjadi ketika Hasbi dan teman-temannya mendapat kabar bahwa Ujian Nasional akan dilaksanakan dalam waktu yang teramat dekat. Mereka kebingungan karena tidak ada persiapan sama sekali. Dalam rentang waktu yang sangat mepet itu mereka belajar dengan tekun. Akhirnya Hasbi bisa lulus dengan sempurna dan mendapatkan beasiswa untuk kuliah. Selesai.
Cerpen kedua berjudul, “Surat dari Negeri Badui”. Berkisah tentang surat seorang anak dari desa bernama Badui. Dalam suratnya, anak tersebut bercerita kepada ayahnya yang ada di penjara tentang kondisi desa yang hancur karena banjir bandang. Banjir itu mengakibatkan Ibunya meninggal dan rumahnya lenyap. Sang anak tahu ibunya meninggal karena tanpa sadar Pak Lurah memberitahunya. Padahal, semua orang di Rumah Sakit tempat anak ini dirawat merahasiakan duka tersebut. Sehabis membaca surat itu, sang ayah menyesal telah memperlakukan buruk keluarganya.
Tulisan ketiga berjudul, “Corn yang Kelabu”. Dikisahkan dalam tulisan tersebut tentang seorang pengirim SMS gelap yang akhirnya memikat lelaki yang dikirimi pesan tersebut. “Kan karato’ kan ju jheren, seende’ ka engko’ olle genjeren,” tulisnya dalam sebuah SMS. Kalimat itu terus hidup dalam kepala si lelaki. Cerita mengalir begitu singkat, mulai dari perkenalan, pertemuan, sampai akhirnya sang pengirim pesan hilang ditelan waktu.
Ketiga tulisan itu secara tema memang bagus. Namun, kita tahu, tema saja tidak pernah cukup. Ada banyak elemen penting yang harus ditelaah kembali untuk bisa menghasilkan tulisan yang cerdas. Pengambilan sudut pandang yang bagus barangkali menjadi keharusan bagi pembuat cerpen. Hal ini bertujuan menemukan hal baru yang memungkinkan karya memiliki cara pandang berbeda dari cerita-cerita terdahulu yang bertema serupa.
Selain itu, dari beberapa cerpen, baik yang saya koreksi maupun yang saya baca di beberapa media di PP. Annuqayah, menunjukkan, bahwa tema-tema yang memuat khazanah lokal belum disentuh secara utuh. Kebanyakan cerpen-cerpen itu bertemakan cinta sepasang remaja ala orang-orang kota. Barangkali mereka terpengaruh oleh buku-buku bertema dan berbahasa remaja yang dalam beberapa waktu terakhir banyak mewarnai dunia perbukuan kita, tak terkecuali pondok pesantren. Lain itu, mungkin mereka juga terpengaruh sinetron-sinetron televisi yang hampir tiap saat mengepung rumah kita.
Masalahnya bukan terletak pada apakah mereka salah atau benar menggarap tema tersebut. Namun, yang paling penting adalah mereka tidak benar-benar bisa total menggarap karyanya. Kota dalam kepala mereka hanya sebatas bayang-bayang dalam sinetron dan novel. Sangat logis, ketika mereka menggarap tema bersetting kota, tak ada yang bisa menggambarkan secara utuh kompleksitas kehidupan di dalamnya. Jadilah kota dalam karya tersebut sebagai kota yang karbitan. Sungguh menjemukan.
Kini, mereka telah melupakan bumi di mana mereka berpijak. Jarang kita temui para penulis cerpen di PP. Annuqayah menggarap tema yang bersinggungan langsung dengan pondok pesantren besar ini. Padahal, persoalan yang ada di dalamnya sungguh sangat kompleks. Dan tema itu sangatlah dekat dengan kita. Kalau ada yang dekat, kenapa memilih yang jauh?
22 Desember 2010
0 Response to "Lokalitas"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.