Bertahan
Sejak beberapa bulan terakhir, saya menemui tulisan-tulisan AS. Laksana di Koran Jawa Pos selalu memiliki titik tema yang sama, menyerukan agar kita tidak terjebak dalam kondisi buruk di sekitar untuk menemukan nilai positif dalam diri. Tulisan hari ini, Minggu, 26 Fabruari 2012, juga menjelaskan hal yang sama. Seakan-akan rangkaian tulisan itu membangun kesinambungan dalam rangka menguatkan ide yang sudah ditulis sebelumnya. Bagaimanapun, kita tahu, ide akan bertahan karena memiliki alasan-alasan kuat yang sulit ditolak oleh ide-ide lain yang bertentangan.
Kali ini A.S. Laksana memberi judul tulisannya, “Bebas dari Semangat Zaman”. Terlihat jelas, judul itu menyiratkan tentang bagaimana kita bisa mengambil jarak dengan semangat zaman. Sastrawan Geothe membuka tulisan tersebut dengan kata-katanya yang seakan-akan menjadi muasal ruh tulisan AS Laksana.
Terus terang, dalam beberapa tulisan yang saya baca, saya mencoba memikirkannya untuk merealisasikan ke dalam diri. Tulisan-tulisan itu memang benar-benar menginspirasi, walaupun sampai sekarang saya belum bisa dikatakan berhasil melakukannya. Namun, setidaknya paradigma saya mulai berubah meski amat lambat. Toh, itu masih lebih baik dari pada tidak sama sekali. Ah, alasan yang lembek, bukan?
Bagaimanapun, saya merasakan sendiri, betapa banyak hal-hal di sekitar saya menjadi bumerang yang menggerogoti pikiran. Baik perilaku orang-orang, lebih-lebih berita yang saya konsumsi sehari-hari. Semua tak lepas dari hal-hal yang mengarah kepada kehancuran negara ini. Generasi muda yang tawuran, pejabat korupsi, perampokan, kecelakaan kendaraan, ormas anarkis, bunuh diri, dst. Semua itu masuk ke dalam kepala saya saban hari .
Semua hal yang buruk membentuk pola pikir saya menjadi seorang yang mudah putus asa. Terekam dalam memori otak, bahwa amat sulit mencari orang baik di republik ini. Koran, majalah, televisi, radio, media online adalah ruang privat para koruptor, pencoleng, dan rampok. Semua itu disuruk-surukkan ke rumah-rumah penduduk. Dan mereka mengonsumsinya tanpa tahu apa manfaat dari berita maupun tayangan yang mereka kunyah.
Berkaitan dengan tulisan AS. Laksana, saya masih mencari-cari formulasi yang tepat bagaimana bisa memasukkannya dalam kehidupan saya. Terus terang, bebas dari semua hal buruk di atas bukanlah hal mudah. Dan sepertinya memang tidak bisa, mengingat betapa perkembangan informasi sudah sedemikian cepat dan mudahnya. Kita mungkin hanya perlu jarak dan tak ikut larut dalam gemuruh arus kekelaman itu.
Saya pernah beberapa hari mengindari berita-berita politik. Usaha itu tak berhasil karena media amat pintar menarik pembaca. Mereka membikin berita dengan judul-judul seram yang membuat pembaca penasaran. Saya gagal karena rasa penasaran saya tak bisa ditahan ketika, misalnya, membaca judul berita, “Setelah Anggie, siapa lagi?”. Berita-berita seperti itu mengandung spirit spionase. Dan saya selalu penasara untuk hal-hal yang demikian.
Bukan hanya dari media, tapi ruang lingkup obrolan juga sangat memengaruhi bahan bacaan saya. Ketika berkumpul dengan teman-teman, sering kali yang kami bicarakan adalah soal politik dan korupsi. Percakapan itu bersahut-sahutan, saling menguatkan atau saling menyanggah. Dan mereka yang kaya informasi tentu yang paling menguasi obrolan tersebut. Maka, saya didorong untuk banyak membaca perihal apa yang sering kami obrolkan agar saya tidak terkesan kolot dan udik.
Itulah salah satu alasan mengapa saya tidak bisa menghindar dari berita-berita tentang korupsi dan berita buruk lainnya. Dan kiranya, laku tersebut memang salah. Setidaknya, bukan itu yang dikehendaki oleh AS. Laksana dalam tulisan-tulisannya. Saya lalu mencari-cari cara baru. Dan sampai sekarang masih terus dalam proses pencarian.
Yang berhasil saya lakukan sekarang adalah menghindari omongan anggota DPR. Saya emoh mendengarkan mereka bicara. Jika terpaksa membaca, saya hanya ingin tahu, hal bodoh apa lagi yang mereka bicarakan. Entah, mungkin ini adalah sebentuk trauma, karena selama ini saya mendengarkan omongan mereka malah membuat kepala pusing. Anehnya, sebagian mereka adalah orang-orang pintar lulusan universitas ternama di luar negeri. Tapi, pertanyaannya, kenapa kok begitu buruk ucapan-ucapan mereka?
Ah, semoga saya hanya berburuk sangka.
Mencoba lepas dari kepungan informasi buruk itu mungkin membutuhkan perjuangan. Setidaknya, seperti kata AS. Laksana, usahakan bertahan di menara gading. Dalam artian, kita jangan ikut memperkeruh suasana dengan ikut-ikutan mengomentari kasus-kasus yang memang tidak ada sangkut pautnya dengan diri kita. Persoalan Anggelina maupun Nazaruddin adalah tugas para penegak hukum. Amat kecil potensi kita masuk dalam pusaran konflik kepentingan itu. Alih-alih memperbaiki keadaan, kita malah akan makin terseret ke dalamnya.
Menghindari pusat-pusat konflik bukan lantas menjadikan kita apatis dan permisif. Ini adalah dalam rangka membangun kekuatan positif dalam diri. Dengan berada di menara gading, kita samar-samar akan melihat siapa yang culas dan siapa yang baik. Dan, kita tidak akan ikut meramaikan kasus tersebut dengan caci maki.
Contoh lain, situs jejaring sosial bagi sebagian orang mungkin membantu komunikasi dengan kerabat dan teman-temannya. Kabar-kabar penting bisa mereka share dengan cepat dan mudah. Namun, sebagaimana kita tahu, internet adalah pisau bermata dua. Mereka tidak dapat menghindar dari status-status teman-temannya yang sangat mungkin ikut mewarnai pikiran mereka. Baru-baru ini, saya sering menjumpai status yang membahas tentang kasus-kasus yang berkembang. Kasus penolakan FPI, kasus korupsi Anggie dan Nazaruddin, kasus John Kei, dst. Semua berdebat dan sama-sama tak mau kalah. Sahut-sahutan. Melihat itu, saya lalu berpikir, adakah manfaatnya dari percakapan tersebut? Saya sangat yakin, perdebatan di situs jejaring sosial lebih sering hanya berhenti sebagai debat kusir. Tak ada faedah yang bisa dipetik kecuali hanya kekacauan pikiran yang terus berulang-ulang.
Akhirnya, kita memang harus pandai-pandai menjaga stamina agar tetap bisa bertahan dalam kondisi buruk macam sekarang. Mari berhenti mengomentari masalah-masalah yang hanya mengganggu stamina kita. Stamina yang kuat tentu saja lebih baik dalam menghadapi musim yang buruk (Ah, kok malah ngajak-ngajak, padahal saya belum bisa).
Saya sangat kagum dengan Dahlan Iskan yang sampai saat sepertinya masih apatis dengan dunia politik. Maksud saya, dia sangat jarang mengomentari masalah-masalah politik di negeri ini. Dia fokus terhadap tugas-tugas yang diembannya. Yang sangat saya herankan adalah Bapak Presiden yang sepertinya terus terlarut dalam pusaran konflik. Beliau memang makin gendut, tapi lihat, parasnya kian menyedihkan. Mungkin dia termakan oleh slogannya sendiri yang berbunyi, “Katakan Tidak Pada Korupsi!” sementara anak buahnya terus diseret ke sel oleh KPK.
