Cerita dari Pembekalan Menulis Cerpen
Suatu kali, saat tahun ajaran baru, seorang anak ditanya oleh orang tuanya, “kamu mau mondok di mana?” Sang anak menjawab, “saya mau mondok di Lubangsa Selatan.” “Kenapa? Kan famili-famili yang lain tidak di situ?” Si Anak menjawab, “saya ingin menjadi penulis.”
Kisah ini, menurut cerita seorang kawan, disampaikan oleh Pengasuh Pondok Pesantren Annuqayah Lubangsa Selatan, K. Halimi Ishom, pada saat rapat awal tahun bersama jajaran pengurus. Cerita tersebut menjadi hantaran awal untuk memotivasi program pengembangan dunia tulis-menulis. Beliau menekankan agar dunia tulis-menulis harus menjadi program khusus pesantren.
Lubangsa Selatan dalam tataran lokal mungkin bisa dibilang telah berhasil melahirkan beberapa penulis. Mereka melakukan proses panjang dari nol sampai besar. Dalam hal ini kita bisa menunjuk, misalnya beberapa nama; Muhammad Al-Fayyadl, Muhammad Suhaidi RB, Muhammad Najanuddin, Ahmad Khotib, Masykur Arief Rahman, Ach. Fawaid, Imam S. Arizal, Zaiturrahiem RB, Haukil, dan beberapa penulis lainnya.
Mereka itu lahir dari tengah-tengah komunitas santri yang rata-rata populasinya tidak sampai 300-an orang pertahun. Namun, dari yang sedikit itu mereka bisa memiliki kelebihan dibidang tulis-menulis ketimbang daerah lain yang lebih banyak santrinya. Padahal, secara akses dan potensi, daerah lain lebih besar peluangnya. Kuncinya, mereka berproses dengan tekun hingga melahirkan banyak karya. Mereka membawa nama PP. Annuqayah di tingkat lokal dan nasional.
Fenomema ini tak bisa ditolak ketika orang-orang di luar Lubangsa Selatan memiliki anggapan bahwa pondok pesantren ini memiliki karakter pendidikan tulis-menulis yang mapan. Seakan-akan proses mereka menjadi penulis itu betul-betul didukung oleh pihak pesantren. Padahal, dulu, pihak pesantren tidak terlalu peduli dengan dunia tulis-menulis. Maksud saya, pesantren tidak mengakomudasi secara khusus kemampuan santri untuk mengembangkan dunia yang satu ini.
Anggapan orang tentang sistem pendidikan tulis-menulis yang dikelola pesantren tidaklah sepenuhnya benar. Mereka belajar sendiri-sendiri untuk menggapai cita-citanya. Hanya satu yang tampak nyata dilakukan pesantren, yaitu didirikannya perpustakaan. Perpustkaan menjadi sesuatu yang penting dalam rangka menunjang proses mereka menjadi penulis. Dari sekian nama yang disebut di atas rata-rata mereka memang pernah menjadi seorang pustakawan.
****
Berangkat dari kenyataan di atas, Pengurus Departemen Perpustakaan dan Pengembangan Wawasan (Puspenwas) tahun ini berusaha memasukkan kegiatan-kegiatan tulis-menulis dalam programnya. Serangkaian kegiatan dipersiapkan untuk mengakomudir kemampuan santri di bidang tulis-menulis fiksi dan non fiksi. Kegiatan itu berupa pembekalan tulis-menulis, diklat, dan kompetisi.Dalam beberapa tahun terakhir, kegiatan tulis-menulis memang sedikit mengalami kemunduran. Tangara itu, salah satunya, bisa dilihat dari sedikitnya santri Lubangsa Selatan yang memperoleh penghargaan di tingkat nasional. Kalaupun ada, penulisnya yang itu-itu saja. Dan mereka tergolong santri lama. Proses regenerasi tak terbangun dengan baik karena memang tak ada manajemen khusus dari pihak pesantren.
