Surat Itu
Maaf, jika aku menghilang seperti bulan ditingkap gerhana. Sebab, aku telah kehilangan segalanya. Rasa cinta yang takkan pernah kudapat kembali sebelum semua ini kuakhiri. Harapku, kau adalah para penduduk desa yang siap dengan kentongan ketika tubuhku sudah benar-benar lenyap, menghablur, dan mungkin takkan kembali seperti yang diharapkan oleh penduduk-penduduk yang rindu akan sinar purnama. Kau sudah harus bersiap-siap....
***
Lelaki itu mungkin mirip sebuah magnet. Dan perempuan di sebelahnya serupa lantakan-lantakan besi. Kata-kata yang keluar adalah hujan yang mengecat pagi dengan simfoni warna pelangi. Meski kita tidak terlalu paham apa yang menjadikannya begitu mengiris-iris perasaan. Bukankah pagi tidak selamanya akan tetap berdiam? Seperti kemarin, pagi yang dipenuhi cericit burung-burung itu tetap saja pergi. Mungkin ini adalah sebuah perpisahan. Ya, mungkin saja.
Perempuan itu lama membenamkan muka dalam sapu tangan. Air matanya berhamburan. Selalu begitu yang terlihat kalau perempuan sedang sedih. Apa mungkin gerimis air mata akan menyaput rasa pedih di dada? Barangkali itu mustahil karena kadang rasa tak bisa diredam oleh perbuatan kasat mata. Bahkan suatu kali perbuatan itu hanya menambah semakin kiamat hidup seseorang. Misalnya bunuh diri. Lelaki di sampingnya lebih punya pendirian. Tentu menurut ukuran kasat mata. Demikian yang sering disaksikan orang, bahkan mungkin sudah menjadi sensus bersama bahwa lelaki lebih tangguh menerima kenyataan pahit kehidupan. Bukan karena ia dilatih atau apapun. Menurut orang tua dulu itu sudah kodratnya. Sudah bentukan Tuhan. Seperti siang dan malam, panas dan dingin. Tapi bagaimana kalau misalnya lelaki juga menangisi kepergian?
“Tunggulah aku kembali”
“Sampai kapan?”
“Yang jelas sampai tugasku selesai”
“Empat tahun?”
“Mungkin lebih”
Perempuan itu menatap tanah seperti menerima bisikan-bisikan dari kedalaman humus. Bagaimanapun kepergian sering menimbulkan kepedihan. Tentu karena ada kebersamaan yang sulit dilepaskan. Tapi karena keterbatasan naluri dan nurani sering membuat manusia lupa bahwa ia hidup dalam kerangkeng yang bernama ruang dan waktu. Oleh karenanya kemudian lahir kata-kata umpatan, tangisan, cemooh dan gelak-tawa.
Termasuk yang menimpa perempuan itu, ia sadar, itulah siklus ruang dan waktu. Kekasihnya tidak mungkin ia larang untuk pergi, demi tugas menjadi relawan pada sebuah kelompok etnis yang sedang bertikai. Meski ia khawatir dan takut lelaki itu akan main dengan perempuan selain dirinya atau terjadi apa-apa yang mengancam keselamatan jiwanya.
“Apakah kau punya harapan untuk kembali?”
“Apa maksudmu?” Lelaki itu ingin kepastian.
“Aku sekarang sudah muak dengan segala tetek-bengek tentang cinta. Sebab pergantian jam, hari, bulan, dan tahun adalah pergantian cinta itu sendiri. Nyaris cinta seperti balon-balon sabun.”
“Yakinlah bahwa cintaku tak seperti yang kau katakan. Bukan balon-balon sabun.”
“Aku tidak sedang membenarkan kata-kataku. Aku hanya mau ngomong kenyataan.”
“Ya, aku paham. Kita merasakan gejolak yang sama. Tapi ini tututan tugas. Aku yakin kau juga mengerti keadaanku. Kuharap kau menungguku hingga saatnya tiba”
“Sampai Mas membawa perempuan lain ke sini?”
“Jangan bicara begitu. Aku tak ingin membuatmu terluka. Termasuk dalam perjalanan ini.”
“Jika Mas betul-betul bersama orang lain nantinya, aku berusaha untuk tetap tegar dan menerima kenyataan ini. Aku sudah siap jika ini adalah pertemuan yang terakhir. Aku tidak akan menangis lagi dan mengagung-agungkan cinta yang keparat itu. Aku tidak cengeng. Aku bukan perempuan yang mudah tergoda oleh rasa sakit yang mungkin juga sulit terceraikan.”
Perempuan itu merampungkan tangis dipelukan kekasihnya yang sebentar lagi akan lenyap ditelan gerbong kereta. Ia berfikir bagaimana cara terbaik mengurut dada agar tak terlalau sakit mendapati kejadian ini.”
Mengapa orang sering menangisi perpisahan? Apakah setiap perpisahan mesti bermakna jika ditangisi? Entahlah! Yang jelas manusia amat rapuh dalam hal ini. Tak terkecuali perempuan itu. Ia menangis walau tak tahu makna tangisnya. Karena sebenarnya ia takkan pernah mengerti apa yang akan terjadi esok atau lusa. Bisa jadi sang lelaki malah akan berpaling dan membenamkan kepala perempuan lain di dadanya. Siapa tahu?