Kali ini A.S. Laksana memberi judul tulisannya, “Bebas dari Semangat Zaman”. Terlihat jelas, judul itu menyiratkan tentang bagaimana kita bisa mengambil jarak dengan semangat zaman. Sastrawan Geothe membuka tulisan tersebut dengan kata-katanya yang seakan-akan menjadi muasal ruh tulisan AS Laksana.
Terus terang, dalam beberapa tulisan yang saya baca, saya mencoba memikirkannya untuk merealisasikan ke dalam diri. Tulisan-tulisan itu memang benar-benar menginspirasi, walaupun sampai sekarang saya belum bisa dikatakan berhasil melakukannya. Namun, setidaknya paradigma saya mulai berubah meski amat lambat. Toh, itu masih lebih baik dari pada tidak sama sekali. Ah, alasan yang lembek, bukan?
Bagaimanapun, saya merasakan sendiri, betapa banyak hal-hal di sekitar saya menjadi bumerang yang menggerogoti pikiran. Baik perilaku orang-orang, lebih-lebih berita yang saya konsumsi sehari-hari. Semua tak lepas dari hal-hal yang mengarah kepada kehancuran negara ini. Generasi muda yang tawuran, pejabat korupsi, perampokan, kecelakaan kendaraan, ormas anarkis, bunuh diri, dst. Semua itu masuk ke dalam kepala saya saban hari .
Semua hal yang buruk membentuk pola pikir saya menjadi seorang yang mudah putus asa. Terekam dalam memori otak, bahwa amat sulit mencari orang baik di republik ini. Koran, majalah, televisi, radio, media online adalah ruang privat para koruptor, pencoleng, dan rampok. Semua itu disuruk-surukkan ke rumah-rumah penduduk. Dan mereka mengonsumsinya tanpa tahu apa manfaat dari berita maupun tayangan yang mereka kunyah.
Berkaitan dengan tulisan AS. Laksana, saya masih mencari-cari formulasi yang tepat bagaimana bisa memasukkannya dalam kehidupan saya. Terus terang, bebas dari semua hal buruk di atas bukanlah hal mudah. Dan sepertinya memang tidak bisa, mengingat betapa perkembangan informasi sudah sedemikian cepat dan mudahnya. Kita mungkin hanya perlu jarak dan tak ikut larut dalam gemuruh arus kekelaman itu.
Saya pernah beberapa hari mengindari berita-berita politik. Usaha itu tak berhasil karena media amat pintar menarik pembaca. Mereka membikin berita dengan judul-judul seram yang membuat pembaca penasaran. Saya gagal karena rasa penasaran saya tak bisa ditahan ketika, misalnya, membaca judul berita, “Setelah Anggie, siapa lagi?”. Berita-berita seperti itu mengandung spirit spionase. Dan saya selalu penasara untuk hal-hal yang demikian.
Bukan hanya dari media, tapi ruang lingkup obrolan juga sangat memengaruhi bahan bacaan saya. Ketika berkumpul dengan teman-teman, sering kali yang kami bicarakan adalah soal politik dan korupsi. Percakapan itu bersahut-sahutan, saling menguatkan atau saling menyanggah. Dan mereka yang kaya informasi tentu yang paling menguasi obrolan tersebut. Maka, saya didorong untuk banyak membaca perihal apa yang sering kami obrolkan agar saya tidak terkesan kolot dan udik.
Itulah salah satu alasan mengapa saya tidak bisa menghindar dari berita-berita tentang korupsi dan berita buruk lainnya. Dan kiranya, laku tersebut memang salah. Setidaknya, bukan itu yang dikehendaki oleh AS. Laksana dalam tulisan-tulisannya. Saya lalu mencari-cari cara baru. Dan sampai sekarang masih terus dalam proses pencarian.
