Siapa Bilang, Menulis dalam Keadaan Blank Tidak Bisa?
Saya sedang berhadapan dengan komputer. Jari-jari saya siap menerima perintah dari otak saya. Menunggu perintah apa kira-kira yang akan diberikan oleh sang komandan. Ditunggu-tunggu, ternyata sang bos tak lebih hanya seorang bencong yang kebingungan menentukan idenstitasnya. Apakah laki-laki atau perempuan.
Otak saya memang dalam keadaan blank. blank seblank-blanknya! Saya tidak perlu menjelaskan bagaimana keadaan otak yang blank. Saya anggap Anda sudah pernah merasakannya. Terlepas apakah benar atau tidak, itu urusan Anda. Saya tidak mau ikut campur. Saya hanya menyarankan, Anda perlu mengingat kapan terakhir otak Anda sedang mengidap penyakit tersebut. Dan sepertinya persoalan ingat-mengingat saya tak perlu memberikan pelajaran kepada Anda. Bukankah setiap saat Anda selalu mengingat pacar Anda? Nah, mulailah mengingat-ingat sesuatu. Sudah ingat? Hah, tidak? Ah, payah ingatan Anda! Oo, Anda sedang tidur to? Pantesan! Dan sekarang mungkin aku yang salah.
Baiklah, persoalan blank-blank itu urusan Anda! Saya sekarang hanya ingin mengetik dan terus mengetik walau saya tidak tahu apa yang akan saya tulis. Memang saya akui ini berantakan, tapi prinsip saya jelas (kata teman saya sambil tersenyum. Padahal tak ada yang lucu dari kata tersebut). Saya punya kata-kata dan saya bisa menuliskannya. Nah, itu dia! Tapi kan hasilnya bisa lebih berantakan dari yang direncanakan? Sayup-sayup pertanyaan itu muncul dari seberang, tepatnya dari pikiran-pikiran kecil saya (Sebentar, saya ingin katakan kepada Anda bahwa ternyata (subjek) pikiran saya tidak tunggal. Tiap kali berfikir saya selalu menemukan katup pikiran yang membuka perlahan dengan wajah sedikit malu-malu. Dan kebiasaan mereka adalah menjadi rival bagi pikiran mainstream otak saya. Artinya, mereka adalah pemberontak. Tapi pemberontak yang saya sayangi, karena tenyata suatu saat kadang justru pikiran mereka yang kugunakan. Atau kadang saya akumulasikan dengan pikiran mainstream tadi). Oke, kembali ke awal. Iya, saya memang sudah menduga tulisan yang akan saya hasilkan ini pasti berantakan. Apalagi tadi sudah saya katakan kalau tulisan ini berangkat dari pikiran yang blank. Apa kalian tidak mendengar? Eh, kok saya jadi marah sama Anda ya? Padahal saya tadi ngomong sama pikiran kecil saya. Oya, saya minta maaf! Perlu Anda tahu, ini keunggulan lain dair saya, semoga bukan dianggap riya atau apalah istilahnya, saya gampang sekali berbuat salah dan gampang pula meminta maaf. Baik kan saya?
Anda mungkin tidak menyangka bahwa orang dalam keadaan “sesat pikir” (yang mengartikan ini murtad berarti pikirannya sudah murtad. Saya hanya ingin mengartikan ia adalah keadaan pikiran yang tidak jelas alurnya. Coba lihat arti sesat, tidak tahu alur, tidak tahu jalannya. Berarti kalau dalam keadaan blank boleh dong mengatakan itu “sesat pikir”, artinya pikiran yang tidak tahu alur. Wah, terlalu panjang penejelasannya. Biarin, emang gue pikirin?) bisa menghasilkan tulisan sebanyak hampir empat paragraf. Sekarang saya tidak akan bicara kualitas, tapi kuantitas. Sampai di sini saya sudah menghasilkan empat paragraf. Itu berarti saya sudah membuktikan kalau saya memang berhasil, alias mempunyai hasil. Hasil dari otak yang blank. Anda mungkin menaruh pesimis dari awal saya menyatakan tekad untuk menulis meski tidak punya modal yang mumpuni. Tapi, berkat ketidakyakinan Anda itu saya bisa menghasilkan tulisan ini. Saya memang harus berterima kasih kepada Anda yang telah mensuport dengan cara apatis dan bahkan menyepelekan saya. Karena hanya dengan demikian saya meresa harus banyak belajar dan bekerja untuk menghasilkan tulisan yang berkualitas. Ternyata Anda lebih pintar dari saya dalam hal motivasi! Saya baru tahu itu! Saya merasa berutang budi kepada Anda karena selama ini menganggap diri saya adalah orang yang paling pintar. Saya juga mohon maaf lagi (hanya dalam satu tulisan saya sudah meminta maaf dua kali. Nanti ke bawah bisa bertmbah lagi lho!).