Warna senja membangun siluet ke arah belakang benda-benda yang menangkap sisa sinar matahari. Tubuh keduanya kemilau warna emas, mirip lakon cinta dalam opera sabun. Sesaat lagi perpisahan akan membangun jarak antara mereka. Sebuah kereta meluncur dari balik senja. Melewati rekahan gunung yang membelah keduanya. Kereta itu akan mengirim sang lelaki ke dalam tawanan rindu di perantauan yang jauh di sana. Peron mulai riuh rendah dengan suara-suara para pemegang tiket atau kaum kerabat yang ikut hanya sampai di mulut gerbong. Mungkin bukan hanya perempuan itu yang meratapi kepergian ini. Di pojok peron sebelah barat juga ada sesosok perempuan yang mengusap-usap sepasang matanya dengan lengan bajunya. Aih...kenapa harus selalu perempuan yang menunggu?.
Ya, stasiun selalu mencatat keresahan para penunggu, orang-orang yang sebentar lagi paham makna perubahan. Dan sadar bahwa terkadang ia juga menyakitkan.
Perempuan itu melepas genggaman tangan di jemari kekasihnya. Lelaki itu melangkah terseret seperti ditarik keraguan ke dalam tanah. Ketika ia menyentuh lantai kereta, tubuhnya terhenti. Seakan ada yang ditinggalkannya., meski sepenuhnya ia tak mengerti apakah itu. Lelaki itu melambaikan tangan. Dibalas oleh perempuan di peron itu sambil berusaha memendam tangisnya, namun tetap saja buliran-buliran kecil itu melompat dari sarangnya. Walaupun begitu, ia harus tersenyum agar tak menambah beban dalam perjalanan ini. Meski senyum yang keluar adalah senyum paling hambar yang ia miliki. Harus tegar menerima semua ini, teguhnya dalam hati.
Kereta itu mulai menggergaji rel. suaranya yang berderak-derak mengirim impian para penumpang atau pengantar pada kematian. Sungguh sangat dekatnya batas antara kehidupan dan kematian dalam gerbong yang sudah jompo ini. Kereta tak ada bedanya dengan keranda. Di mana-mana berita mengenai kereta terguling, menyeruduk tebing atau tergelincir sering menjadi menu utama Head Line media kita. Ia sudah menjadi hal yang basi dan tidak menarik lagi, karena paling sering terjadi.
Perempuan itu kembali membalas lambaian terakhir kekasihnya yang sudah duduk di kursi kereta. Tak peduli orang disampingnya menatap aneh. Ia pikir, mereka juga ada yang sama dengan dirinya. Walaupun terlihat dari luar mereka begitu tegar dan tak terkesan rapuh.
***
Waktu yang panjang selalu memberi peluang bagi pengalaman dan perasaan untuk berubah. Terkadang manusia mengukur derajat kesetiaan selalu dikaitkan dengan waktu yang selalu membuntuti mereka. Apakah setiap musim berganti manusia juga harus melipat hal-hal yang telah berlalu, karena ia telah dianggap lapuk?
Kini, saatnya perempuan itu membangun keraguan kembali terhadap kata-kata terakhir lelaki kekasihnya. Selama ini ia tidak lagi menerima sepucuk surat, seprti biasanya. Walau hanya sebuah kabar tentang keberadaannya atau kondisi pekerjaannya yang tentu banyak memakan tenaga. Tapi, kecewa pertama bukan alasan untuk mandeg dalam berusaha. Perempuan itu tetap harus mecari tahu keberadaan lelaki kekasihnya.
“Maaf ayah, aku harus menunggu.”
“Menunggu? Menunggu apa? Lelaki itu sudah pasti kawin dan mungkin juga sudah punya anak. Buang jauh-jauh harapan yang tak jelas itu.”
“Tapi ini keputusan sepihak ayah”
“Justeru lelaki itu yang bertindak sepihak. Mengapa ia berpaling sebelum berbicara denganmu. Dasar pengecut! Ingat! Arya lebih sempurna dari lelaki bangsat itu.”
“Tidak, aku tetap akan menunggu. Aku tidak ingin kawin dengan Arya.”
“Sampai kau menjadi gadis lapuk? Kau harus mau anakku. Aku sudah menerima lamaran orang tuanya. Kau tak bisa menolak.”
***
Sinar tua lampu di beranda. Perempuan itu menghimpun kekuatannya untuk menerima irisan belati yang sangat tajam itu. Sebuah surat yang sudah sangat ia kenal pengirimnya: lelaki kekasihnya!.
“Kenapa kau murung sekali?”
Arya dari dalam kamar menghampirinya. Setelah sang isteri membenamkan surat itu dalam bantalan sofa. Sejenak rasa terkejut dari raut muka perempuan itu menyambar. Arya mungkin bisa menangkapnya.
“Tidak apa-apa. Aku hanya ingin santai dan menikmati malam berbulan ini.”
“bicaralah terus terang. Kita kan sudah menjadi suami-isteri. Tak baik ada sesuatu yang berusaha untuk ditutup-tutupi.”
Mata teduh perempuan itu menghunjam ke lantai. Ia tak bisa memungkiri gejolak yang membacok perasaannya. Tapi juga tak mungkin berkata-kata secara jujur. Biarlah gemeretak itu hanya mengendap diam-diam dalam dada.
Ia teringat penggalan kata-kata terakhir surat kekasihnya….
Aku tidak menyangka jika aku adalah seorang korban. Lewat percintaan yang sangat berat aku lakoni. Memang, aku sadar, kau bukan Tuhan. Mungkin tidak tahu bagaimana perasaan orang yang bertahun-tahun mengharap dan menunggu, dengan mudahnya diceraikan (mungkin dicampakkan!).
Selamat! Semoga kau tidak menjadi pendusta lagi buat suamimu yang saat ini....
*****
Tidak! Perempuan itu memekik, walau nampak seperti gumaman. Ia teringat kereta besok berangkat jam 6:30. Ia harus bergegas. Sebelum Subuh sudah harus pergi....
kedaikata, Desember 2007
0 Response to "Surat Itu"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.