Cinta Taik Kucing
Ada banyak orang gelisah
Ada banyak jiwa menjadi gila
Ada banyak jasad terkapar
Satu alasan untuk tiga hal di atas: cinta!
Selasa, 23 Nopember 2010. Jika aku seorang aktor kisah picisan, terutama sinetron-sinetron Indonesia, mungkin saat itu akan kulakukan sebuah adegan paling vital dari serangkaian alur kisah, yaitu kesedihan yang dapat menguras air mata para penonton. Begitulah kodrat kisah picisan. Bagaimana mendramatisir kesedihan agar penonton jadi terpengaruh. Dengan begitu, sinetron tersebut dapat dikatakan sukses. Benarkah begitu? Entahlah.
Sayangnya, pagi menjelang siang itu aku bukanlah seorang aktor. Namaku tetap Fahrur Rozi, dengan segala kekurangan yang mungkin menjadi salah satu alasan kenapa kisah picisan ini harus lahir. Bukankah sesuatu yang tak sempurna selalu mengalami kendala dalam tiap langkah yang ditempuh? Hanya kepasrahan dan ketangguhan menerima kekalahan menjadi senjata paling ampuh bagi orang-orang lemah sepertiku.
Berakting seperti dalam sinetron mungkin hanya akan jadi bahan olok-olokan kawan-kawan. Atau bahkan ada yang diam-diam menganggapku gila. Apa yang bisa diharapkan dari akting yang konyol begitu? Tak ada, selain hanya menertawakan kesakitan. Dan, kata seorang pemikir, humor adalah puncak dari tragedi.
****
Selain itu, serasa kepalaku berat, perut mulas, dan mulut ingin muntah. Belakangan kutahu bahwa begadang semalaman telah membuat tubuhku masuk angin. Terlebih lagi badanku memang rentan masuk angin, terutama ketika cuaca sedang tidak bagus.
Karena makan sedikit, kawan-kawan banyak yang protes. Biasalah, cuma formalitas. Padahal, mereka sangat senang aku cepat usai makan karena mereka bisa lebih banyak mendapatkan jatah makan. Huh, dasar!
Selesai makan, rencanya aku mau tidur lagi setelah pagi itu tidur sebentar dan bangun berkat gangguan kawan-kawan. Namun kuurungkan niat itu. Aku lalu ke kantor dengan semangat yang layu. Duduk di kursi kunyalakan laptop dan mulai membuka browser. Di adress web kuketikkan Gmail.com dengan niat mengecek barangkali ada email dari kawan-kawan.
Halaman awal email tampak. Satu pesan mengagetkanku. Dari seseorang yang kutunggu-tunggu karena telah beberapa hari putus komunikasi. Koneksi internet yang lambat karena memakai bluetooth membuat rasa penasaranku memanjang. Sambil bersabar aku menunggu email itu terbuka. Koneksi makin terasa lambat, mungkin karena didesak oleh rasa penasaran tadi.
Akhirnya, email itu terbuka. Kujalari satu persatu kata-katanya, kalimatnya. Tak boleh ada yang tertinggal, begitu batinku menekankan. Setelah tuntas membaca, serasa aku sedang mimpi. Aku masih tidak yakin si pengirim itu adalah dia. Mungkin ada yang membajak emailnya, mungkin ada yang telah menyalahgunakan emailnya, diam-diam aku mengutuk.
Namun, pikiran seperti itu lambat-laun mengabur. Aku ternyata tak bermimpi. Aku sudah terjaga semenjak kawan-kawan tadi bergurau. Ini benar tulisan dia. Lihatlah tata bahasanya, karakter yang sudah sangat kukenal. Apa yang perlu dibantah?
Dengan gamblang dia menulis …ternyata istikharahnya tidak bagus…. Dan ia melanjutkan, …semua hal yang berkaitan dengan saya tolong dihapus…. Ya, kalimat itu memang betul darinya. Dan aku tak berhak protes. Dan memang apa kuasaku bisa memprotes semua kekalahan. Sebagai orang tak berdaya, sekali lagi, menerima apa adanya adalah benteng pertahanan terakhir.