Hal yang perlu Anda pikir lagi...
Setelah Anda menyepelekan saya, saya harap Anda tidak terus-terusan menyimpan gurita amarah tersebut. Karena itu akan berakibat Anda terserang tinggi hati yang konon obatnya adalah bulan purnama (Obat ini menurut resep orang-orang di kampung saya. Entah dari mana mereka menemukan unsur-unsur bulan yang bisa menetralisir penyakit tinggi hati. Dari mana mereka meneliti itu semua? Ternyata setelah saya lihat dan perhatikan, mereka tidak pernah melakukan riset atau apapun. Mereka hanya yakin saja. Nah, dengan demikian Anda tidak perlu mempercayaianya, seperti saya. Hanya saja itu mungkin bentuk metaforis dari pengungkapan persoalan yang sebenarnya terlalu sulit untuk disembuhkan).
Bila Anda menyepelekan saya dengan niatan ingin saya belajar dan memperbaiki diri, tentu kondisi tersebut tidak akan terus berlangsung. Paragraf di atas hanyalah bentuk kekhawatiran saya, jangan-jangan Anda menyepelekan saya bukan untuk memotivasi saya belajar, tapi karena sentimen lain, misalnya saya pernah mengambil pacar Anda. Saya berharap itu tidak terjadi dalam masalah ini. Toh, walaupun saya akan tetap termotivasi dengan kondisi demikian. Saya memang merasa teruntungkan, tapi karena saya kasihan kepada Anda, maka jangan sering-sering menyepelekan saya. Saya terbukti mematahkan anggapan Anda. Saya bisa menulis dalam keadaan Blank!
Apakah Anda sudah menjumpai tulisan saya amburadul? Tentu saja. Sudah saya bilang berkali-kali, otak saya dalam sekarat. Dan kalian tidak perlu mempersoalkan isi, karena tadi juga saya sudah bilang bahwa modal saya hanya dua, saya punya kata-kata dan saya bisa menulis. Itu jelas tidak berkaitan dengan isi tulisan. Kalian ingat nggak sih? Payah lu! Eh, saya marah lagi. Saya minta maaf ya? Tapi, kalian jangan terus-terusan mengkritik saya begitu. Bisa-bisa saya marah dan menampar kalian. Kalian tahu tidak, kurus-kurus begini saya juga bisa menendang dan meruntuhkan gigi Anda! Ngerti nggak?? Ayo jawab? Mentang-mentang sudah jago nulis maunya menang sendiri. Ngaca coba, dulu Anda itu memulai tulisan dengan cara bagaimana? Bukankah Anda pernah juga blank seperti saya? Ingat itu! Jangan cuma pandai bersilat lidah, tidak memikirkan perasaan orang lain. Lagipula, Anda itu apa yang mau diandalkan?
Oh, sabar, sabar...
Sepertinya tulisan ini tidak boleh diteruskan. Yang ini bukan hanya pikiran saya yang blank, tapi juga penglihatan saya. Saya lebih baik shalat dulu. Saya mungkin kena setan karena belum shalat Ashar. Saya kabur dulu....
0 Response to "Siapa Bilang, Menulis dalam Keadaan Blank Tidak Bisa?"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.