Mengunjungi Pelabuhan Nasional Batu Kerbuy Pasean
Jum’at, 20 Maret 2009. Saat itu saya sedang berada di rumah seorang teman, tepatnya di desa Batu Kerbuy, Pasean, Pamekasan, untuk mengikuti rangkaian acara yang dilaksanakan oleh sanggar Basmalah PPA. Lubangsa Selatan, Guluk-Guluk, Sumenep. Saya berangkat dari Pondok mulai kemarin sorenya. Sampai di sana pas adzan Isya. Perjalanan kali ini memakan waktu hampir 3 jam.
Disela-sela acara saya menyempatkan diri menyambangi sebuah pelabuhan yang masih dalam tahap awal pembangunannya. Kebetulan letaknya tidak jauh dari tempat dimana saya menginap. Kira-kira 200 meter. Jadi, saya jalan kaki saja ke sana. Bersama seorang kawan saya pergi dengan harapan bisa melihat dari dekat dan mencari sesuatu yang berarti dari kunjungan singkat ini. Selepas shalat Jum’at saya berangkat. Aroma panas menguap dari hamparan aspal yang dijerang matahari. Keringat mulai membasahi tubuh dan merembesi pakaian saya. Teman saya mulai mengeluh, kenapa tidak pake kendaraan saja? Katanya. saya menjawab, biar banyak pengalamanlah! Jawaban yang sepertinya tidak meredakan aroma gerah kawan saya itu. Saya amati rumah-rumah penduduk yang berderet memagari jalan panjang Pantura ini. Rumah-rumah mereka seperti kebanyakan rumah-rumah di desa lainnya. Namun satu yang membedakan, meski banyak rumah yang berdiri tapi sedikit sekali orang yang menghuninya. Itu karena tradisi turun temurun yang masih mereka langgengkan sampai saat ini, yaitu merantau ke negeri seberang, menjadi TKI yang kebanyakan ilegal. Ada yang ke Malaysia, Arab Saudi, Singapura, dll. Di bagian utara rumah penduduk memanjang ke arah barat dan timur lautan besar yang memisahkan pulau Madura dengan Kalimantan. Lautan itu juga yang kesehariannya menjadi lahan tempat penduduk Pasean memungut penghasilan untuk menghidupi keluarga.
Sampai di tujuan saya disambut oleh pagar seng yang memanjang di bibir pelabuhan. Hanya tersedia lubang seukuran dua truk untuk akses jalan masuk ke dalam pelabuhan. Saya melewatinya dan mata saya tertumpu pada bacaan yang ditulis pada potongan kayu dengan cat tembok. Kira-kira bunyinya begini, yang masuk harus bayar Rp. 2000. Saya tolah-toleh dan bertanya dalam hati, mau bayar sama siapa wong tak ada orang sama sekali. Saya melenggang saja tanpa pikir panjang. Saya ambil kesimpulan, paling-paling orang iseng atau ingin memeras. Perlahan-lahan rasa panas yang tadinya menguasai tubuh saya mulai mencair karena balutan angin pantai yang bergerak cukup lembut. Kali ini memang tidak seperti biasanya, pantai utara terkenal dengan ombaknya yang cukup besar dan mengerikan. Terutama pada malam hari. Namun, untuk saat ini tidak terjadi karena bulan ini memang siklus angin tidak terlalu besar.
Saya mengamati keadaan Pelabuhan. Terlihat masih dalam tahap awal pembangunan dermaganya. Nampak potongan-potongan beton cor yang dijadikan pondasi pelabuhan ini ditanam berdempetan ke dalam laut. Akses dermaga yang dibuat menjorok ke laut juga masih dalam tahap awal penyelesain. Saya mulai bertanya-tanya, benarkah pelabuhan ini akan rampung tahun 2010, seperti yang yang digadang-gadang sebelumnya? persoalan telatnya anggaran dana dari pemerintah merupakan penyebab utama. Yah, lagi-lagi waktu yang akan bicara. Khawatirnnya seperti Suramadu yang selalu diundur deadline perampungannya.
Sekedar pemberitahuan bahwa, pembangunan pelabuhan nasional Pamekasan itu dimulai pada pertengahan 2007, di areal seluas 3 ha. Saat ini sedang dikerjakan dermaga berukuran 10 x 50 meter. Selanjutnya akan dibangun ’causeway’ berukuran 8 x 76 meter, lapangan penampungan atau terminal barang seluas 1.000 meter persegi, tempat parkir 300 meter persegi, kantor pelabuhan seluas 70 meter persegi, serta jalan masuk pelabuhan selebar 10 meter dan jalan akses ke dermaga sepanjang enam meter.
Pelabuhan ini akan menjadi tempat masuk dan keluarnya barang dan orang dari dan ke Kalimantan. Sebelumnya, orang Madura menggunakan pelabuhan Kalianget untuk jasa transportasi dan barang. Diharapkan dengan berdirinya pelabuhan ini akan memberi kontribusi bagi keberkembangan ekonomi Madura ke depan. Rencananya, pelabuhan ini akan menjadi pelabuhan nasional setelah jembatan Suramadu selesai.
Di bale-bale gubuk yang dibangun di areal pelabuhan, saya istirahat sebentar, mengamat-amati sambil diam-diam berfikir apakah ini pelabuhan orang Madura ataukah bukan? Sebab, saya begitu khawatir karena kemampuan SDM Madura yang sangat memperihatinkan. Bisakah orang Madura (terutama orang Pasean) mengelola pelabuhan sebesar ini? Pendidikan yang belum merata menjadi momok utama sekaligus tantangan bagi masyarakat Madura ke depan, terutama bilamana jembatan Suramadu mulai membentang dengan angkuhnya. Jadi, jika SDM belum siap, tentu yang mengelola pelabuhan adalah orang-orang luar. Nah, sudah siapkah kita?
Setelah mengamati dan memotret sana-sini, tiba-tiba seorang lagi teman datang dengan mengendarai sepeda motor. Maksudnya tidak untuk mengamati pelabuhan, tapi untuk menjemput saya dan teman saya. Wah, kebetulan! Tidak usah keringat-keringat lagi. Saya dan teman yang menggerutu tadi pun pulang dengan berbonceng kepada teman yang baru datang itu. Sampai di tempat nginap hidangan ternyata sudah menanti, bahkan sebagian teman yang lain sudah usai dari makannya. Untung saya masih disisakan! Alhamdulillah!
0 Response to "Mengunjungi Pelabuhan Nasional Batu Kerbuy Pasean"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.