Agus
Hari ini, saya malas menulis tentang orang-orang besar dan terkenal. Selain karena saya orang kampung dan tak tahu banyak tentang mereka, pun para penulis sudah banyak yang mengulasnya. Saya ingin menulis tentang orang-orang di sekitar saya yang kehidupannya membuat saya merenung.
Siang menjelang sore kemarin (21/01), saya berkesempatan menyaksikan pertandingan sepak bola antar blok di pondok saya. Jangan dibayangkan pertandingan ini semisal pertandingan-pertandingan yang ditayangkan telvisi. Jauh, bagai jarak Pluto dengan Bumi. Dalam istilah penggemar sepak bola, ini disebut pertandingan tarkam alias antar kampung. Untuk menjelaskannya memang terlalu panjang, karena ke-tarkam-an lomba ini memiliki banyak faktor, semisal fasilitas yang kampungan, panitia kampungan, wasit kampungan, dan tentu saja pemain yang lebih kampungan lagi. Sehingga menendang kaki bukanlah hal yang terlalu besar karena itu sudah mereka latih dalam tiap hari olah raga.
Pada sore di hari Senin, Kamis dan Jum’at mereka biasa bermain sepak bola dengan komposisi peserta melampui kapasitas normal 22 orang. Tak jarang dalam lapangan yang cukup sempit itu satu tim bisa dimasuki oleh 20 orang. Berarti peserta keseluruhan dalam sekali main adalah 40 orang. Wajarlah bila yang mereka tendang bukan bola plastik, melainkan kaki teman-temannya sendiri.
Oh, iya. Saya tidak sedang ingin membicarakan bola, tetapi salah seorang yang kebetulan terlibat dalam kepanitiaan pertandingan tersebut. Namanya Agus. Saya tidak tahu ia panitia bagian apa. Yang saya tahu hanyalah bahwa ia menjadi pengambil bola tiap kali bola keluar lapangan. Saya melihatnya begitu giat melaksanakan tugas tersebut. Mungkin jika lapangan sepakbolanya adalah GBK atau Gelora 10 Nopember, menjadi pengambil bola bukanlah hal yang rumit. Namun, di lapangan pondok saya, menjadi pengambil sepak bola harus naik turun tebing, karena batas lapangannya adalah tebing dan tak ada pagar penangkal di pinggirnya. Walau tidak terlalu tinggi, namun intensitas jatuhnya bola sangat sering, sehingga Agus harus bolak-balik naik turun.
Cerita ini mungkin terlalu sederhana untuk mengambil kesimpulan bahwa Agus adalah seorang yang giat bekerja. Namun, cerita-cerita lain dalam kesehariannya akan meneguhkan kebenaran hal itu.
Ia sudah belajar berjualan ketika masih berada di tingkat Madrasah Tsanawiyah (setingkat SMP). Yang saya ingat, pertama kali berkecimpung dalam dunia ‘bisnis”, ia hanya menjadi pembantu Anas, salah satu santri yang lebih dulu memulai berbisnis. Anas sekarang sudah merantau ke Jarkarta untuk kuliah. Kabar terakhir yang saya dengar, ia sudah merintis bisnis catering.
Agus mungkin memiliki kepekaan bisnis yang sama dengan Anas. Saat ini, dia berjualan macam-macam kebutuhan santri, mulai dari gorengan, cemilan, mi instan, rokok, sampai majalah dan buku. Pada saat ada acara-acara besar, dia selalu datang dengan dagangannya.
Agus bukanlah orang yang berkecukupan secara ekonomi. Sama seperti kebanyakan teman-temannya yang lain. Namun, disaat teman-temannya hidup dengan mengandalkan kiriman dari orang tuanya, Agus malah mencari penghidupan sendiri.
