-->

Duduk-duduk di Bukit Lancaran

Pernahkah kalian ke Bukit Lancaran? Bila belum, malang benar nasibmu, Kawan. Ah, mungkin aku terlalu berlebihan. Tapi baiknya dengarkanlah ceritaku ini:

Sederet pohon mimba berjejer di pinggir jalan di lereng sebelah barat Bukit Lancaran. Daun-daun yang tampak diam membeku itu tersepuh warna senja. Sorongan berkas-berkas sinar dari ufuk barat membuatnya terlihat seperti memantulkan cahaya. Sebagian sinar yang berhasil lolos dari perangkap rerimbun daun mimba menerabas lurus ke permukaan bukit. Bukit-bukit itu pun keemas-emasan. Indah nian, Kawan.

Nun jauh di Barat Laut, pegunungan Payudan berdiri kokoh. Meski tak terlalu tinggi, ia terlihat jelas dengan gundukannya yang terbelah. Kehadiran pegunungan di sekitarnya membuat gundukan-gundukan itu serupa tembok raksasa. Hanya saja, bagian atas tembok itu tak rata.

Menikmati sore seperti ini sungguh indah benar, Kawan. Ia berhasil membawaku pada suasana lain di alam pikir. Sore sungguh merupakan sebuah tempo paling asyik untuk merenung, memikirkan kemungkinan-kemungkinan dari hidup kita di masa depan.

Seperti sore itu, Kawan. Bersama beberapa sahabat, aku menikmati keindahan tiada tara prihal senja dan pegunungan nun jauh di sana. Sudah lama benar tak kulakukan hal macam begini. Rindu pula akhirnya.

Di lereng bukit bagian barat mungkin Kawan pernah duduk-duduk pada suatu sore yang lain. Hamparan batu yang melandai itu tampak bersih bukan? Itu keindahan lain yang dimilikinya. Batu itu bersih tanpa harus ada yang menyapu tiap hari. Mungkin karena konturnya yang landai, sehingga sampah-sampah yang melekat di atasnya tercerai-berai diterbangkan angin. Atau pula luruh ke bawah seiring kemiringan batu itu.

Di hamparan batu itulah aku bersama beberapa sahabat duduk-duduk. Seperti biasa, tak sah kiranya bilamana obrolan tak kami selingi dengan guyonan-guyonan. Kami pun berkisah tentang apa saja, mulai dari lamanya tak menikmati sore di sini sampai kisah-kisah masa tua yang rumit diprediksi.

Tema yang terakhir itulah yang membuat pengembaraan imajinasiku makin jauh, bahkan hingga kami pulang dari bukit tersebut. Apa itu masa depan? Apa itu masa tua? Apa itu usia senja? Senja? Ya, senja!
Kawan barangkali pernah berjumpa dengan salah satu cerpen Seno Gumira Ajidarma yang berjudul “Tujuan: Negeri Senja”. Berkisah ihwal manusia yang pergi naik kereta dari Stasiun Tugu menuju Negeri Senja. Dalam salah satu telaahnya, Harris Efendi Thahar menyebut ini adalah jalan sunyi kematian. Bagaimana kaum kerabat yang ditinggalkan menangis, memandang lekat, serta melambaikan tangan untuk terakhir kalinya. Kereta itu memang tak pernah kembali, seperti kematian yang tak pernah kembali.

Bila mau berpikir sejenak, alam ternyata memiliki banyak tamsil kehidupan. Pagi menyiratkan harapan, siang menggambarkan kerja keras, dan senja mengisahkan kematian. Itu menurutku, entah menurut kalian. Toh, tak terlalu penting memperdebatkan ini. Yang berdiam di baliknyalah yang utama.

Suatu kali, aku pernah membaca sebuah pesan di ponsel seorang teman. Penggalan kalimatnya berbunyi begini: aku mecintaimu seumur hidupku. Kata-kata itu sungguh sederhana dan sangat klise. Namun, bila disertai perasaan, barangkali ia akan menempati tempat yang berbeda dalam hati manusia. Ia menjadi istimewa. Namun, sesederhana itukah makna kata-kata tersebut?

Kawan tentu pernah muda atau memang masih muda. Waktu masih muda (eh, apa aku sudah tua ya? Hehe…), aku selalu lupa bahwa melalui kata-kata di atas sebenarnya sang pengucap sedang menggombal, baik kepada diri sendiri maupun orang lain. Sebab, masa depan itu terra incognita, sesuatu yang rumit diprediksi. Mencintai seumur hidup pastilah itu obsesi, sebuah proses yang terus berlangsung, bukan hasil. Ia tak bisa dijelaskan saat ini, tetapi terus menggelinding bersama usia. Hingga akhirnya tiba pada kematian, semisal senja perlahan-lahan tenggelam di bukit Barakas.

guluk-guluk, 01042011


0 Response to "Duduk-duduk di Bukit Lancaran"

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel