Makna Jempol dalam Facebook
Ernst Cassirer mengatakan bahwa manusia adalah animal symblicum atau hewan yang bersimbol.
Tiap apa yang melekat padanya selalu punya tafsir, baik itu cara bergerak, berbicara,
cara berpikir, apa yang dipakainya, dst. Masing-masing tafsir itu bisa jadi
berbeda-beda, namun terkadang ada kesepakatan atas tafsir-tafsir tertentu ole
sebuah komunitas masyarakat.
Dalam keseharian, kita bisa melihat banyak sekali contoh
nyata bagaimana sebuah simbol akan membentuk pikiran seseorang. Anak muda yang
tidak punya ponsel hari ini akan menjadi olok-olokan teman-temannya yang lain. Dia
akan dianggap anak rimba yang gaptek dan tidak gaul. Di sini nampak bahwa ukuran
gaul tidaknya seseorang ditakar oleh ada tidaknya sebuah ponsel di tangan
mereka. Ponsel adalah simbol untuk menandai pemakainya termasuk golongan orang-orang
yang maju dan modern. Meski sering mereka tak dapat memanfaatkan fitur-fiturnya
dengan baik.
Soal simbol ini juga bisa kita lihat dalam sebuah kasus yang
sekarang sudah redup dari perbincangan, yaitu plat palsu mobil Anas
Urbaningrum. Simbol atas plat tersebut
bisa saja menimbulkan sebuah persepsi “Lha wong dia ketua partai penguasa,
wajar toh punya plat seperti itu. Dan polisi nggak akan berani menyeretnya ke
sel. Terbukti sekarang berita itu sudah redup.” Atau persepsi yang lain lagi, misalnya: “Dia
kan bikin plat palsu karena sering dikejar-kejar orang”. Nah, persepsi yang
terakhir inilah yang lucu dan tidak masuk akal. Kalau masalahnya seperti itu,
masak harus melanggar peraturan polisi?
Ah, terlalu jauh sudah. Saya sebenarnya hanya akan membahas
sebuah simbol yang ada di dalam Facebook,
yaitu tanda jempol. Sebelum masuk dalam keluarga situ jejaring sosial, jempol
hanyalah sebuah simbol bagi kata “bagus
sekali” dan “sangat hebat”. Namun, kini ia mengalami perluasan makna dan kadang
bahkan untuk sesuatu yang bertentangan dengan makna terdahulu. Lebih sering
pula kata “Suka” yang tertera sehabis gambar jempol tidak cukup mewakili
keinginan pengguna situs ini. Mereka coba memproduksi makna baru yang lebih
cair.
Contoh kecilnya, misalnya, saya menulis status: Innalillahi
wainna ilaihi rajiun. Telah meninggal dunia…. dst. Tiba-tiba ada yang mengklik
tanda jempol. Apakah itu akan diartikan sebagai bentuk rasa suka cita atas
meninggalnya seseorang yang saya sebutkan dalam status itu? Ataukah ia sebagai
ekspresi ucapan “Bagus Sekali” atau “Sangat Hebat”? Jika demikian, sangat
terkutuklah orang yang memberi tanda jempol tersebut.
Jadi, apa yang dilakukan teman Facebook itu haruslah dimaknai
sesuai konteks yang ada. Tentu saja mereka tidak mungkin bermaksud menyukai
sebuah kematian. Kita bisa lebih cair menanggapi, bahwa, misalnya, itu adalah
bentuk belasungkawa. Atau dia “suka” saya telah berbagi kabar yang sangat
penting itu kepadanya.
madura, 29 mei 2012
http://uustea.blogspot.com
ReplyDeleteterima kasih kunjungannya...
Delete