Agus cukup lihai membaca peluang bisnis. Pada pukul 21:00 WIB, toko dan kantin di pondok saya sudah tutup semua. Otomatis, santri yang memiliki kebutuhan di atas pukul tersebut tidak bisa berbuat apa-apa. Nah, pada saat itulah Agus berjaya. Dia terbiasa tidur larut malam untuk melayani kebutuhan santri-santri pada waktu-waktu tersebut.
Agus tentu saja belajar otodidak, karena di pondok saya tidak ada pelajaran tentang bisnis. Semua itu mungkin berangkat dari nalurinya sendiri. Dan itulah barangkali yang dibutuhkan dunia pendidikan kita.
Siang menjelang sore kemarin (21/01), saya berkesempatan menyaksikan pertandingan sepak bola antar blok di pondok saya. Jangan dibayangkan pertandingan ini semisal pertandingan-pertandingan yang ditayangkan telvisi. Jauh, bagai jarak Pluto dengan Bumi. Dalam istilah penggemar sepak bola, ini disebut pertandingan tarkam alias antar kampung. Untuk menjelaskannya memang terlalu panjang, karena ke-tarkam-an lomba ini memiliki banyak faktor, semisal fasilitas yang kampungan, panitia kampungan, wasit kampungan, dan tentu saja pemain yang lebih kampungan lagi. Sehingga menendang kaki bukanlah hal yang terlalu besar karena itu sudah mereka latih dalam tiap hari olah raga.
Pada sore di hari Senin, Kamis dan Jum’at mereka biasa bermain sepak bola dengan komposisi peserta melampui kapasitas normal 22 orang. Tak jarang dalam lapangan yang cukup sempit itu satu tim bisa dimasuki oleh 20 orang. Berarti peserta keseluruhan dalam sekali main adalah 40 orang. Wajarlah bila yang mereka tendang bukan bola plastik, melainkan kaki teman-temannya sendiri.
Oh, iya. Saya tidak sedang ingin membicarakan bola, tetapi salah seorang yang kebetulan terlibat dalam kepanitiaan pertandingan tersebut. Namanya Agus. Saya tidak tahu ia panitia bagian apa. Yang saya tahu hanyalah bahwa ia menjadi pengambil bola tiap kali bola keluar lapangan. Saya melihatnya begitu giat melaksanakan tugas tersebut. Mungkin jika lapangan sepakbolanya adalah GBK atau Gelora 10 Nopember, menjadi pengambil bola bukanlah hal yang rumit. Namun, di lapangan pondok saya, menjadi pengambil sepak bola harus naik turun tebing, karena batas lapangannya adalah tebing dan tak ada pagar penangkal di pinggirnya. Walau tidak terlalu tinggi, namun intensitas jatuhnya bola sangat sering, sehingga Agus harus bolak-balik naik turun.
Cerita ini mungkin terlalu sederhana untuk mengambil kesimpulan bahwa Agus adalah seorang yang giat bekerja. Namun, cerita-cerita lain dalam kesehariannya akan meneguhkan kebenaran hal itu.
Ia sudah belajar berjualan ketika masih berada di tingkat Madrasah Tsanawiyah (setingkat SMP). Yang saya ingat, pertama kali berkecimpung dalam dunia ‘bisnis”, ia hanya menjadi pembantu Anas, salah satu santri yang lebih dulu memulai berbisnis. Anas sekarang sudah merantau ke Jarkarta untuk kuliah. Kabar terakhir yang saya dengar, ia sudah merintis bisnis catering.
Agus mungkin memiliki kepekaan bisnis yang sama dengan Anas. Saat ini, dia berjualan macam-macam kebutuhan santri, mulai dari gorengan, cemilan, mi instan, rokok, sampai majalah dan buku. Pada saat ada acara-acara besar, dia selalu datang dengan dagangannya.
Agus bukanlah orang yang berkecukupan secara ekonomi. Sama seperti kebanyakan teman-temannya yang lain. Namun, disaat teman-temannya hidup dengan mengandalkan kiriman dari orang tuanya, Agus malah mencari penghidupan sendiri.