Sehabis membaca serangkaian kalimat dalam emailnya, serasa hidup ini telah tamat. Dulu aku merasa konyol bahwa kekuatan cinta bisa membuat orang mengakhiri hidupnya. Hari itu, aku marasa bahwa perbuatan itu cukup beralasan. Benar-benar nyeri rasanya. Dada ini seperti ditusuk-tusuk, panas, bergemuruh.
Kututup email dan kulakukan beberapa permintaannya, yaitu menghapus beberapa file yang berkaitan dengan dia. Laptop kumatikan. Aku ingin tidur dan jika bisa tak bangun sama sekali sampai kiamat tiba. Tapi, konyol sekali, mataku tak bisa lelap. Gemuruh di dada masih terus menendang-nendang kesadaranku. Akhirnya kunyalakan laptop kembali. Kuputar lagu keras-keras lewat headphone. Lagu “Hysteria” milik Muse kupilih karena kupikir dapat memekakkan telinga.
Melupakan semuanya dengan cara mendengarkan lagu ternyata tidak bisa dijadikan alternatif pemecahan masalah. Meski larut dalam alunan musik yang menggila sampai kepalaku rasanya mau pecah, aku tetap merasa kata-katanya terus membakar perasaanku. Kucari cara lain, yaitu menonton film. Sama saja, bahkan lebih membosankan!
Akhirnya, aku berdiam diri. Kunikmati perasaan ini. Aku tidak boleh melawan. Aku harus tunduk pada takdir. Namun, darah mudaku tetap mendorong untuk seringkali membantah. Aku tak mau menerim kenyataan. Keegoisanku tumbuh subur kala perasaan seperti ini mendera.
Pertanyaan-pertanyaan berhamburan memenuhi batok kepalaku. Kenapa ini terjadi justru ketika aku ingin serius? Mengapa rasa sakit ini harus terjadi sampai dua kali hanya dalam beberapa jangka waktu saja? Kenapa harus aku? Kenapa tidak mereka yang memang tak pernah serius dalam mencinta?
Pertanyaan-pertanyaan itu akhirnya kujawab sendiri. Bahwa kekalahan itu boleh dimiliki siapa saja, terutama orang-orang bawahan sepertiku. Bahwa tidak semua kita bisa merasakan kebahagiaan. Bahwa cinta itu tidak selamanya anugerah, tapi seringkali ia adalah cobaan. Barangsiapa yang bertahan menghadapi cobaan itu, maka ia berhasil menjadi manusia. Sayangnya, aku bukan orang yang sabar.
Semenjak itu aku tidak percaya lagi terhadap cinta. Yang menentukan kita bisa hidup bersama orang yang kita cintai adalah takdir, bukan cinta. Jadi, bagi kawan-kawanku, jika hanya punya cinta janganlah pernah bermimpi untuk hidup bersama dengan pasangan yang kita cintai. Percuma saja mengagung-agungkan perasaan itu. Jika kau tak berhasil, maka sakitlah hatimu!
Akhirnya, izinkan aku berucap satu kalimat: CINTA TAIK KUCING!!!
Pojok Ruangan, 25 Nopember 2010
Ada banyak jiwa menjadi gila
Ada banyak jasad terkapar
Satu alasan untuk tiga hal di atas: cinta!
Selasa, 23 Nopember 2010. Jika aku seorang aktor kisah picisan, terutama sinetron-sinetron Indonesia, mungkin saat itu akan kulakukan sebuah adegan paling vital dari serangkaian alur kisah, yaitu kesedihan yang dapat menguras air mata para penonton. Begitulah kodrat kisah picisan. Bagaimana mendramatisir kesedihan agar penonton jadi terpengaruh. Dengan begitu, sinetron tersebut dapat dikatakan sukses. Benarkah begitu? Entahlah.
