-->

L (1)




-putri kecil dari masa lalu

Dulu, kala kemarau menjelang, orang-orang di kampungku suka berkumpul. Mereka memindahkan lincak, kadang sekedar alas, dari teras rumah ke halaman untuk ditempati bersama; sanak keluarga dan para tetangga. Tempat itu dipilih, selain dapat menangkap kesiur angin, bulan dengan leluasa bisa mereka pandang. Ia langsung beratap langit.

Di atas lincak, mereka mulai memperbincangkan banyak hal; tentang harga kebutuhan pokok yang melangit, tentang lamaran si Fulan yang ditolak, tentang musim kemarau yang panjang, tentang penjual tahu keliling yang mendadak meninggal, dst. Kanak-kanak kecil sepertiku hanya mendapat jatah dongeng karena tak mampu mengikuti pembicaraan orang tua. Dongeng yang kuingat sampai kini adalah tentang bulan.

Pada malam purnama, pandangan mata kami, kanak-kanak itu, tak pernah beranjak dari bola pipih lembut mengambang di langit. Itu bulan namanya. Sambil terus memandang, orang tua kami berkisah tentang seorang bidadari yang duduk sendirian di bulan. Kakinya menjuntai ke bawah. Ia menunggu seorang pangeran yang pergi tak kembali.

Ketika kuperhatikan, gurat-gurat hitam di tubuh bulan nyata terlihat. Itu membuat imajinasiku berkembang. Aku mulai menebak-nebak: warna hitam bagian bawah adalah sepatunya, bagian atas mahkotanya, dan yang menjuntai ke bawah adalah selendangnya. Di batok kepalaku tergambar wajahnya yang murung: mungkin ia rindu, mungkin ia kecewa.

Itulah cara awal orang tua kami di kampung melatih imajinasi anak-anaknya. Ketika besar, baru aku tahu bahwa apa yang mereka ceritakan, secara ilmiah, tidaklah benar. Bulan adalah bagian dari tata surya. Di sana tak ada kehidupan, apalagi seorang bidadari yang menunggu pangeran.

Pelajaran imajinasi itu terus berkembang dari waktu ke waktu. Pola pembelajarannya kian beragam, dari dongeng hingga televisi. Ketika remaja, sumbangan terbesar dalam mengembangkan imajinasiku adalah buku. Kisah-kisah yang ditulis seorang pengarang mampu membuat imajinasiku tidak pernah mati.

Hingga kini, ia masih hidup, membayang-bayangi kehidupan nyataku. Bahkan, ketika aku mengenalmu.

****

Mungkin, sepertiku, kau juga pernah menjumpai kata-kata Albert Einstein: imagination is more important than knowledge. Setelah berpikir jauh, aku tak dapat menolak kata-kata itu. Sudah banyak bukti yang bisa diajukan betapa manusia memulai kreasinya dengan imajinasi.

Pada tahun 1932, Aldous Huxley menerbitkan sebuah novel berjudul Brave New World. Novel tersebut berkisah tentang manusia yang tidak dilahirkan, melainkan diproduksi secara massal. Novel ini dianggap sinting karena melampui kenyataan pada masa itu. Namun, saat Central London Hectory and Condisioning Center pada tahun 1988 berhasil “memproduksi” anak hasil kloning untuk pertamakalinya, orang baru menganggap benar ide Huxley. Novel tersebut adalah imajinasi tentang manusia kloning.

Baru-baru ini, Badan Penelitian Nuklir Eropa (CERN) menemukan sesuatu yang pernah ditulis oleh Dan Brown dalam novel Angels & Demons, yaitu anti-materi. Penemuan itu hasil pencapaian kerja tim Alpha CERN dan dipublikasikan di Jurnal Nature edisi 17.

****

Lalu, seperti mereka, akupun berimajinasi. Tentang sesuatu yang lain. Walau barangkali kau menganggap ini adalah imajinasi paling runyam dan gila yang pernah kau temui. Dengan nada mencibir, kau leluasa bisa berucap: “Itu tidak mungkin terjadi. Sebentar lagi aku mau menikah, tapi tidak denganmu. Berhentilah berimajinasi. Dasar tukang khayal”

Kata-kata itu tentu saja tak bisa mengekang pengembaraan imajinasiku. Areal paling bebas di dunia ini adalah pikiran. Karenanya, sampai kapanpun tak ada orang yang bisa mengekangnya.

