Kebhinnekaan dalam Selera Bermusik
Menemukan kebhinnekaan dalam kehidupan sehari-hari tidaklah terlalu sulit. Tidak perlu membuka-buka buku semacam “Naar de Republiek Indonesia” karya Tan Malaka. Saya sendiri bisa menemukannya dalam selera bermusik teman-teman saya.
Di kantor organisasi tempat saya mengabdi, ada dua komputer yang bisa dipakai teman-teman mendengarkan musik di sela-sela menyelesaikan pekerjaan. Namun, satu komputer telah meninggal dunia lebih setahun yang lalu. Saat ini hanya ada satu komputer yang tetap menyala walau kondisinya sudah koma. Hard disk-nya semaput. Meski koma, komputer tersebut masih berfungsi.
Lewat komputer ini saya mencoba membikin riset kecil-kecilan tentang selera bermusik kawan-kawan saya. Siapa yang suka rock, metal, gambus, lagu lebay, shalawantan, lagu Madura, maupun koplo.
Taufan Hasyim, lebih sering dipanggil Pak Hasyim. Ia merupakan senior saya. Selera bermusiknya satu sisi mirip dengan saya, yaitu menyukai lagu-lagu Dewa 19 dan Joe Satriani. Namun, perbedaan yang mencolok antara kami adalah ia juga sering memutar lagu-lagu gambus dan kelompok musik DEBU. Untuk lagu gambus, ia tidak hanya mendengarkan musiknya, tapi kadang juga ikut berzapin. Ini salah satu tabiat yang tidak dimiliki oleh teman-teman saya yang lain.
Sunandar, saya memanggilnya Bang Sunan. Tidak jauh berbeda dengan selera bermusik Pak Hasyim, yaitu cinta mati pada gambus. Ternyata, di rumahnya memang ada kelompok gambus yang diketuai oleh salah satu familinya. Wajarlah jika dia memiliki rasa cinta yang dalam kepadanya. Untuk musik yang lain, ia juga menyukai lagu-lagu koplo.
M. Kamil Akhyari, saya lebih sering memanggilnya Bung. Dia termasuk penganut dangdut yang taat. Namun, pada waktu-waktu tertentu, semisal sedang jatuh cinta, ia menggemari lagu-lagu band baru Indonesia, tentu dengan tema lagu yang sesuai kondisi hatinya. Untuk yang terkahir, pernah dalam beberapa minggu ia hanya memutar satu lagu saja. Kalaupun ditambah, lagu yang satu itu harus selalu ada dalam playlist. Ini menjadi guyonan Bang Sunan, bahwa dia bisa ditebak kondisi hatinya lewat tema musik yang dia putar.
Khaliq, lelaki yang mengasuh beberapa anak kecil di pondoknya, lebih menyukai lagu-lagu shalawatan. Kadang dia memutar murottal atau qiraah. Cara dia memprotes lagu-lagu yang diputar teman-teman yang lain agak unik. Saya yang kadang memutar lagu-lagu berbahasa Inggris, meski seratus persen tidak tahu artinya, diprotesnya dengan cara meniru-niru lagu tersebut. Namun, cara dia meniru adalah dengan bahasa-bahasa yang menyimpang 180 derajat dari bunyi lagu aslinya. Jika sedang demikian, saya tahu ia protes terhadap musik yang saya putar. Tapi, saya lebih sering membiarkannya.
Untuk saya sendiri, ada banyak lagu yang saya suka. Dari Indonesia, saya menyukai lagu-lagunya Dian HP, /rif, Slank, Dewa 12, Padi, Jubing Kristianto dan koplo. Sementara untuk musik Barat, saya menyukai musik-musiknya Kenny G dan Joe Satriani. Sebenarnya masih banyak, tapi untuk kelompok musik lain, saya hanya menyukai beberapa lagu mereka.
Saya kadang tersenyum sendiri mengingat-ingat kebiasaan teman-teman yang protes karena operator (orang yang sedang menggunakan komputer tersebut) memutar lagu-lagu yang ditampik telinganya. Kadang sang operator mengubah musik tersebut, kadang pula mematikannya sama sekali. Untuk yang terakhir ini memang memberi kesan ia sedang jengkel, namun itu adalah pilihan netral yang memungkinkan perdebatan bisa selesai.
Karena menyadari perbedaan selera tersebut, saya lalu mencetuskan sebuah slogan: Operator berkuasa! Maksunya, ikutilah kehendak sang operator perihal apa yang dia mau putar di media player. Relakan telinga kita dimasuki oleh musik yang mungkin tak berkenan masuk ke dalamnya. Ini adalah toleransi di tengah-tengah selera musik yang beragam. Bhinneka Tunggal Ika tanpa toleransi itu hanya omong kosong!