Sayangnya, pagi menjelang siang itu aku bukanlah seorang aktor. Namaku tetap Fahrur Rozi, dengan segala kekurangan yang mungkin menjadi salah satu alasan kenapa kisah picisan ini harus lahir. Bukankah sesuatu yang tak sempurna selalu mengalami kendala dalam tiap langkah yang ditempuh? Hanya kepasrahan dan ketangguhan menerima kekalahan menjadi senjata paling ampuh bagi orang-orang lemah sepertiku.
Berakting seperti dalam sinetron mungkin hanya akan jadi bahan olok-olokan kawan-kawan. Atau bahkan ada yang diam-diam menganggapku gila. Apa yang bisa diharapkan dari akting yang konyol begitu? Tak ada, selain hanya menertawakan kesakitan. Dan, kata seorang pemikir, humor adalah puncak dari tragedi.
****
Selasa pagi menjelang siang itu, sekitar jam 10-an WIB, dengan mata masih bengkak karena semalam tidur larut malam, membuat selera makanku menurun. Kuah kaldu yang menjadi menu favorit aku dan kawan-kawan menjadi hambar di mulutku. Kantuk betul-betul telah menyita semua nafsu makanku.
Selain itu, serasa kepalaku berat, perut mulas, dan mulut ingin muntah. Belakangan kutahu bahwa begadang semalaman telah membuat tubuhku masuk angin. Terlebih lagi badanku memang rentan masuk angin, terutama ketika cuaca sedang tidak bagus.
Karena makan sedikit, kawan-kawan banyak yang protes. Biasalah, cuma formalitas. Padahal, mereka sangat senang aku cepat usai makan karena mereka bisa lebih banyak mendapatkan jatah makan. Huh, dasar!
Selesai makan, rencanya aku mau tidur lagi setelah pagi itu tidur sebentar dan bangun berkat gangguan kawan-kawan. Namun kuurungkan niat itu. Aku lalu ke kantor dengan semangat yang layu. Duduk di kursi kunyalakan laptop dan mulai membuka browser. Di adress web kuketikkan Gmail.com dengan niat mengecek barangkali ada email dari kawan-kawan.
Halaman awal email tampak. Satu pesan mengagetkanku. Dari seseorang yang kutunggu-tunggu karena telah beberapa hari putus komunikasi. Koneksi internet yang lambat karena memakai bluetooth membuat rasa penasaranku memanjang. Sambil bersabar aku menunggu email itu terbuka. Koneksi makin terasa lambat, mungkin karena didesak oleh rasa penasaran tadi.
Akhirnya, email itu terbuka. Kujalari satu persatu kata-katanya, kalimatnya. Tak boleh ada yang tertinggal, begitu batinku menekankan. Setelah tuntas membaca, serasa aku sedang mimpi. Aku masih tidak yakin si pengirim itu adalah dia. Mungkin ada yang membajak emailnya, mungkin ada yang telah menyalahgunakan emailnya, diam-diam aku mengutuk.
Namun, pikiran seperti itu lambat-laun mengabur. Aku ternyata tak bermimpi. Aku sudah terjaga semenjak kawan-kawan tadi bergurau. Ini benar tulisan dia. Lihatlah tata bahasanya, karakter yang sudah sangat kukenal. Apa yang perlu dibantah?
Dengan gamblang dia menulis …ternyata istikharahnya tidak bagus…. Dan ia melanjutkan, …semua hal yang berkaitan dengan saya tolong dihapus…. Ya, kalimat itu memang betul darinya. Dan aku tak berhak protes. Dan memang apa kuasaku bisa memprotes semua kekalahan. Sebagai orang tak berdaya, sekali lagi, menerima apa adanya adalah benteng pertahanan terakhir.
Sehabis membaca serangkaian kalimat dalam emailnya, serasa hidup ini telah tamat. Dulu aku merasa konyol bahwa kekuatan cinta bisa membuat orang mengakhiri hidupnya. Hari itu, aku marasa bahwa perbuatan itu cukup beralasan. Benar-benar nyeri rasanya. Dada ini seperti ditusuk-tusuk, panas, bergemuruh.