Agus cukup lihai membaca peluang bisnis. Pada pukul 21:00 WIB, toko dan kantin di pondok saya sudah tutup semua. Otomatis, santri yang memiliki kebutuhan di atas pukul tersebut tidak bisa berbuat apa-apa. Nah, pada saat itulah Agus berjaya. Dia terbiasa tidur larut malam untuk melayani kebutuhan santri-santri pada waktu-waktu tersebut.
Agus tentu saja belajar otodidak, karena di pondok saya tidak ada pelajaran tentang bisnis. Semua itu mungkin berangkat dari nalurinya sendiri. Dan itulah barangkali yang dibutuhkan dunia pendidikan kita.
Madura, 21 Januari 2012
hebat ya agus :-) ..bagus ne tutorial nya mas :-) enak dibaca
ReplyDeleteMemang hebat dia, Mas.
Deletemakasih apresiasinya. ;-)
salute buat Agus, peluang sekecil apa pun dimanfaatkannya dengan cerdas dan tak malumalu..
ReplyDeleteblogwalking sore
Terima kasih kunjungannya. :-)
Deletehalo agus? agus? agus agus.. wkwk :D
ReplyDeleteya, ya, ya? Ada yang bisa saya banting? :-D
Deleteagus???????
ReplyDeleteYa, agus. :-)
Deletenama agus dimanapun selalu ada..macam-macam gaya dan tingkahnya, tapi agus yang ini adalah agus yang patut jadi tauladan...semoga agus kelak jadi manusia yang berhasil dan bermanfaat untuk bangsa dan negara, artikel yang menyentuh gan.
ReplyDeleteAmin.
DeleteTerima kasih apresiasinya gan.
keren gan :)
ReplyDeletesalam kenal gan ..
kalo ada waktu luang singgahi blog saya..
coment and follow ..
http://peluru-tajam.blogspot.com
ane nunut parkir gan
Terima kasih. Salam kenal balik gan.
Deletesaya akan segera ke blog agan.
iya mbak uswah saya dateng... rozi@yang dibahas agus yang datang agus juga hehe.. salam kenal neh...
ReplyDeleteTerima kasih Agus sudah datang. Hihi...
DeleteSalam kenal balik buat Anda
sama sama..
DeleteInteresting story here. makasih udah berbagi cerita. Usaha yang dilakukan Agus ini adalah usaha 'kecil-kecilan'. Tetapi salut buat Dia yang mau berusaha sendiri tanpa bergantung kepada orang lain.
ReplyDeleteBtw, saya suka blog anda, it's very simple. Keep blogging sob!
Terima kasih kunjungan sekaligus apresiasinya, Mas Azwar. Senang sekali dikunjungi blogger hebat seperti Anda.
Deletewah agussss bisa di rekomendasikan thu di GBK buat pengambil bola juga :D
ReplyDeleteWakakakak...
DeleteBisa-bisa.
naluri bertahannya sangat kuat mas rozi dan strategi bisnis efektif hehe
ReplyDeletemaaf baru bisa berkunjung kesini karena kesibukan offline, gimana skripsinya?
Begitulah, Mas. Nampaknya ada potensi dalam diri Agus untuk menjadi seorang pebisnis. :-)
DeleteHari Minggu yang akan datang saya akan seminar proposal skripsi, Mas. Mohon doanya, semoga lancar-lancar saja. :-)
Insya allah gak ada halangan, semoga pertanyaannya bisa dijawab deh :D
DeleteOra et labora hehe...masih bisa tuh dipakai pepatah lama ini
mas rozi,, mungkin sudah pernah dapet award.. tapi aku memilih mas rozi yg jadi sobat blogger terbaikku.. di cek yah :)dan jangan lupa tinggalkan komentar.. trims :)
ReplyDeletehttp://cinderrella.blogspot.com/2012/01/bukan-artis-tapi-dapet-award-like-this.html
Oke, terima kasih Uswah. Saya segera ke TKP. :-)
Delete