Di kantor organisasi tempat saya mengabdi, ada dua komputer yang bisa dipakai teman-teman mendengarkan musik di sela-sela menyelesaikan pekerjaan. Namun, satu komputer telah meninggal dunia lebih setahun yang lalu. Saat ini hanya ada satu komputer yang tetap menyala walau kondisinya sudah koma. Hard disk-nya semaput. Meski koma, komputer tersebut masih berfungsi.
Lewat komputer ini saya mencoba membikin riset kecil-kecilan tentang selera bermusik kawan-kawan saya. Siapa yang suka rock, metal, gambus, lagu lebay, shalawantan, lagu Madura, maupun koplo.
Inilah hasil riset kecil-kecilan itu.
Taufan Hasyim, lebih sering dipanggil Pak Hasyim. Ia merupakan senior saya. Selera bermusiknya satu sisi mirip dengan saya, yaitu menyukai lagu-lagu Dewa 19 dan Joe Satriani. Namun, perbedaan yang mencolok antara kami adalah ia juga sering memutar lagu-lagu gambus dan kelompok musik DEBU. Untuk lagu gambus, ia tidak hanya mendengarkan musiknya, tapi kadang juga ikut berzapin. Ini salah satu tabiat yang tidak dimiliki oleh teman-teman saya yang lain.
Sunandar, saya memanggilnya Bang Sunan. Tidak jauh berbeda dengan selera bermusik Pak Hasyim, yaitu cinta mati pada gambus. Ternyata, di rumahnya memang ada kelompok gambus yang diketuai oleh salah satu familinya. Wajarlah jika dia memiliki rasa cinta yang dalam kepadanya. Untuk musik yang lain, ia juga menyukai lagu-lagu koplo.
M. Kamil Akhyari, saya lebih sering memanggilnya Bung. Dia termasuk penganut dangdut yang taat. Namun, pada waktu-waktu tertentu, semisal sedang jatuh cinta, ia menggemari lagu-lagu band baru Indonesia, tentu dengan tema lagu yang sesuai kondisi hatinya. Untuk yang terkahir, pernah dalam beberapa minggu ia hanya memutar satu lagu saja. Kalaupun ditambah, lagu yang satu itu harus selalu ada dalam playlist. Ini menjadi guyonan Bang Sunan, bahwa dia bisa ditebak kondisi hatinya lewat tema musik yang dia putar.
Khaliq, lelaki yang mengasuh beberapa anak kecil di pondoknya, lebih menyukai lagu-lagu shalawatan. Kadang dia memutar murottal atau qiraah. Cara dia memprotes lagu-lagu yang diputar teman-teman yang lain agak unik. Saya yang kadang memutar lagu-lagu berbahasa Inggris, meski seratus persen tidak tahu artinya, diprotesnya dengan cara meniru-niru lagu tersebut. Namun, cara dia meniru adalah dengan bahasa-bahasa yang menyimpang 180 derajat dari bunyi lagu aslinya. Jika sedang demikian, saya tahu ia protes terhadap musik yang saya putar. Tapi, saya lebih sering membiarkannya.
Untuk saya sendiri, ada banyak lagu yang saya suka. Dari Indonesia, saya menyukai lagu-lagunya Dian HP, /rif, Slank, Dewa 12, Padi, Jubing Kristianto dan koplo. Sementara untuk musik Barat, saya menyukai musik-musiknya Kenny G dan Joe Satriani. Sebenarnya masih banyak, tapi untuk kelompok musik lain, saya hanya menyukai beberapa lagu mereka.
Saya kadang tersenyum sendiri mengingat-ingat kebiasaan teman-teman yang protes karena operator (orang yang sedang menggunakan komputer tersebut) memutar lagu-lagu yang ditampik telinganya. Kadang sang operator mengubah musik tersebut, kadang pula mematikannya sama sekali. Untuk yang terakhir ini memang memberi kesan ia sedang jengkel, namun itu adalah pilihan netral yang memungkinkan perdebatan bisa selesai.
Karena menyadari perbedaan selera tersebut, saya lalu mencetuskan sebuah slogan: Operator berkuasa! Maksunya, ikutilah kehendak sang operator perihal apa yang dia mau putar di media player. Relakan telinga kita dimasuki oleh musik yang mungkin tak berkenan masuk ke dalamnya. Ini adalah toleransi di tengah-tengah selera musik yang beragam. Bhinneka Tunggal Ika tanpa toleransi itu hanya omong kosong!
Madura, 1 Maret 2012
Jenengku endi bang? Kok gak ada? Aku seneng lagu bollywood bang :p
ReplyDeleteWah, lupa tuh, Uswah. Ntar tak bikinin khusus. :-D
Deletebeda selera itu ga papa..
ReplyDeleteBetul sekali, berbeda itu asyik. ;-)
Deleteoperator berkuasa.... mm berarti bisa dulu duluan megang tuh komputer ya mas..
ReplyDeleteNdaklah, gantian. hehe...
Delete