-->

Layang-Layang

Bila pada akhirnya hidupku tak tentu arah itu persoalan lain. Kalian tentu tahu bahwa hidup bukan urusan manusia, persisnya tak selalu urusan manusia. Manusia hanya berusaha, itu saja. Pikiran sederhana ini mengaung-ngaung sendiri di batok kepalaku kini dan entah esok. Kalau dikemudian hari aku ingin menjadi seorang penulis itu lebih karena persoalan finansial dan popularitas. Kalian tahu, bahwa popularitas itu penting untuk mengangkat derajat manusia sepertiku, rakyat kecil yang sulit diperhitungkan. Dan demikian tak kalah penting obsesi finansial bagi kehidupanku yang kere, tak punya apa-apa. Salahkah mimpiku itu? Tidak ada yang salah! Itu kesimpulanku, kalian jangan ikut-ikutan.
***
Aku belum bisa membuat layang-layang sebagus ini. Bila terpaksa kubuat hasilnya amburadul. Angin ke selatan terbang layanganku ke utara. Kuperbaiki tali kangkangnya malah tambah tidak karuan, bukan lagi melawan angin seperti tadi, tapi sudah berani menerobos. Lari pontang-panting tanpa tahu tujuannya. Akhirnya nyuplek dengan keras ke tanah atau pepohonan. Bila sedang tidak ingin diperbaiki ia mengambil tempat yang paling aman, pohon mimba yang tinggi dan landai. Bahkan kadang di ujung pohon bambu untuk menghilangkan riwayatnya. Kurang ajar betul layang-layang seperti itu. Aku harus pulang dengan perasaan kesal. Sambil mengendap-ngendap aku kembali ke tempat tidur. Ibu dan Bapak sedang shalat di ruang bagian barat. Aku harus pura-pura tidur walau tak akan pernah bisa karena layang-layang sial itu. Tapi, ini tuntutan. Kalau tidak, aku akan dimarahi karena tadi menghiraukan larangannya untuk tidur siang.
Sore nanti aku akan bermain layang-layang. Tidak tanggung-tanggung, aku akan mengadu layanganku dengan milik sepupuku. Dia jago membuat layangan dan juga lihai mengadu. Layanganku yang sekarang inipun kudapat dari dia. Aku harus rela tidak jajan di sekolah hanya untuk mendapatkan dua buah layang-layang kesukaanku. Maka pada pagi sebelum berangkat sekolah aku sarapan agak banyak. Pikirku, biar nanti tidak lapar karena aku akan pergunakan uang jajan untuk beli layang-layang. Uang Rp. 150 kuambil lima puluhnya untuk membeli gorengan. Sisa Rp. 100 akan kuserahkan ke sepupuku. Itu cukup untuk menebus dua layang-layang sekaligus. Tanpa nego, kakak sepupuku itu langsung setuju. Selain nego beli layangan kami sepakat untuk mengadu layangan kami nanti sore. Itu akan sangat asyik karena kakak sepupuku tidak sendirian. Dia akan membawa adik dan beberapa temannya.
Sepulang sekolah aku mampir ke rumah sepupuku untuk membawa pulang layang-layang itu. Dengan bangga aku panggul layangan itu bak tentara mau perang. Kuletakkan layang-layang di pundak sebelah kiri dan sebelah kanan tersandang buku-buku pelajaran dalam balutan tas bekas bungkus sarung, tas kesukaan kami waktu itu. Kami selalu membaca tulisan yang malang melintang di tubuh tas itu dengan keras-keras. “ATTLLAASS” begitu kami bergantian membaca saat mendapati tas baru yang mereka bawa. Kadang-kadang kami juga membawa tas bekas rukuh yang bergambar orang perempuan sedang rukuk.
Aku pulang sendirian karena aku harus ke rumah sepupu duluan. Teman-teman akan lewat jalur selatan, sementara aku harus lewat utara. Itu artinya aku akan lewat di altar pemakaman. Aku ketar ketir. Aku paling takut dengan orang mati. Sumpah. Walaupun siang hari, lewat makam bagiku seperti memasuki dunia baru yang menyeramkan. Aku tidak bisa menggambarkan, pokoknya aku sangat takut sekali.
Pernah suatu kali tetanggaku ada yang meninggal. Dia mengidap penyakit gila. Aku sering mengerjainya bersama teman-teman waktu masih hidup. Kami sering dikejar-kejar. Aku takut kalau hantunya balas dendam. Dia meninggal pada siang hari. Pada malam harinya aku tidak bisa tidur sama sekali. Aku pindah tidur bersama ibu dan ayah. Tapi tetap saja aku tidak bisa memejamkan mata. Terasa dia selalu menguntitku. Tiap kali aku menatap sesuatu dia pasti ada di sana. Di tembok, teras depan, kaca jendela, plafon, dan apa saja yang tertumbuk mataku. Aku terbayang film “Dendam dari Liang Kubur” yang kutonton tiap sore. Tapi aku tidak bilang apa-apa sama ibu dan ayah. Mereka juga tidak menanyakan sesuatu kepadaku, hanya dari raut mukanya mereka tahu semalaman aku tidak tidur.