Barangkali menjadi catatan penting untuk Puspenwas tahun ini, bahwa anggapan orang-orang tentang Lubangsa Selatan yang sudah dicap menjadi gudang para penulis memang harus menjadi nyata, tidak sekedar omongan-kosong yang membuat kecewa.
****
Kamis malam, 23 Desember 2010, saya diberi kesempatan untuk menyampaikan hantaran awal tentang bagaimana menulis cerpen. Sebagai pengantar, saya lebih memfokuskan persoalan pada kemampuan bagaimana mereka bisa menulis. Selain memang tak punya kemampuan soal teori, saya juga terkadang anti-teori. Apa yang saya sampaikan hanya mengulas tentang teori-teori dasar menulis cerpen.Saya awali pembekalan itu dengan tanya-jawab. Hal ini memungkinkan saya mengetahui sampai dimanakah pengetahuan mereka tentang cerpen. Dari jawaban-jawaban mereka, saya bisa menangkap bahwa cerpen bukan sesuatu yang asing. Setidaknya, mereka sudah pernah mendengar apa itu cerpen. Karena pesertanya rata-rata masih santri baru, saya mencoba menggiring mereka dengan apa yang paling dekat dengan kehidupan masing-masing, yaitu film. Film saya pilih karena dari segi unsur-unsur pembentuknya banyak memiliki kesamaan. Misalnya tema, penokohan, alur, setting, dan seterusnya. Tentu saja, saya tekankan, bahwa antara film dan cerpen tidak seluruhnya sama.
Sebagai contoh, saya memilih film kartun Upin dan Ipin. Pikir saya, film booming ini pastilah mereka sudah sangat mengenalnya. Dan benar, mereka memang mengenal banyak tentang film negeri jiran itu. Lalu, saya tanyakan banyak hal, mulai tema, penokohan, konflik, dll.
Setelah selesai bermain-main dengan film, selanjutnya adalah latihan sederhana merangkai kalimat menjadi paragraf. Saya tulis tiga kalimat di papan: 1). Hariri memanjat pohon, 2). Hariri dilempari batu, 3). Hariri turun. Dengan tiga kalimat itu saya suruh mereka merangkaikannya hingga menjadi sebuah cerita yang beralur. Untuk efisiensi waktu, saya hanya menyuruh membuat satu paragraf dari masing-masing kalimat tersebut.
Hasilnya menggembirakan, setidaknya mereka sudah bisa merangkai kalimat demi kalimat walaupun secara keseluruhan tidak bisa dibilang sempurna. Untuk awal pelatihan, saya kira mereka sudah cukup punya modal dalam menulis cerita. Latihan seperti ini akan mencoba menganalisis kekurangan dan kelebihan yang mereka punya.
Setelah menulis, saya tugasi mereka membaca hasil karya masing-masing. Kebanyakan konfliknya lucu-lucu dan membuat peserta yang mendengarkan tertawa. Untuk menimbulkan kesan lucu, saya sengaja membuat tokoh utama yang memiliki nama persis salah satu peserta yang ikut malam itu, Hariri. Dia kawan dekat saya yang juga menggemari sastra dan sering saya permainkan.
Selanjutnya, saya menjelaskan agak terperinci soal unsur-unsur yang ada dalam rangkaian cerita yang sudah dibangun oleh peserta dalam proses tadi. Saya awali dengan menjelaskan tema, penokohan, konflik, alur, setting, dst. Tak utuh saya jelaskan kesemuanya karena saya kira tak terlalu penting. Apalagi bagi pemula yang masih tertatih-tatih dalam menulis. Dalam pembicaraan itu, saya perkaya dengan motivasi dan bagaimana enaknya menjadi penulis. Saya contohkan teman saya yang pernah ke Irian Jaya dan Sulawesi berkat tulisan-tulisannya. Sayang, saya sendiri bukan penulis…hehe.
Jum’at pagi, 24 Desember 2010
0 Response to "Cerita dari Pembekalan Menulis Cerpen"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.