Dulu, saat awal-awal aku mengenalmu, pernah kuimajinasikan tentang rumah tangga yang bahagia. Pada perjalanan biduk itu, kita seperti permainan puzzle. Masing-masing jiwa bisa saling mengisi kekuarangan jiwa lainnya. Tentu aku banyak berharap darimu karena kupikir kau adalah perempuan yang memiliki kelebihan, sementara aku masih lelaki yang banyak sekali menyimpan kekurangan. Kau seorang yang dewasa, mengalahkanku.

Lalu, aku berimajinasi tentang anak. Ah, anak. Kata orang, saat punya anak pertama, isteri biasanya diam-diam menyimpan kecemburuan. Penyebabnya, kemesraan suami perlahan-lahan direbut oleh hadirnya si mungil. Tapi, kupikir tidak denganmu. Kita sama-sama memiliki kadar kemesraan yang setara untuk orang yang kita cintai. Kecintaan kepada anak pastilah tak mengurangi kecintaan kepada ibunya.

Lain waktu, aku berimajinasi tentang masa tua. Umurku sudah 70-an tahun. Ruas-ruas tubuh telah lama aus. Kulit hanya sekedar menempel, membalut tulang-tulang yang bertimbulan. Pandangan mata sudah lebih sepuluh tahun merabun. Sungguh apa yang bisa dibanggakan pada masa-masa demikian selain hanya perhatian yang besar dari seorang isteri?

Anak-anak barangkali sudah tak begitu bisa diharapkan. Mereka sibuk dengan kerja masing-masing. Kita tahu, kelak anak-anak kita adalah produk zaman yang keras dan kasar. Persaingan ketat, kompetisi mengganas. Kita yang sudah tua mungkin hanya menjadi penonton. Jika tidak isteri, siapa lagi yang bisa diharapkan? Siapa yang bisa diajak berbincang tentang kematian yang bersemayam begitu dekat di dada kita, selapis saja?

Suatu kali, aku pernah membaca sebuah cerpen (karena otakku tak pandai menyimpan sesuatu, aku lupa judul dan pengarangnya). Yang kuingat hanyalah cerpen itu berkisah tentang seorang lelaki yang memilih jalan hidup sepi setelah perempuan yang dicintainya tak ditakdirkan bersama dia. Tak ada perempuan lain yang bisa menggantikannya. Berthaun-tahun ia habiskan hidupnya di rumah tua di ujung desa, jauh dari penduduk.

Kelak, setelah renta, lelaki itu kembali bertemu perempuan kekasihnya yang tentu saja sudah menikah dan punya anak. Perempuan itu penjaga warung. Di warung tersebut, lelaki itu menghembuskan nafasnya yang terakhir karena suatu penyakit akut. Sebelumnya, perempuan itu tak sadar bahwa lelaki yang meninggal di warungnya adalah kekasihnya. Namun, cincin di jemari keriput lelaki itulah yang membuka tabir ingatan sang perempuan. Perlahan, bulir-bulir kecil mengembang dari kelopak matanya, membasahi gerai rambutnya yang mulai memutih. Perempuan itu ingat semuanya.

Betapa mengerikan jika hidup semisal lelaki itu. Masa tua yang sungguh menyakitkan. Tentu tak ada yang mengharapkan demikian. Namun, apa yang bisa kita perbuat jika keinginan untuk menapaki jalan hidup sudah dipilih? Jalani, itu saja!

Masih banyak imajinasi-imajinasi lain tentang kehidupan kita di masa depan. Namun aku tak menuliskannya. Mereka masih hidup di kepalaku, hingga kini. Dan mungkin ia akan begitu selamanya, takkan pernah menjadi kenyataan. Ia barangkali ditakdirkan hanya menjadi imajinasi belaka semenjak kau mengirimku email suatu hari. Sebuah kabar yang masih membuatku sangsi: apakah ini kenyataan ataukah mimpi?

Silahkan jika kau mau pergi. Aku akan tetap di sini, memeluk rindu lebih erat lagi.

pagi mendung, 12 januari 2011


0 Response to "L (1)"

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel