Melawan Pendidikan Korup dengan Komunitas Belajar
sumber foto di sini
Dari dulu saya sudah punya firasatbahwa saya memang tidak punya bakat bergelut dalam dunia pendidikanformal. Dari riwayat sekolah, saya termasuk orang yang gagal menjadiinsan “terdidik” sebagaimana diharapkan oleh visi misi pendidikandari pemerintah. Hampir sepanjang perjalanan mulai MadrasahTsanawiyah hingga Perguruan tinggi saya adalah seorang pembolos yangrajin. Meski kebolosan itu tidak sampai membuat saya dikeluarkan darisekolah karena saya selalu emoh dengan urusan kantor yangmenjengkelkan.
Kebiasaan buruk di masing-masingtingkat pendidikan membawa dampak tersendiri bagi kehidupan sayakelak, terutama ketika saya diserahi untuk menjadi tenaga pengajar disebuah madrasah. Dari awal saya mengajar, saya hanya masuk kalautidak salah lima kali. Padahal sudah sekitar tiga bulan lamanya sayadiminta mengajar.
Entahlah, sampai saat ini saya masihmemiliki persepsi miring tentang dunia pendidikan di negara ini.Sistem yang korup dan manajemen yang tidak matang selalu membuat sayaapatis. Di daerah-daerah malah sekarang sudah marak praktek korupsidari dana BOS, BKM, BSM, dst. Sudah bukan rahasia lagi kalaupetinggi-petinggi sekolah berlomba-lomba membeli mobil mewah daribantuan pendidikan tersebut. Dan untuk mendapatkan bantuan, pihaksekolah harus menyogok pihak Depag atau Diknas. Apakah ini yang harusdilestarikan?
Belum lagi pelaksanaan Ujian Nasional(UN) yang sudah lumrah menjadi ajang kebusukan para pengawas, Diknas,dan sekolah. Kebohongan begitu kentara mereka pertunjukkan. Anehnya,dengan kondisi seperti itu, para siswa masih merayakan kelulusandengan kegembiraan tingkat tinggi, seperti baru mendapat surga jatuhdari langit. Apakah itu tandanya mereka merayakan kebohongansistematis? Aneh.
Ketika sedang frustasi memikirkanpendidikan yang menyedihkan, kadang saya berpikir untuk menginisiasisebuah komunitas belajar. Dari awal saya sudah tahu, bahwa tantanganterberat mendirikan komunitas belajar adalah SDM dan sumber dana. SDMmenjadi sulit karena di komunitas sistemnya adalah swadaya.Masyarakat saat ini sudah enggan berususan dengan hal-hal yang berbauswadaya. Cara berpikir mereka sudah dikonstruk oleh keadaan menjadiserba kapitalis, semua diukur dengan uang. Nah, menghadapi kesulitanini, saya mesti mencari kader-kader militan yang siap bekerja penuhuntuk memajukan pendidikan, bukan mengkomersialisasi sebagaimana yangsering terjadi saat ini.
Soal sumber dana memang masalah klasik.Dari zaman nenek saya, kalau ada acara atau lainnya, masalahpendanaan adalah hal yang selalu muncul pertama kali. Akan tetapi,jika mau berkreasi, saya yakin pendanaan akan bisa diatasi. Jikasulit mendapatkan dana, maka bangunlah koperasi.
Saya ingin mengawali komunitas belajarini dengan mendidirikan sebuah perpustakaan. Saya melihat dunia bukuadalah hal yang masih langka di Madura. Meski beberapa lembaga sudahmendirikan perpustakaan, namun keberadaannya masih sangatmemprihatinkan. Sekolah lebih suka mendirikan laboratorium ketimbangperpustakaan. Padahal, sumber-sumber pengetahuan mestinya diawalidari perpustakaan, bukan ruang laboratorium.
Perpustakaan ini adalah milik komunitasyang dikelola secara swadaya. Keberadaannya tidak boleh bergabungsecara penuh dengan sekolah karena dikhawatirkan kegiatan-kegitannyaakan berbenturan dengan kegiatan sekolah bersangkutan. Persentuhankeduanya hanya dalam proses peminjaman buku. Saya membayangkan untuktahap-tahap awal, anggota komunitas bergerilya ke sekolah-sekolahuntuk promosi sekaligus mendorong para siswa gemar membaca. Kampanyebuku diawali dengan kegiatan semisal lomba yang berkenaan denganbuku. Hadiahnya adalah voucher gratis peminjaman buku.
