-->

Resensi Buku Raymond Carver: What We Talk About When We Talk About Love


Nama Raymond Carver memang cukup dikenal di Indonesia. Beberapa karyanya seperti kumpulan cerpen ini telah menginspirasi banyak orang di berbagai penjuru dunia dalam pembuatan buku, lagu, film, surat cinta, hingga drama televisi. Haruki Murakami menulis memoar berjudul What I Talk About When I Talk About Running (2007) yang tentu saja memodifikasi judul dari buku ini. Ada pula film Birdman (2014) yang sebagian ceritanya terilhami juga dari karya Carver. Di Indonesia sendiri, sutradara Mouly Surya menggubah sebuah film berjudul What They Don't Talk About When They Talk About Love yang dirilis pada Januari 2013. Tentu saja, ia meniru gaya Carver dalam pembuatan judul walaupun isinya sama sekali tidak ada hubungannya dengan cerpen Carver.

Judul buku ini memang unik dan memikat. Siapa pun yang melihat judulnya akan penasaran dan tertarik untuk mengetahui lebih jauh tentang hakikat cinta di mata penulis asal Amerika ini. Walaupun kenyataannya, judul cerita yang semula Beginning ini sebenarnya bukan dari Carver, melainkan hasil gubahan dari editor Gordon Lish.

Di tangan Lish, tujuh belas cerpen yang termaktub dalam buku ini mengalami sejumlah perubahan, baik judul maupun narasinya; seperti cerpen berjudul Little Things berubah menjadi Popular Mechanichs. Hal inilah yang memunculkan kritik dari penikmat sastra bahwa Lish terlalu masuk dalam tulisan Carver, sehingga seolah cita rasa Carver dalam karyanya terasa pudar. Meskipun kita akui judul yang dibuat Lish ternyata lebih laris di pasaran daripada judul asli Carver. 

Terlepas dari itu, buku kumpulan cerpen ini adalah representasi cinta yang getir dan persoalan kehidupan sehari-hari yang dialami masyarakat Amerika. Plot yang dinarasikan memang terkesan sederhana, namun jika dibaca berulang kali, maka pembaca akan digiring pada kontemplasi yang mendalam. 

Ada ciri menarik dari tulisan-tulisan Carver yang layak dicermati. Di sejumlah cerpennya, gaya minimalis dalam penceritaan sangatlah menonjol. Pembaca disuguhi cerita-cerita sederhana yang minim deskripsi suasana, latar, maupun wujud tokoh yang ditampilkan. 

Selain itu, Carver juga tidak bercerita secara utuh sebagaimana lazimnya penulis sekarang bercerita, yakni membubuhkan pembuka-konflik-penutup. Faktanya, di setiap cerita, Carver seolah sengaja memberikan ending yang menggantung. Ia ingin memberi ruang yang lebih terbuka kepada pembaca untuk memberikan interpretasi sesuai keyakinannya.

Gaya minimalis Carver bisa dilihat dalam cerpen berjudul Popular Mechanichs. Cerpen ini terdiri dari satu halaman lebih sedikit. Ceritanya tentang seorang suami yang diusir istrinya dari rumah. Kemudian pasangan tersebut saling tarik menarik memperebutkan seorang bayi yang endingnya sangat tragis (halaman 160). Dalam cerita ini, pembaca tidak diberitahu secara utuh oleh Carver apa yang terjadi sebelum dan sesudah kejadian itu. 

Cerita lain yang menjadi judul buku ini juga tak lepas dari karakter minimalis. Alurnya relatif pendek. Berawal dari empat orang yang duduk di sekeliling meja dapur sambil minum gin dan air tonik pada sore hari. Tiba-tiba, salah seorang dari mereka bertanya tentang cinta. Pembicaraan terus bergulir mendiskusikan tentang hakikat cinta. Menurut Mel McGinnis, cinta sejati tak lain adalah cinta yang bersifat spiritual (halaman 174). 

Sedangkan istrinya, Terri, punya pendapat berbeda. Cinta tak bisa didefinisikan. Cinta akan memaknai dirinya sendiri melalui tindakan seseorang yang mengaku sedang mencintai. Bagi Terri, mantan suaminya, Ed, sangat mencintainya walaupun pada akhirnya ia berusaha  akan membunuhnya. Mel sebagai suaminya yang sekarang tentu tidak sepakat jika tindakan Ed tersebut dikatakan cinta. Orang berbeda-beda, Mel. Kadang dia bertingkah gila. Tapi, dia mencintaiku dengan caranya sendiri (halaman 175). 

Kisah Carver digambarkan dengan kalimat-kalimat yang pendek nan tajam. Minimnya detail yang kerap digunakan menunjukkan universalitas makna. Hal ini mengajarkan bahwa sebuah cerita bisa ditulis secara simple, namun tetap padat dan bermakna. 

Bagaimanapun, rangkaian kisah dalam buku ini setidaknya telah meramaikan khazanah kesusastraan di Indonesia. Gaya penulisan minimalis ala Carver dapat menjadi contoh bagaimana seorang penulis tidak melulu bercerita dengan lengkap tetapi kering makna. Pun juga kisah sederhana dalam kehidupan sehari-hari tak selalu garing untuk diungkap. Sesederhana apa pun konflik yang diangkat bila mampu dibungkus dengan kalimat yang kontemplatif, maka akan meninggalkan kesan yang mendalam di benak pembaca.

---------------

Judul Buku: What We Talk About When We Talk About Love
Penulis: Raymond Carver
Penerbit: Baca
Cetakan: I, Agustus 2018
Tebal Buku: 203 halaman

0 Response to "Resensi Buku Raymond Carver: What We Talk About When We Talk About Love"

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel