Sesuatu yang Lain Dalam Sastra
#pengantar kumpulan puisi
Hingga kini, pertanyaan tentang apa fungsi sastra dalam kehidupan kita masih terus berlanjut. Pertanyaan itu barangkali diajukan lebih karena sumbangsih sastra yang tidak tampak terlihat dari permukaan. Tak ada data statistik, grafik pertumbuhan, lebih-lebih profit yang dihasilkan. Sastra tidak selaras jika disandingkan dengan dunia ekonomi, misalnya.
Terlebih lagi, secara kasat mata, orang tidak melihat sastra bisa menekan angka kemiskinan, menunjang pertumbuhan ekonomi, meningkatkan produksi pangan, dst. Lalu, jika demikian, apa fungsi sastra sesungguhnya?
Kenyataannya, sampai saat ini orang masih banyak memilih jalan hidup dalam dunia sastra. Sastrawan-satrawan baru bermunculan meski tak sedikit yang tumbang. Lembar-lembar koran di hari Minggu masih setia menayangkan beberapa puisi, cerpen ditambah lagi esai seni. Diskusi-diskusi sastra terus dilakukan. Mereka juga berpolemik; tentang matinya kritikus sastra, tentang kualitas sastra cyber, tentang penjurian dalam suatu kompetisi sastra, dst.
Sejarah membuktikan, bangsa yang besar selalu bisa menghargai sastrawannya. Jerman, misalnya, bangga memiliki Goethe, Inggris mengelu-elukan Shakespeare dan TS Eliot, Rusia bangga punya Tolstoy dan Chekov, China bangga punya Lu Shun dan Wang Wei, sementara India bangga memiliki Rabindranath Tagore dan RK Narayan.
Beberapa ilmuan besar bahkan mengakui mereka mengidolakan seorang sastrawan. Albert Einstein, penemu teori “relativitas”, contohnya, mengaku mengidolakan Wordsworth dan Mary Shelley. Bahkan, sebagai ekspresi kekagumannya terhadap sastra dia menegaskan: imagination is more important than knowledge (Agus Wibowo, Kompas, 15/05/2010). Lalu, mengapa mereka kagum?
Dalam sebuah pertemuan pelajar, sehabis dipaksa menyanyi oleh Ayu Laksmi, Umbu Landu Paranggi, berbicara tentang apa yang bisa kita ambil dari sastra. Ia berucap, sastra akan menumbuhkan rasa kemanusiaan seseorang. Dalam bahasa Budi Darma, ia membangkitkan Human Interest. Pada sebuah tulisannya, Wayan Sunarta, salah satu anak didik Umbu, pernah mengatakan, Sang Guru mendidik murid-muridnya tidak semata-mata ingin mencetak mereka menjadi seorang sastrawan. Namun, lebih dari itu, ia ingin membentuk jiwa-jiwa puisi dalam diri mereka. Kelak akan lahir pengusaha-pengusaha berjiwa puisi, tukang ojek berjiwa puisi, pejabat berjiwa puisi, aparat berjiwa puisi, dst. Dan memang, pada akhirnya orang-orang yang dididik Umbu tidak semua menjadi sastrawan.
Memang tak selaras jika sastra disejajarkan dengan ekonomi. Sejatinya ia melampui dimensi itu. Bangsa-bangsa yang besar menghargai sastra karena ia dapat membangkitkan imajinasi. Sastra adalah sebagai inspirasi dari dimensi kehidupan manusia.
Sebagai salah satu contoh, dalam perkembangan teknologi, munculnya novel Brave New World yang ditulis Aldous Huxley pada 1932 merupakan embrio lahirnya manusia hasil kloning. Novel tersebut berkisah tentang anak manusia yang tidak dilahirkan, melainkan diproduksi secara massal. Novel itu tercipta jauh sebelum orang mengenal kloning. Dan, khalayak pada saat itu menganggap sinting imajinasi novel tersebut.
Novelis Inggris Joules Verne menulis beberapa novel, masing-masing berjudul 20.000 Mil di Bawah Permukaan Laut, Mengelilingi Dunia Dalam 80 Hari, dan Perjalanan Menuju Bulan. Novel-novel tersebut merupakan proyeksi awal terciptanya kapal terbang dan pesawat luar angkasa. Dan baru-baru ini, Badan Penelitian Nuklir Eropa, CERN menemukan sesuatu yang pernah didedahkan Dan Brown dalam novel Angels & Demons, yaitu antimateri. Penelitian itu dilakukan oleh tim Alpha CERN dan dipublikasikan di Jurnal Nature edisi 17.
Kenyataan-kenyataan di atas tentu bukan sesuatu yang kebetulan. Sastra terbukti mampu memberikan sesuatu yang lain dalam kehidupan manusia. Maka tak heran jika Nina Wang, salah satu orang terkaya di Tiongkok, dalam kehidupannya masih menganggap seni sebagai sesuatu yang berharga. Dalam keseharian yang serba mewah dia masih sempat membaca sastra dan menonton teater.
Kumpulan puisi ini, sebagai elemen penting dari sastra, merupakan sumbangan yang patut dihargai untuk terus memajukan dunia sastra. Akhirnya, selamat menikmati dan temukan sesuatu yang lain di dalamnya.
Hingga kini, pertanyaan tentang apa fungsi sastra dalam kehidupan kita masih terus berlanjut. Pertanyaan itu barangkali diajukan lebih karena sumbangsih sastra yang tidak tampak terlihat dari permukaan. Tak ada data statistik, grafik pertumbuhan, lebih-lebih profit yang dihasilkan. Sastra tidak selaras jika disandingkan dengan dunia ekonomi, misalnya.
Terlebih lagi, secara kasat mata, orang tidak melihat sastra bisa menekan angka kemiskinan, menunjang pertumbuhan ekonomi, meningkatkan produksi pangan, dst. Lalu, jika demikian, apa fungsi sastra sesungguhnya?
Kenyataannya, sampai saat ini orang masih banyak memilih jalan hidup dalam dunia sastra. Sastrawan-satrawan baru bermunculan meski tak sedikit yang tumbang. Lembar-lembar koran di hari Minggu masih setia menayangkan beberapa puisi, cerpen ditambah lagi esai seni. Diskusi-diskusi sastra terus dilakukan. Mereka juga berpolemik; tentang matinya kritikus sastra, tentang kualitas sastra cyber, tentang penjurian dalam suatu kompetisi sastra, dst.
****
Sejarah membuktikan, bangsa yang besar selalu bisa menghargai sastrawannya. Jerman, misalnya, bangga memiliki Goethe, Inggris mengelu-elukan Shakespeare dan TS Eliot, Rusia bangga punya Tolstoy dan Chekov, China bangga punya Lu Shun dan Wang Wei, sementara India bangga memiliki Rabindranath Tagore dan RK Narayan.
Beberapa ilmuan besar bahkan mengakui mereka mengidolakan seorang sastrawan. Albert Einstein, penemu teori “relativitas”, contohnya, mengaku mengidolakan Wordsworth dan Mary Shelley. Bahkan, sebagai ekspresi kekagumannya terhadap sastra dia menegaskan: imagination is more important than knowledge (Agus Wibowo, Kompas, 15/05/2010). Lalu, mengapa mereka kagum?
Dalam sebuah pertemuan pelajar, sehabis dipaksa menyanyi oleh Ayu Laksmi, Umbu Landu Paranggi, berbicara tentang apa yang bisa kita ambil dari sastra. Ia berucap, sastra akan menumbuhkan rasa kemanusiaan seseorang. Dalam bahasa Budi Darma, ia membangkitkan Human Interest. Pada sebuah tulisannya, Wayan Sunarta, salah satu anak didik Umbu, pernah mengatakan, Sang Guru mendidik murid-muridnya tidak semata-mata ingin mencetak mereka menjadi seorang sastrawan. Namun, lebih dari itu, ia ingin membentuk jiwa-jiwa puisi dalam diri mereka. Kelak akan lahir pengusaha-pengusaha berjiwa puisi, tukang ojek berjiwa puisi, pejabat berjiwa puisi, aparat berjiwa puisi, dst. Dan memang, pada akhirnya orang-orang yang dididik Umbu tidak semua menjadi sastrawan.
Memang tak selaras jika sastra disejajarkan dengan ekonomi. Sejatinya ia melampui dimensi itu. Bangsa-bangsa yang besar menghargai sastra karena ia dapat membangkitkan imajinasi. Sastra adalah sebagai inspirasi dari dimensi kehidupan manusia.
Sebagai salah satu contoh, dalam perkembangan teknologi, munculnya novel Brave New World yang ditulis Aldous Huxley pada 1932 merupakan embrio lahirnya manusia hasil kloning. Novel tersebut berkisah tentang anak manusia yang tidak dilahirkan, melainkan diproduksi secara massal. Novel itu tercipta jauh sebelum orang mengenal kloning. Dan, khalayak pada saat itu menganggap sinting imajinasi novel tersebut.
Novelis Inggris Joules Verne menulis beberapa novel, masing-masing berjudul 20.000 Mil di Bawah Permukaan Laut, Mengelilingi Dunia Dalam 80 Hari, dan Perjalanan Menuju Bulan. Novel-novel tersebut merupakan proyeksi awal terciptanya kapal terbang dan pesawat luar angkasa. Dan baru-baru ini, Badan Penelitian Nuklir Eropa, CERN menemukan sesuatu yang pernah didedahkan Dan Brown dalam novel Angels & Demons, yaitu antimateri. Penelitian itu dilakukan oleh tim Alpha CERN dan dipublikasikan di Jurnal Nature edisi 17.
Kenyataan-kenyataan di atas tentu bukan sesuatu yang kebetulan. Sastra terbukti mampu memberikan sesuatu yang lain dalam kehidupan manusia. Maka tak heran jika Nina Wang, salah satu orang terkaya di Tiongkok, dalam kehidupannya masih menganggap seni sebagai sesuatu yang berharga. Dalam keseharian yang serba mewah dia masih sempat membaca sastra dan menonton teater.
Kumpulan puisi ini, sebagai elemen penting dari sastra, merupakan sumbangan yang patut dihargai untuk terus memajukan dunia sastra. Akhirnya, selamat menikmati dan temukan sesuatu yang lain di dalamnya.
11 januari 2011
0 Response to "Sesuatu yang Lain Dalam Sastra"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.