Yang berhasil saya lakukan sekarang adalah menghindari omongan anggota DPR. Saya emoh mendengarkan mereka bicara. Jika terpaksa membaca, saya hanya ingin tahu, hal bodoh apa lagi yang mereka bicarakan. Entah, mungkin ini adalah sebentuk trauma, karena selama ini saya mendengarkan omongan mereka malah membuat kepala pusing. Anehnya, sebagian mereka adalah orang-orang pintar lulusan universitas ternama di luar negeri. Tapi, pertanyaannya, kenapa kok begitu buruk ucapan-ucapan mereka?
Ah, semoga saya hanya berburuk sangka.
Mencoba lepas dari kepungan informasi buruk itu mungkin membutuhkan perjuangan. Setidaknya, seperti kata AS. Laksana, usahakan bertahan di menara gading. Dalam artian, kita jangan ikut memperkeruh suasana dengan ikut-ikutan mengomentari kasus-kasus yang memang tidak ada sangkut pautnya dengan diri kita. Persoalan Anggelina maupun Nazaruddin adalah tugas para penegak hukum. Amat kecil potensi kita masuk dalam pusaran konflik kepentingan itu. Alih-alih memperbaiki keadaan, kita malah akan makin terseret ke dalamnya.
Menghindari pusat-pusat konflik bukan lantas menjadikan kita apatis dan permisif. Ini adalah dalam rangka membangun kekuatan positif dalam diri. Dengan berada di menara gading, kita samar-samar akan melihat siapa yang culas dan siapa yang baik. Dan, kita tidak akan ikut meramaikan kasus tersebut dengan caci maki.
Contoh lain, situs jejaring sosial bagi sebagian orang mungkin membantu komunikasi dengan kerabat dan teman-temannya. Kabar-kabar penting bisa mereka share dengan cepat dan mudah. Namun, sebagaimana kita tahu, internet adalah pisau bermata dua. Mereka tidak dapat menghindar dari status-status teman-temannya yang sangat mungkin ikut mewarnai pikiran mereka. Baru-baru ini, saya sering menjumpai status yang membahas tentang kasus-kasus yang berkembang. Kasus penolakan FPI, kasus korupsi Anggie dan Nazaruddin, kasus John Kei, dst. Semua berdebat dan sama-sama tak mau kalah. Sahut-sahutan. Melihat itu, saya lalu berpikir, adakah manfaatnya dari percakapan tersebut? Saya sangat yakin, perdebatan di situs jejaring sosial lebih sering hanya berhenti sebagai debat kusir. Tak ada faedah yang bisa dipetik kecuali hanya kekacauan pikiran yang terus berulang-ulang.
Akhirnya, kita memang harus pandai-pandai menjaga stamina agar tetap bisa bertahan dalam kondisi buruk macam sekarang. Mari berhenti mengomentari masalah-masalah yang hanya mengganggu stamina kita. Stamina yang kuat tentu saja lebih baik dalam menghadapi musim yang buruk (Ah, kok malah ngajak-ngajak, padahal saya belum bisa).
Saya sangat kagum dengan Dahlan Iskan yang sampai saat sepertinya masih apatis dengan dunia politik. Maksud saya, dia sangat jarang mengomentari masalah-masalah politik di negeri ini. Dia fokus terhadap tugas-tugas yang diembannya. Yang sangat saya herankan adalah Bapak Presiden yang sepertinya terus terlarut dalam pusaran konflik. Beliau memang makin gendut, tapi lihat, parasnya kian menyedihkan. Mungkin dia termakan oleh slogannya sendiri yang berbunyi, “Katakan Tidak Pada Korupsi!” sementara anak buahnya terus diseret ke sel oleh KPK.
madura, 26 februari 2012
kalau untuk menghindari info yang seperti mas sebutkan mungkin susah ya.. abisnya dimana mana ada, terkadang judul bikin penasaran..
ReplyDeletebegitulah, Mas. Kemudahan kadang membawa masalahnya tersendiri.
Delete