Kututup email dan kulakukan beberapa permintaannya, yaitu menghapus beberapa file yang berkaitan dengan dia. Laptop kumatikan. Aku ingin tidur dan jika bisa tak bangun sama sekali sampai kiamat tiba. Tapi, konyol sekali, mataku tak bisa lelap. Gemuruh di dada masih terus menendang-nendang kesadaranku. Akhirnya kunyalakan laptop kembali. Kuputar lagu keras-keras lewat headphone. Lagu “Hysteria” milik Muse kupilih karena kupikir dapat memekakkan telinga.
Melupakan semuanya dengan cara mendengarkan lagu ternyata tidak bisa dijadikan alternatif pemecahan masalah. Meski larut dalam alunan musik yang menggila sampai kepalaku rasanya mau pecah, aku tetap merasa kata-katanya terus membakar perasaanku. Kucari cara lain, yaitu menonton film. Sama saja, bahkan lebih membosankan!
Akhirnya, aku berdiam diri. Kunikmati perasaan ini. Aku tidak boleh melawan. Aku harus tunduk pada takdir. Namun, darah mudaku tetap mendorong untuk seringkali membantah. Aku tak mau menerim kenyataan. Keegoisanku tumbuh subur kala perasaan seperti ini mendera.
Pertanyaan-pertanyaan berhamburan memenuhi batok kepalaku. Kenapa ini terjadi justru ketika aku ingin serius? Mengapa rasa sakit ini harus terjadi sampai dua kali hanya dalam beberapa jangka waktu saja? Kenapa harus aku? Kenapa tidak mereka yang memang tak pernah serius dalam mencinta?
Pertanyaan-pertanyaan itu akhirnya kujawab sendiri. Bahwa kekalahan itu boleh dimiliki siapa saja, terutama orang-orang bawahan sepertiku. Bahwa tidak semua kita bisa merasakan kebahagiaan. Bahwa cinta itu tidak selamanya anugerah, tapi seringkali ia adalah cobaan. Barangsiapa yang bertahan menghadapi cobaan itu, maka ia berhasil menjadi manusia. Sayangnya, aku bukan orang yang sabar.
Semenjak itu aku tidak percaya lagi terhadap cinta. Yang menentukan kita bisa hidup bersama orang yang kita cintai adalah takdir, bukan cinta. Jadi, bagi kawan-kawanku, jika hanya punya cinta janganlah pernah bermimpi untuk hidup bersama dengan pasangan yang kita cintai. Percuma saja mengagung-agungkan perasaan itu. Jika kau tak berhasil, maka sakitlah hatimu!
Akhirnya, izinkan aku berucap satu kalimat: CINTA TAIK KUCING!!!
Pojok Ruangan, 25 Nopember 2010
hwehehehe...kasian jga tuh mas...
ReplyDeletetapi da lagunya tuh dari marginal - cinta tai kucing...
tapi biasanya output dari cwok2 yg terkena korban pemutusan sepihak malah bagus lho, MAININ CEWEK JADI LEBIH ENJOY....WKWKWKWKWKWK
@phra: Betul Banget. Nih, memang lagi nyusun setrategi buat balas dendam....Hahaha... thanks comentnya....
ReplyDeleteWkwkwkwk...Mw tw gak cara balas dendam yg paling menyakitkan bwt mantan nya...
ReplyDelete1. mnta maaf ke mantan...
2. Ajak berteman...
3. kasih perhatian...tpi jgn lebay ...
nah, dgn gtu dy bakal nyesel mas, tapi syaratnya pean jgn coba balikan ke dy lagi kalo dy mnta...
ok coy...wkwkwk
@phra: wah, pengalaman nih rupanya...hahaha... Oke, tak coba nanti. Mudah-mudahan berhasil... :-)
ReplyDelete