Itulah beberapa hal yang terlintasdalam pikiran saya. Saya memang belum melangkah lebih jauh untukobesesi yang satu ini. Saya masih dalam tahap belajar bagaimanamembangun sebuah ide menjadi kenyataan. Saya selalu dihantui olehberbagai pertanyaan, apa yang akan saya berikan untuk anak cucukelak, sementara saya tidak punya keahlian apa-apa? Bagi saya, sebuahlangah kongkret adalah hal yang tak bisa ditawar. Komunitas belajarbarangkali adalah kerja nyata itu. Ia hadir untuk melawan pendidikanyang korup!
madura 31 mei 2012
Gagasan yang cerdas! Perpustakaan 3 Annuqayah kayaknya menarik dikaji. Saya ingin berkunjung dan belajar secara betah di dalamnya. Tetapi hingga sekarang tak kesampaian juga.. Di lembaga tempat saya mengajar, perpustakaannya lumayan besar. Buku-bukunya juga banyak dan bermutu. Hanya saja, manajemennya belum optimal. Semoga saja bung Rozi kelak berkenan mau jadi salah satu pustakawannya. Sebelum itu, rampungkan dulu skripsi kamu, bung! hehehe
ReplyDeleteGampang kalo cuma ke SMA 3. Tinggal jadi perempuan sampeyan, Nam. :D
DeleteSaya lebih memilih perpus komunitas, Nam, karena tidak terikat dengan lembaga yang bisa memengaruhi kinerja anggota komunitas.
Saya salut sekali dg gagasan mendirikan komunitas belajarnya mas. Memang jika memikirkan masalah korupsi, saya rasa tidak akan ada habisnya jika masih ada yg doyan dg uang haram
ReplyDeletePerlu ada yg memulai, karena kalau bukan kita yg lagi sadar ya siapa lagi. Saya juga punya komunitas menulis, juga komunitas sosial. Dana memang menjadi masalah klasik, akhirnya swadaya dan mencari donaturlah yg jadi solusinya
Mas Arie, terima kasih atas dukungan, komentar dan masukannya. Saya perlu belajar banyak kepada sampaeyan yang sudah lebih dulu memulai. Ini masih sekedar gagasan, ada banyak hal yang harus saya persiapkan untuk itu semua.
Deletekomunitas belajar seperti ini harus senantiasa di jaga sobat...
ReplyDeleteTerima kasih dukungannya, Mas Asis
Deletesabar ya mas mungkin sekarang bagian mas yang membenahi tempat itu, saya do'akan semoga lancar dan sukses...
ReplyDeleteterima kasih doa dan dukungannya, Mas Agus. Semoga kita sama-sama sukses.
Deletehu'umh.. miris kl tiap un diadakan sekaligus disediakan jwbannya -,-a
ReplyDeleteLucu juga. :D
DeleteIni soal kejujuran di negri ini, saya lebih cenderung percaya sama anak sekolah dasar dari pada mentri pendidikan sekalipun. jangan menilai anak itu bodoh atau pinter hanya karena melihat nilai ujian nasional. Sistem pendidikan skrg nyatanya sudah salah. Itu pendapat saya..
ReplyDeleteSetuju sekali, Mas Yayack. UN memang tidak bisa dijadikan acuan untuk menentukan kemampuan seseorang. UN hanya bagian kecil untuk mengetahui ilmu yang ada dalam diri seseorang. Celakanya, justru itulah yang menjadi tolak ukur sebagian besar orang tua siswa. Seakan-akan UN adalah tiket menuju surga.
DeleteTrims atas apresiasinya.
sbnrnya nyeidain jawabn itu baik apa gk sih kang???
ReplyDeletesy malah kadang setju sama tindkana itu....
Salam Kenal kang Jangan lupa mampir ke blogQ yah.... Catatan Si Chumhienk...
Berharap dkungannya dengan komen + Share artkel sy... hehehe
terimksih
Catatan si chumhienk
Saya kira bukan tindakan yang tepat karena itu sama artinya dengan pembohongan. Apalagi itu terjadi dalam institusi pendidikan yang seharus menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran.
Deletesalam kenal juga untuk, Mas.