Dengan layang-layang itu aku tidak mungkin lewat jalur selatan karena harus lewat depan sekolah. Aku takut diolok-olok kakak kelasku. Nanti aku disangka sales layang-layang. Aku juga takut kelompok Muji, anak sangar yang biasa menyakiti teman-temanku. Dia paling besar dan paling tua diantara kami. Tiga tahun tidak naik kelas karena bodohnya minta ampun. Ditambah lagi dengan kesukaannya bergurau di dalam kelas. Aku takut nanti layang-layangku dirusak dia. Karena dia selalu gatal kalau melihat mainan baru teman-temannya.
Tapi bagaimana caranya menghindari pekuburan itu? Ah, tidak ada jalan lain. Aku agak ragu tapi sepasang layang-layang di pundak kiriku seakan berkata meneguhkan keberanianku.
“Kau tak boleh takut, sekarang siang hari. Hantu takut matahari. Takkan ada apa-apa. Lagi pula aku harus cepat-cepat kau istirahatkan karena nanti sore aku akan bertanding. Kau tak ingin aku kalah kan?” Kata layang-layangku yang satu. Satunya lagi menimpali, “Betul sekali, kami butuh istirahat yang cukup. Dan satu lagi, kau belum menyempurnakan cor benangmu. Cepatlah pulang, aku juga tidak sabar menunggu datangnya sore”
Dengan sedikit keberanian aku coba mulai melangkah pulang setelah sebelumnya pamit kepada sepupuku. Seperti kukatakan tadi, dalam keadaan begini aku seperti tentara memanggul senjata. Memasuki semak-semak dengan lorong setapak. Aku mulai merinding karena sebentar lagi aku memasuki kawasan hantu. Aku sudah tak bisa berpikir jernih karena perasaanku dikuasai oleh “Dendam dari Liang Kubur”. Otakku penuh dengan seleweran ragam hantu yang kutonton di televisi. Kuntilanak dengan punggung yang bolong penuh ulat, warna merah sepasang mata pocong, vampir dengan gigi runcing penuh darah...hiii....!
Aku mulai melihat mangga yang bergelantungan di pohonnya yang ditanam di sela-sela pekuburan. Mangga-mangga itu banyak yang matang, tapi tak ada yang mau memakannya. Entah kenapa. Hanya teman-temanku sering mengatakan kalau akar pohon mangga itu menyerap makanan dari tubuh mayat yang ada di bawahnya. Aku percaya begitu saja perkataan mereka. Dan terbukti tak ada yang memakannya sampai buah itu jatuh berserakan di altar pemakaman dan akhirnya busuk sendiri dimakan ulat.
Aku gemetaran ketika beberapa nisan tertumbuk mataku. Aku membayangkan gundukan tanahnya itu akan menyemburkan asap bila aku sampai di dekatnya. Aku semakin takut ketika aku melihat banyak kuburan di sana-sini. Bayangan rombongan hantu menyerbu kepalaku. Aku tidak melihat siapapun di sana. Tak ada orang menyabit rumput seperti biasa. Aku gemetar. Keringat dingin menguasai tubuhku. Aku tidak mungkin melewati jalan pajang di tengah pekuburan sial ini dengan perlahan-lahan. Aku ingin cepat lepas dari dunia hantu. Aku tidak ambil pusing, sambil menenteng layang-layangku karena takut patah, aku berlari sekuat tenaga. Tapi sialnya, berlari malah bukan makin menghilangkan rasa takut, tapi serasa ada banyak hantu yang mengejar di belakangku. Aku mempercepat lariku. Makin banyak hantu yang mengejar.
“Huss”
“Hantuu....” gebrak!
Aku kaget setengah mati. Aku terjungkal. Untung saja dua senjataku tak patah sedikitpun. Aku mencoba bangun, ternyata tubuhku masih utuh. Aman-aman saja.
“Ada apa Li, kok kamu berlari-lari? Kamu takut ya? Makanya kalau takut jangan pergi sendirian”
Aku merunduk tidak berkata apa-apa. Aku malu sekaligus bingung. Ustazd Rowi memandangku sambil menahan senyum. Di tikungan memasuki pekuburan di bagian timur itu aku hampir saja menubruknya. Dia datang dengan tiba-tiba, persis seperti munculnya hantu dari balik semak-semak dalam sebuah acara televisi. Akut tidak tahu kalau ada dia karena pandanganku tertahan tebing dengan aneka tumbuhan. Untung aku cepat mengelak dan tubuhku tersangkut pohon ketela. Aku terjatuh tapi tak ada luka. Ustadz Rowi yang tak banyak cakap itu hanya tersenyum memandangku. Mungkin ia merasa lucu saat aku berteriak hantu kepadanya.
Dengan masih dirubung kebingungan plus rasa malu aku menyusun langkah lagi. Aku tidak berkata apa-apa kepada dia. Dia juga tak berkata apa-apa selain hanya senyumnya yang terus mengembang. Melihat senyumnya aku makin malu.

0 Response to "Layang-Layang"

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel