Kristalisasi
#sebuah catatan ringan
Dalam teori sastra, seringkali kita bersua dengan istilah kristalisasi. Secara etimologi ia berasal dari akar kata “kristal” yang berarti hablur. Istilah tersebut dalam dunia sastra diucapkan untuk menggambarkan hasil “pemadatan” dari proses panjang lahirnya sebuah karya.
Dalam hal ini, bila suatu memontum hadir dalam kehidupan sastrawan, mereka tidak langsung menuangkan dalam bentuk tulisan. Harus ada jeda. Fase tersebut akan memberi ruang antara mencairnya emosi dengan fungsi logika, perasaan, dan intelektualitas. Beberapa unsur tersebut harus menyatu dengan porsi berimbang agar tidak ada dominasi dari masing-masing elemen dalam karya tersebut.
Karya yang terlalu emosional akan menjadikan ia terperosok dalam agitasi dan unsur subjektifitas begitu tampak. Jika kondisi ini terus berlangsung, maka emosi pengaranglah yang akan menjadi konsumsi pembaca. Di hadapan pembaca, logika yang miskin akibat dari meluasnya emosi akan membuat pembaca menjadi emoh.
Proses kristalisasi dalam sastra tidak hanya berhenti pada saat momentum itu berlangsung sampai ditulis menjadi karya. Setelah karya itu selesai ditulis, seringkali sastrawan masih harus menunggu lama untuk mengoreksi, menambahi, mengurangi, dan mempertimbangkan kematangan logika, alur, diksi, dst., sebelum karya tersebut dicetak oleh penerbit.
Jadi, dalam ranah ini kita temukan satu kata kunci, yaitu kesabaran. Ketelatenan dalam menjalani proses menjadikan karya lebih utuh dan kompleks. Keutuhan inilah sebenarnya muara tujuan yang utama dalam bersastra.
Namun, kata kunci tersebut akhir-akhir ini menjadi sesuatu yang langka karena orang mau serba praktis dan dadakan untuk segala hal, termasuk dalam bersastra. Teknologi memiliki peranan penting dalam proses perubahan mental dan karakter seseorang. Terbukti, karena kemajuan teknologi orang dengan latar belakang apapun bisa menulis di internet sesuai selera masing-masing. Proses seleksi dilakukan oleh penulisnya sendiri. Bagi penulis yang sudah terbiasa dengan kosa kata kristalisasi tentu tidak asal pajang karya di internet. Mereka mempertimbangkan ragam hal untuk menjaga kualitas karya. Namun, bagi yang tidak mengindahkan kata tersebut mereka akan dengan mudah mengunggah tulisannya ke blog pribadi masing-masing. Sekedar memuaskan dahaga narsisismenya barangkali. Akhirnya, kampung cyber menjadi ramai oleh bermacam-macam genre sastra. Campur aduk antara yang baik dan buruk.
Di dalam dunia cyber, siapapun boleh mengakses karya sastra. Namun karena ramainya, tentu saja para pembaca tidak mungkin untuk melahap secara keseluruhan. Tugas baru bagi pembaca adalah harus punya kemampuan menyeleksi karya yang layak dibaca. Kecakapan menyeleksi akan membuat mereka menghargai waktu dan lebih total dalam membaca karya sastra.
Dalam teori sastra, seringkali kita bersua dengan istilah kristalisasi. Secara etimologi ia berasal dari akar kata “kristal” yang berarti hablur. Istilah tersebut dalam dunia sastra diucapkan untuk menggambarkan hasil “pemadatan” dari proses panjang lahirnya sebuah karya.
Dalam hal ini, bila suatu memontum hadir dalam kehidupan sastrawan, mereka tidak langsung menuangkan dalam bentuk tulisan. Harus ada jeda. Fase tersebut akan memberi ruang antara mencairnya emosi dengan fungsi logika, perasaan, dan intelektualitas. Beberapa unsur tersebut harus menyatu dengan porsi berimbang agar tidak ada dominasi dari masing-masing elemen dalam karya tersebut.
Karya yang terlalu emosional akan menjadikan ia terperosok dalam agitasi dan unsur subjektifitas begitu tampak. Jika kondisi ini terus berlangsung, maka emosi pengaranglah yang akan menjadi konsumsi pembaca. Di hadapan pembaca, logika yang miskin akibat dari meluasnya emosi akan membuat pembaca menjadi emoh.
Proses kristalisasi dalam sastra tidak hanya berhenti pada saat momentum itu berlangsung sampai ditulis menjadi karya. Setelah karya itu selesai ditulis, seringkali sastrawan masih harus menunggu lama untuk mengoreksi, menambahi, mengurangi, dan mempertimbangkan kematangan logika, alur, diksi, dst., sebelum karya tersebut dicetak oleh penerbit.
Jadi, dalam ranah ini kita temukan satu kata kunci, yaitu kesabaran. Ketelatenan dalam menjalani proses menjadikan karya lebih utuh dan kompleks. Keutuhan inilah sebenarnya muara tujuan yang utama dalam bersastra.
Namun, kata kunci tersebut akhir-akhir ini menjadi sesuatu yang langka karena orang mau serba praktis dan dadakan untuk segala hal, termasuk dalam bersastra. Teknologi memiliki peranan penting dalam proses perubahan mental dan karakter seseorang. Terbukti, karena kemajuan teknologi orang dengan latar belakang apapun bisa menulis di internet sesuai selera masing-masing. Proses seleksi dilakukan oleh penulisnya sendiri. Bagi penulis yang sudah terbiasa dengan kosa kata kristalisasi tentu tidak asal pajang karya di internet. Mereka mempertimbangkan ragam hal untuk menjaga kualitas karya. Namun, bagi yang tidak mengindahkan kata tersebut mereka akan dengan mudah mengunggah tulisannya ke blog pribadi masing-masing. Sekedar memuaskan dahaga narsisismenya barangkali. Akhirnya, kampung cyber menjadi ramai oleh bermacam-macam genre sastra. Campur aduk antara yang baik dan buruk.
Di dalam dunia cyber, siapapun boleh mengakses karya sastra. Namun karena ramainya, tentu saja para pembaca tidak mungkin untuk melahap secara keseluruhan. Tugas baru bagi pembaca adalah harus punya kemampuan menyeleksi karya yang layak dibaca. Kecakapan menyeleksi akan membuat mereka menghargai waktu dan lebih total dalam membaca karya sastra.
september 2010
0 Response to "Kristalisasi"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.